Saturday, May 27, 2006

Sajak: Bila Bumi Diguncangkan

-- Udo Z. Karzi

bila bumi diguncangkan
langit mengelam
jalan raya terbelah
gedung-gedung bersujud
jiwa-jiwa berkalang

bencana datang di pagi hari
kesunyian menyebar cekam
ngeri nyeri menganga

: adakah yang bisa menahan


bukan. ini bukan perang
tapi bumi yang diguncangkan
buat apa menghunus pedang
tak kan guna kejumawaan

bila bumi diguncangkan
kita takkan sempat berbenah
la haula wala quwata illa billah
hentikan segala silang sengketa
tak ada seteru di antara kita

manusia itu terlalu kecil
bila bumi diguncangkan

: masihkah kita tak berpikir

27-05-2006

* Q.S. Al Qiyamah


sumber:
Lampung Post, 28 Mei 2006; fordisastra.com, 29 Mei 2006


Thursday, May 18, 2006

Jejak Penyair: Udo Z. Karzi

Udo Z. Karzi, lahir 12 Juni 1970 di Liwa, Lampung Barat. Menyelesaikan studi di Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Lampung (1996). Pernah menjadi Pemimpin Redaksi Surat Kabar Mahasiswa Teknokra (1993-1994), Pemimpin Umum Majalah Republica (1994-1996), dan Pembimbing Majalah Ijtihad (1995-1998). Banyak menimba pengalaman dari kelompok/kegiatan diskusi: Kelompok Studi Merah Putih, Forum Dialog Mahasiswa (Fordima), Forum for Information and Regional Development Studies (FIRDES), dan Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII).

Terjun ke dunia jurnalistik sebagai wartawan lepas harian umum Lampung Post, Bandar Lampung (1995-1996) dan reporter Majalah Berita Mingguan Sinar, Jakarta (1997-1998).
Sempat mengajar Ekonomi-Akuntansi di SMAN dan MAN di kota kelahirannya (1998) sebelum menjadi Redaktur Surat Kabar Umum Sumatera Post, Bandar Lampung (1999-2000). Kini, jurnalis di Lampung Post, Ketua Penelitian dan Pengembangan Dewan Kesenian Lampung (Litbang DKL), bergiat di Sekolah Kebudayaan Lampung (SKL) dan Pusat Studi Agama dan Kebudayaan (Pusaka) Lampung. Dianggap membawa pembaruan dalam tradisi perpuisian (berbahasa) Lampung sebagaimana terlihat dalam buku kumpulan sajak dwibahasa Lampung-Indonesianya, Momentum (2002), dia disebut “Bapak Puisi Modern (Berbahasa) Lampung". Sajak-sajak lainnya termuat dalam antologi bersama: Daun-Daun Jatuh, Tunas-Tunas Tumbuh (SKM Teknokra, 1995), Lampung Kenangan, Krakatau Award 2002 (Dewan Kesenian Lampung, 2002), Konser Ujung Pulau (Dewan Kesenian Lampung, 2003), dan Pertemuan Dua Arus (Jung Foundation, 2004). Cerpen-cerpennya dimuat dalam Sapardi Djoko Damono dkk. (Ed.) Graffiti Imaji (Yayasan Multimedia Sastra-Damar Warga, 2002). Penyunting dan kontributor: Etos Kita, Moralitas Kaum Intelektual (Gama Media-Teknokra, 2002). Buku lainnya: Mamak Kenut, Orang Lampung Punya Celoteh dan Mak Dawah Mak Dibingi, Tak Siang Tak Malam (dalam proses terbit).


Kru Puitika.net berkesempatan untuk mewawancarai Udo Z. Karzi melalui perbincangan via e-mail. Berikut perbincangannya.

Sejak kapan Anda mulai menulis puisi?


Saya menulis sejak 1987. Mulanya puisi, menyusul cerita anak-anak, artikel dan cerpen.

Darimana inspirasi menulis puisi itu datang?

Awalnya, inspirasi menulis puisi dari pengalaman -- semacam pengalaman batin -- sendiri yang kemudian berproses dalam diri dan melalui pengimajian menjelma sajak. Tapi, belakangan setelah kuliah, menulis puisi agak lebih sulit. Mungkin karena saya menulis hampir semua jenis tulisan. Selain sastra (puisi, cerpen, dan esai), sebagai jurnalis, saya juga menulis karya jurnalistik (berita, reportase, feature, opini, tajuk rencana, dan lain-lain). Ada kecenderungan saya menulis lebih menekankan pada gagasan/pemikiran dan itu cenderung berbentuk opini, artikel, atau esai kalau tidak berbentuk berita (menuliskan fakta, bukan fiksi). Padahal, bahasa puisi lain. Sehingga, boleh dibilang saya menulis puisi ketika saya merasa emosi saya tidak mungkin diwakili dengan bentuk karya tulis lain selain sajak. Jadi, saya tulis puisi. Inspirasi bisa datang dari mana saja, saya pikir. Bisa dari melihat langsung, mendengar cerita, atau membaca peristiwa. Tapi, Saya baru bisa menulis puisi ketika saya benar-benar merasa terlibat secara intens dalam suatu hal ihwal yang menjadi inspirasi, sehingga saya tergerak menuliskannya.

