LINTAS pergaulan dunia sastra kita, sering kali terjebak pada lintas pergaulan sektoral. Ia hanya berbicara pada tataran domestik dan mengabaikan wilayah global sebagai sarana untuk memprovokasi sastra Indonesia ke dalam jangkar sastra dunia.
Masuknya sastra Indonesia ke lintas pergaulan sastra dunia, mau tak mau, harus dijadikan tolak ukur dan titik pijak akan keberhasilan sastra Indonesia.
Pikiran di atas dilansir Nugroho Suksmanto, pengusaha dan penulis buku cerita pendek Petulangan Celana Dalam dalam diskusi terbatas di University of Southern California, pekan silam. Nugroho Suksmanto yang didampingi sastrawan Triyanto Triwikromo, novelis Eka Kurniawan, dan penyair Edy A Effendi yang juga wartawan Media Indonesia, melihat realitas sastra sebagai sebuah industri, yang mau tak mau harus berkompromi dengan pasar dunia.
''Perspektif pergaulan sastra dunia ini, jika kita ingin berdiri sejajar dengan sastra dunia, para sastrawan Indonesia harus mempromosikan karya-karyanya ke dalam lajur sastra dunia. Tentu saja cara berpikir seperti ini, untuk keluar dari sangkar sastra Indonesia yang hanya berkutat pada isu-isu domestik tanpa mau menyentuh isu universal,'' tegas Nugroho.
Nurgroho juga mengharapkan para sastrawan Indonesia harus melihat subjektivitas pembaca. Selama ini, ungkap Nugroho, para sastrawan melihat subjektivitas pribadi tanpa mau menjenguk keinginan pembaca. Pola seperti itu seolah-olah sastrawan tidak mau kompromi dengan pembaca. ''Padahal, pembaca sastra adalah bagian dari proses kreatif sastrawan.''
Acuan yang ingin digulirkan Nugroho, yaitu karya-karya sastra juga harus mampu membidik pasar dunia sebagai risiko agar karya-karya sastra Indonesia bisa berdiri sejajar dengan sastra negara lain. Pada titik itu para sastrawan harus berkompromi dengan ide-ide besar, ide universal, dan tidak masuk perangkap ide-ide sektoral.
Pikiran Nugroho dalam konteks yang lain, diamini sastrawan Triyanto Triwikromo. Triyanto yang juga wartawan Suara Merdeka membenarkan pikiran-pikiran yang digulirkan Nugroho Suksmanto.
Bagi Triyanto, sastrawan Indonesia harus melihat otonomi kreativitas tidak hanya kebebasan berekspresi secara individual, tapi ia juga harus mampu berkompromi dengan sektor lain, yakni sektor bisnis.
''Jika ada ide dari pengusaha agar sastra kita bisa masuk pasar dunia, ini tidak serta-merta membelenggu kreativitas sastrawan. Justru ide masuk pasar dunia itu perlu direspons sebagai bagian dari upaya penyebaran wilayah bacaan,'' ungkap Triyanto.
Triyanto menganggap para sastrawan sudah seharusnya membidik pasar dunia jika karya-karya yang tercipta ingin masuk lintas pergaulan dunia. Dan tentu saja, jangan selalu melihat sumir, jika ada para pebisnis masuk dunia sastra.
''Kita harus melihat niat baik pengusaha atau pebisnis. Saya yakin, toh mereka tidak akan mengerangkeng ide-ide kreatif kita. Para pengusaha itu sekadar memberi ruang lain dalam peta sastra Indonesia, agar masuk pasar sastra dunia,'' tegas Triyanto.
Menjemput isu
Gagasan Nugroho dan Triyanto juga didukung novelis Eka Kurniawan. Eka melihat para sastrawan memang harus membuka banyak kemungkinan masuk sastra dunia. Dan, salah satu cara masuk sastra dunia, yaitu dengan mencoba membuka pasar sastra ke dalam jantung sastra dunia. Upaya membuka pasar dunia itu, menurut Eka, salah satu caranya dengan mencoba menjemput isu-isu dunia dengan mengusung gagasan besar yang tidak terpaku dalam wilayah domestik semata.
''Gagasan-gagasan besar itu berkaitan erat dengan persoalan-persoalan universal, yang memiliki tata nilai dunia, bukan tata nilai lokal. Dan, jika ada tata nilai lokal, sebaiknya dijadikan pendamping untuk masuk tata nilai dunia,'' papar Eka.
Penulis novel Lelaki Harimau itu melihat perjalanan para sastrawan ke Los Angeles, Las Vegas, California, dan San Fransisco itu, sebagai upaya untuk melihat lebih dekat realitas pasar sastra dunia. Sebuah pasar yang harus dijadikan pembanding untuk melahirkan karya-karya berkelas dunia.
Di sisi lain, menurut Edy A Effendi, realitas pasar sastra, mau tak mau, harus dijadikan poros utama dalam menembus realitas pasar dunia. Selama ini, para sastrawan Indonesia terjebak dalam lingkar pergaulan domestik dan tidak mau melihat realitas pergaulan dunia.
''Salah satu hambatannya adalah kemampuan bahasa. Harus diakui kemampuan bahasa untuk melihat realitas karya-karya dunia, memang menjadi satu persoalan. Sementara itu, ada beberapa kawan yang sudah masuk lintas pergaulan sastra dunia, tapi tidak mampu menciptakan ruang-ruang baru bagi sastrawan yang lain,'' tegas Edy.
Dari sudut itulah, Edy melihat harus ada cara baru untuk membongkar kebekuan sastra Indonesia. Sebuah cara melihat sastra tidak hanya pada isu-isu lokal, tapi ia juga mampu menyeret isu-isu global dalam kerja kreatifnya. ''Sastrawan harus melahirkan ide-ide besar, ide-ide dunia," tegas Edy. (Chavchay Saifullah/R-2)
Sumber: Media Indonesia, Minggu, 13 Mei 2007
No comments:
Post a Comment