-- Udo Z. Karzi
AHA...kalau empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut. Luar biasa riuhnya. Apa saja bisa menjadi bahan obrolan. Ada saja bisa jadi bahan kritik, tudingan, bahkan "caci-maki".
Wartawan itu memprihatinkan. Bahaya yang mengintip dari profesi mereka--konon--tak seimbang dengan kesejahteraan yang mereka terima. Belum lagi hambatan saat meliput. Tak jarang wartawan harus berurusan dengan hukum.
Aha menuturkan bagaimana empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut setiap hari menelusuri lorong desa. Terasa pahit.
Di lain waktu, empat berbincang tentang hutan.
"Rupanya, bukan saja 'tuntutlah ilmu sampai ke Negeri Cina' sebagai pepatah. Tetapi, 'Menyeludup kayu dan menjual cara sembunyi ke Negeri Cina', juga bisa jadi peribahasa," kata Badogol menyindir oknum Kehutanan.
Tentang korupsi, Aha menulis: "Kalau pejabat RI, selalu berpegang kepada asas backing dan pejabat penting, niscaya NKRI bakal hancur. Itu namanya negara milik pejabat penting, bukan negara yang berdasarkan asas kedaulatan rakyat," ujar Badogol dan Suarsair yang mulai mengerti sedikit.
Aha, melihat bagaimana kacau-balaunya pembagian dana kompensasi bahan bakar minyak, empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut pun mencak-mencak.
Ulah aparat mendata warga miskin amburadul. Negara jadi kebobolan. Untuk ini, sejumlah warga yang seharusnya memperoleh bantuan subsidi BBM melalui PKPS-BBM, memohon pada pemerintah agar melakukan pengusutan yang gencar.
***
Empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut bersua Mamak Kenut, Mat Puhit, Minan Tunja, Pithagiras, dan Udien. Bayangkan! Jelas ramai sekali.
Kenangan ini segera berlalu. Aha itu Alinafiah Harahap. Wartawan--Mamak Kenut lebih senang menyebutnya kolumnis karena kerapnya mengisi kolom Nuansa Lampung Post--yang biasa memainkan tokoh empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut itu telah pergi. Allah swt. telah memanggilnya kembali ke haribaan-Nya, Rabu, 10 Mei 2006, pukul 22.30. Inna lililahi wa inna ilaihi rajiun.
Mamak Kenut dkk. jelas takkan mampu melupakan sesosok tubuh, Tulang Harahap, begitu dia biasa disapa yang muda-muda.
Empat sekawan Suarsair, Badogol, Maralelo, dan Marudut jelas takkan lekang dari ingatan Mat Puhit. Lewat tokoh-tokoh yang tercetak dalam lembar-lembar koran ini, terbayang sikap ngotot dan keberanian melawan gelombang hidup yang penuh tantangan.
Aha telah mencontohkan bagaimana hidup harus diperjuangkan. Tak perlu neko-neko! Tapi, tak pula bisa hanya ikut arus, tanpa sikap, dan membiarkan segalanya terombang-ambing.
Selamat jalan, Tulang.
Sumber: Lampung Post, Jumat, 12 Mei 2006
No comments:
Post a Comment