Buku-buku apa saja yang mempengaruhi karya Anda?

Susah saya menyebutkannya. Soalnya sejak bisa membaca, saya berusaha membaca semua bahan bacaan. Di masa-masa awal saya suka fiksi atau dongeng. Saya beruntung mendapati sekolah yang mempunyai perpustakaan yang cukup memadai. Paling tidak, di sekolah dasar saya sudah membaca buku seperti Sebatang Kara-nya Hector Melot, novel Charles Dicken, selain pengarang-pengarang Indonesia seperti Mansur Samin, Mochtar Lubis, Soekanto S.A., dan lain-lain. Setelah prosa, saya mulai "menggilai" puisi ketika ke Bandar Lampung tahun 1986 dan menjumpai dinamika bersyair di kota ini. Lalu, kuliah membuat saya harus membaca karya-karya yang kental aroma ideologinya. Jadi, kalau ditanya buku-buku apa yang mempengaruhi karya saya, saya tak terlalu paham. Atau mungkin, terlalu banyak.

Tentunya menulis puisi tidak semudah yang kadang dibayangkan. Bagaimana proses kreatif Anda menuliskan kembali ide dalam pikiran Anda dalam bentuk puisi?

Menulis puisi memang berbeda dengan menulis apa pun yang lain. Sampai sekarang, saya tak pernah berhasil menulis puisi dengan tema-tema yang ditentukan. Biasanya, saya tergerak menulis puisi jika ada sesuatu, katakanlah benda, peristiwa, atau apalah yang menyentuh perasaan dan merasuk ke dalam pikiran. Pengalaman batin itu biasanya membekas dalam ingatan dan terus berproses dalam diri. Kegelisahan bisa melahirkan karya. Tak selalu puisi. Kalau masih mentah bisa dalam berbentuk lain. Puisi lahir setelah memeras sekian kata, sekian kalimat, sekian paragraf menjadi sari pati makna. Proses pengimajian dalam menulis puisi, bisa sebentar, bisa juga lama. Ya, saya merasa kalau puisi sudah waktunya lahir ya lahir begitu saja. Namun, saya mulai merasa rutinitas kegiatan jurnalistik dan karakter bahasa jurnalistik yang spesifik sangat mengganggu -- kalau bukan malah merusak -- aktivitas saya dalam bersastra. Maka, saya cukup salut dengan orang-orang yang bisa memadukan aktivitas kewartawanan dan kesastrawanan. Sebuah langgam yang berbeda, meski sama-sama menggeleti hal yang sama: dunia kepenulisan.

Anda disebut-sebut sebagai Bapak Puisi Modern (Berbahasa) Lampung. Apa artinya bagi Anda secara pribadi?

Hahaha... di tempat saya, Lampung, orang biasa bejuluk-beadok (bahasa Lampung, artinya lebih kurang: berjuluk-bergelar). Jadi, setidaknya menurut saya, biasa saja kalau di Lampung ada Raja Cetik ('cetik' alat musik khas Lampung), Nabi Penyair, Paus Sastra Lampung, dan sebagainya. Gubernur Lampung Sjachroedin Z.P. saja ber-adok Sutan Mangku Bumi. Entah serius entah main-main, Ketua Dewan Kesenian Lampung Syaiful Irba Tanpaka bergelar Sutan Seago-ago. Yang kasih embel-embel "Bapak Puisi Modern (Berbahasa) Lampung" ke saya itu kan seorang rekan yang konsen memperhatikan perkembangan bahasa dan sastra Lampung, meski jarang-jarang pulang ke tanah kelahirannya. Namanya Kuswinarto alias Yaqin Saja. Saya sih menghormati dia saja. Selain itu, saya sih kepengen sastra Lampung itu berkembang sebagaimana sastra daerah lain, seperti sastra Jawa, Sunda, dan Bali. Tapi... entahlah. Orang Lampung masih terus berasyik-asyik dengan sastra lisan atau paling banter menuliskan sastra lisan agar bisa didokumentasikan.

Usaha-usaha apa kiranya membangkitkan generasi muda untuk kembali ke akar budaya melalui teks puisi berbahasa tradisional dalam hal ini di provinsi Lampung?

