Jakarta, Kompas - Kalangan penerbit buku yang tergabung dalam Ikatan Penerbit Buku Indonesia atau Ikapi kembali meminta pemerintah agar benar- benar serius menangani pembajakan buku yang merugikan industri perbukuan di Tanah Air.
"Selain berdampak terhadap menurunnya minat penerbit untuk menerbitkan buku-buku berkualitas, pembajakan buku yang merajalela juga sudah sampai memengaruhi kepercayaan penerbit buku di luar negeri yang bukunya hendak diterbitkan di Indonesia," kata Ketua Ikapi Cabang DKI Jakarta Lucya Andam Dewi, Rabu (16/5) di Jakarta.
Oleh karena itu, Ikapi meminta pemerintah benar-benar memiliki komitmen politik yang tinggi dalam menghadapi pembajakan buku yang sudah berkembang menjadi industri yang hanya mengejar keuntungan. Selain penegakan hukum yang memberi efek jera kepada para pembajak, juga sudah saatnya pemerintah menciptakan infrastruktur yang memudahkan masyarakat mengakses buku yang murah.
Kegiatan pembajakan buku yang terus merajalela itu kembali terungkap berkat keberhasilan Tim Penanggulangan Masalah Pembajakan Buku (PMPB) Ikapi DKI Jakarta yang menggagalkan pembajakan salah satu buku terjemahan yang sangat laris, The Da Vinci Code, karangan Dan Brown sebanyak 1.840 eksemplar.
Ribuan buku bajakan yang hak penerbitan sahnya dimiliki Penerbit Serambi itu ditemukan saat dalam proses penjilidan kulit muka buku yang dilakukan di Sejahtera Printing, Jalan Kalibaru Timur Dalam, Jakarta Pusat. Namun, hingga sejauh ini pemesan dan perusahaan pencetak buku bajakan itu belum diketahui.
Pada Februari lalu, Tim PMPB juga berhasil menggerebek perusahaan penerbitan PT Samudra Jaya di Bekasi, yang membajak buku-buku teks terbitan dalam dan luar negeri, yang nilainya mencapai miliaran rupiah.
"Pembajakan buku sudah sangat memprihatinkan penerbit buku dan penulis. Tentu kami tak mau tinggal diam. Setidaknya, kami akan terus meminimalkan pembajakan buku dan ini butuh dukungan dari pemerintah dan masyarakat," kata Lucya.
Menurut dia, keberhasilan Ikapi mengungkap pembajakan buku ternyata berpengaruh terhadap kepercayaan penerbit luar negeri. Seperti penerbit Amerika Serikat dan Singapura, mereka akan ikut mendesak Pemerintah Indonesia agar memberikan perhatian terhadap masalah pembajakan buku.
Kredibilitas dipertaruhkan
Husni Syawie, Direktur Penerbit Serambi, mengatakan, penerbit buku asing—terutama yang bukunya masuk dalam kategori best seller—tentu bertanya-tanya jika penjualan buku mereka di Indonesia tidak bagus. Buat penerbit sendiri, selain kerugian material yang bisa mencapai miliaran rupiah karena harus membayar lisensi, penerjemahan, dan sebagainya, yang paling utama adalah kredibilitas.
"Tidak semua buku yang diterbitkan itu bisa untung. Jika ada buku best seller bisa terjual itu bagus. Keuntungannya untuk menutup kerugian yang lain supaya penerbit bisa terus berkarya. Dengan pembajakan yang merajalela, masuk akal jika penerbit berpikir keras untuk mau mengambil risiko menerbitkan buku yang berkualitas," kata Husni.
Awod Said, Ketua Kompartemen Organisasi Hubungan Kelembagaan, Hukum, dan Hak Cipta Ikapi, mengatakan, meskipun pembajakan buku tidak sebesar peranti lunak atau musik, pemerintah juga perlu memerhatikan hak intelektual buku. Lebih penting lagi, pemerintah menciptakan infrastruktur untuk memudahkan masyarakat mengakses buku murah.
Menurut Awod, ada beberapa langkah yang bisa dilakukan pemerintah. Hal itu di antaranya dengan tak menerapkan pajak untuk buku yang ada kaitannya dengan pendidikan, penyediaan kertas yang murah, memperbolehkan fotokopi buku-buku teks tetapi hak royalti penulis atau penerbit tetap dijamin. (eln)
Sumber: Kompas, Jumat, 18 Mei 2007
No comments:
Post a Comment