Saya malah tak mau menjawab ini. Saya pikir, upaya ke arah itu cukup memadai. Kalau belum efektif, itu soal lain.
Tadi saya singgung, saat ini relatif tak ada persoalan dengan sastra (puisi) lisan Lampung. Entah sejak kapan, apa pun program yang menjual kelampungan, selalu "laku". Bahasa Lampung diajarkan di sekolah dasar dan SMP sebagai muatan lokal di Lampung. Diskusi, pelatihan, workshop, dan juga lomba bahasa-sastra Lampung sudah diprogramkan. Kalau pun masih bersifat proyekisasi, ya harap maklum. Acara Manjau Dibingi dan Ragom Budaya Lampung rutin mengudara dari RRI Bandar Lampung. Mau saya... tapi apa daya tak punya kuasa, mengembangkan bahasa dan sastra Lampung modern. Relatif tak ada yang memperjuangkan martabat bahasa dan sastra Lampung itu menjadi bahan baku kreativitas.

Berkali-kali dikatakan bahasa Lampung bakal punah dalam 75--100 tahun. Saya bilang ya mau apa lagi, kalau memang tidak ada yang mau menggunakan bahasa etnik ini sebagai bahasa yang berdaya-guna atau berdaya imajinatif. Fungsi bahasa Lampung sebagai alat ekspresi menjadi macet. Meski sudah masuk kurikulum muatan lokal sekolah, masih terlalu banyak yang phobia dengan bahasa Lampung. Boro-boro menulis puisi dalam bahasa Lampung (bukan mengingat pantun lama dan menuliskannya!), mendengar orang berbahasa Lampung saja takut. Ah, nasib bahasa Lampung. Pekerjaan sebenarnya adalah membuat bahasa dan sastra Lampung itu bergaya dan orang tak lagi malu menggunakannya. Ini sulit sekali! Kebijakan Pemda Lampung tak cukup bagus untuk mendukung ini. Belum lagi, kalau cuma bahasa-sastra-budaya Lampung yang diperhatikan, ada yang protes. Lo? Bukankah isi Lampung itu bukan hanya orang Lampung? Tudingan pun datang: primordial, sukuisme, mengingkari pluralitas, tak mengakui multikultur, dll-dll.

Caranya, menurut saya, yang sedang pegang kekuasaan (berkuasa), seharusnya paling tahu membuat kebijakan yang paling tepat!

Apa harapan Anda dengan maraknya penerbitan karya sastra di daerah yang memanfaatkan kerjasama dengan pihak Pemda setempat. Belakangan terdapat indikasi pialang proyek sastra yang bisa merusak citra para sastrawan.

Gejala itu memang nampak. Tapi, saya termasuk yang kapok bekerja sama dengan pemerintah daerah dalam menerbitkan karya. Sangat tidak profesional. Terlalu kental warna "proyek"-nya ketimbang keinginan luhur untuk benar-benar menyosialisasikan karya sastra. Saya malah melihat kegairahan di kalangan muda di beberapa kota untuk menerbitkan sendiri (penerbit indie) karya-karya sastra alternatif. Kalau yang itu saya setuju.

Siapa penyair yang anda sukai?

Saya tak mengidolakan nama penyair. Tapi ada banyak karya puisi yang saya suka. Beberapa puisi dari seorang penyair saya suka. Tapi beberapa puisi lainnya tak saya suka. Mungkin, seorang penyair tak terkenal pun bisa jadi saya sukai puisinya. Patokan saya pada teks dan konteks puisi. Kalau teksnya dan atau konteksnya bagus, saya suka.

Apa arti keluarga bagi Anda dan karir Anda menulis?

Keluarga, bagi saya, menjadi sumber inspirasi yang utama dalam menjalankan aktivitas. Istri menjadi teman diskusi yang menyenangkan sekaligus menjadi "kritikus" paling dekat dan paling tajam mengenai apa pun yang saya tulis atau saya katakan.
Begitu juga kalau bertemu adik-adik, terutama adik laki-laki, mereka juga termasuk sparing partner yang asyik dalam berdebat. Semua ini dapat menjadi sumber inspirasi yang tak pernah kering.

Sedikit menyimpang, apa hobi Anda selain menulis?

Selain menulis, saya suka membaca, menikmati musik, meski tak bisa menyanyi dan sesekali melakukan perjalanan (traveling).

Apa rencana Anda ke depan?

Sebagai wartawan, pekerjaan utama saya menulis. Cuma saya tak membatasi diri harus menulis bidang-bidang tertentu. Dari segi kesukaan, karena saya juga alumnus Ilmu Pemerintahan (Ilmu Politik), fenomena sosial politik rasanya tidak mungkin saya abaikan begitu saja. Selain sosial politik, masalah kebudayaan pada umumnya, terutama karya kreatif sastra juga saya ikuti. Saya terobsesi dengan sosok seorang intelektual (pemikir) yang juga wartawan dan sastrawan. Sesekali juga memberikan pelatihan jurnalistik atau bahkan menjadi guru akuntasi SMA. Tak masalah, itu juga pekerjaan yang menantang.
Kalaupun berhenti dari wartawan (semisal dipecat kantor belerja saya!), saya tetap ingin menjadi penulis!

Pengalaman membaca puisi paling berkesan dan dimana?

Saya tak pernah melakukan pembacaan puisi tunggal. Kalaupun ada selalu beramai-ramai dalam event-event tertentu. Saya pikir, vokal saya tak terlalu bagus untuk membaca puisi di depan publik. Saya justru berkesan membaca puisi di kamar. Sendirian saja... Hahahaa...

Dengan kata-kata Anda sendiri, apa itu puisi?

Puisi, bagi saya, adalah sesuatu. Barangkali ada makna di dalamnya, meski itu sangat tergantung penafsiran pembacanya. Di dalam teks puisi dan juga karya sastra lainnya sangat mungkin mengandung banyak kisah, gagasan, pemikiran, pelajaran, dan sebagainya yang bisa menuntun kita berjalan meniti setiap sisi kehidupan. Bukan mustahil mampu membuka cakrawala pembacanya untuk keluar dari problem pribadi yang melilit seseorang. Setiap teks karya sastra yang baik, saya pikir, mengandung nilai-nilai (kejujuran, kebenaran, kearifan, keterbukaan, kebebasan, keadilan, demokrasi, dan sebagainya) yang sangat penting bagi manusia yang mengaku berperadaban. Dengan karya sastra, pembaca dilatih menimbang-nimbang banyak hal. Tapi, saya malah bingung kalau sampai ada karya sastra yang tak dimaksudkan memaknai sesuatu. Saya ragu, itu sastra atau bukan.

Terima kasih Pak Udo.

Terima kasih kembali, Mas Sazano.


Sumber: puitika.net, 18 Mei 2006

Friday, May 12, 2006

Nuansa: Aha....

-- Udo Z. Karzi

AHA...kalau empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut. Luar biasa riuhnya. Apa saja bisa menjadi bahan obrolan. Ada saja bisa jadi bahan kritik, tudingan, bahkan "caci-maki".

Wartawan itu memprihatinkan. Bahaya yang mengintip dari profesi mereka--konon--tak seimbang dengan kesejahteraan yang mereka terima. Belum lagi hambatan saat meliput. Tak jarang wartawan harus berurusan dengan hukum.

Aha menuturkan bagaimana empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut setiap hari menelusuri lorong desa. Terasa pahit.

Di lain waktu, empat berbincang tentang hutan.

"Rupanya, bukan saja 'tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina' sebagai pepatah. Tetapi, 'Menyeludup kayu dan menjual cara sembunyi ke Negeri Cina', juga bisa jadi peribahasa," kata Badogol menyindir oknum Kehutanan.

Tentang korupsi, Aha menulis: "Kalau pejabat RI, selalu berpegang kepada asas backing dan pejabat penting, niscaya NKRI bakal hancur. Itu namanya negara milik pejabat penting, bukan negara yang berdasarkan asas kedaulatan rakyat," ujar Badogol dan Suarsair yang mulai mengerti sedikit.

Aha, melihat bagaimana kacau-balaunya pembagian dana kompensasi bahan bakar minyak, empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut pun mencak-mencak.

Ulah aparat mendata warga miskin amburadul. Negara jadi kebobolan. Untuk ini, sejumlah warga yang seharusnya memperoleh bantuan subsidi BBM melalui PKPS-BBM, memohon pada pemerintah agar melakukan pengusutan yang gencar.

***

Empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut bersua Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, dan Udien. Bayangkan! Jelas ramai sekali.

Kenangan ini segera berlalu. Aha itu Alinafiah Harahap. Wartawan--Mamak Kenut lebih senang menyebutnya kolumnis karena kerapnya mengisi kolom Nuansa Lampung Post--yang biasa memainkan tokoh empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut itu telah pergi. Allah swt. telah memanggilnya kembali ke haribaan-Nya, Rabu, 10 Mei 2006, pukul 22.30. Inna lililahi wa inna ilaihi rajiun.

Mamak Kenut dkk. jelas takkan mampu melupakan sesosok tubuh, Tulang Harahap, begitu dia biasa disapa yang muda-muda.

Empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut jelas takkan lekang dari ingatan Mat Puhit. Lewat tokoh-tokoh yang tercetak dalam lembar-lembar koran ini, terbayang sikap ngotot dan keberanian melawan gelombang hidup yang penuh tantangan.

Aha telah mencontohkan bagaimana hidup harus diperjuangkan. Tak perlu neko-neko! Tapi, tak pula bisa hanya ikut arus, tanpa sikap, dan membiarkan segalanya terombang-ambing.

Selamat jalan, Tulang.

Sumber: Lampung Post, Jumat, 12 Mei 2006