Sunday, March 21, 2010

Menjelang Akhir FDBS XI

SETELAH berlangsung selama 20 hari, sejak 2 Maret 2010, Festival Drama Basa Sunda (FDBS), hari ini, Minggu (21/3), memasuki detik-detik terakhir. Di ujung festival yang akan berakhir besok, 22 Maret 2010 (bukan 23 Maret seperti diberitakan), masih akan tampil tiga patandang terakhir, yaitu, Teater Bohlam, Teater Simpay Galuh Rahayu, dan Teater Badega. Dan malam harinya berlangsung acara penutupan. Inilah acara yang ditunggu-tunggu oleh seluruh patandang, puncak festival teater bahasa daerah dua tahunan dengan pengumuman para pemenang dari enam kategori; musik terbaik, artistik terbaik, aktor terbaik, aktris terbaik, sutradara terbaik, dan pertunjukan terbaik.

SALAH satu adegan dalam pementasan ”Sadrah” yang dimainkan oleh Teater Uzlah dalam Festival Drama Basa Sunda (FDBS XI) di Gedung Kesenian Rumentang Siang Bandung (19/3).* FOTO: GELORA SAPTA/”PR”

Seperti tahun-tahun sebelumnya, Gedung Kesenian (GK) Rumentang Siang Bandung pada malam penutupan besok akan dipenuhi oleh rasa penasaran dan tegang. Tak hanya di antara para patandang dan pendukung mereka, tetapi juga para penonton. Teriakan dan jerit histeris hingga yang saling berpelukan saking gembiranya akan menyambut setiap penyebutan nama pemenang di setiap kategori.

Mungkin saja berbagai kejutan pada acara puncak FDBS XI besok malam. Terlebih lagi mencermati peta persaingan yang di sana-sini diam-diam memunculkan sejumlah patandang yang mampu tampil sebagai "kuda hitam". Bukan tidak mungkin akan muncul nama-nama di luar kelompok teater yang selama ini diunggulkan, dan yang diam-diam saling mengintai. Dari mulai "juara" bertahan Teater Tarian Mahesa (TTM) Ciamis, Teater Dongkrak Tasikmalaya, Teater Toneel, Teater Lakon UPI Bandung, atau Teater Awal UIN Bandung.

Bahkan bukan mustahil, "kuda hitam" berikutnya akan muncul dari patandang yang tampil di hari terakhir (22/3). Oleh karena itulah, sutradara TTM Gusjur Maesa yang sebelumnya selalu melontarkan pernyataan-pernyataan optimis dengan target dan menyabet semua kategori, kini seolah merasa tahu bahwa akan banyak hal yang sebelumnya tak terduga. Apalagi, setelah setiap hari ia dengan tekun menyaksikan penampilan para patandang. "Wah, sekarang mah saya pasang strategi handap-asor sajalah," ujar Sutradara Terbaik FDBS X 2008 itu.

Meski Rachman Sabur salah seorang juri menyebut bahwa secara kualitas FDBS XI kali ini tak jauh berbeda dengan sebelumnya, tetapi ia menemukan banyak potensi menarik yang dimiliki para patandang. Tak hanya dari Bandung, tetapi juga di berbagai daerah.

"Hanya sayangnya, mereka belum tersentuh atau tidak diarahkan oleh sutradara serta penyutradaraan yang baik," ujar sutradara Kelompok Payung Hitam yang telah tiga kali menjadi juri FDBS ini.
**

BETAPA pun menjadi pemenang merupakan penanda penting dalam setiap penyelenggaraan FDBS demi mengukur kualitas potensi para patandang, tetapi niatan festival ini tentu bukan sekadar untuk mencari para juara dan lalu berhenti di situ. Terdapat banyak hal yang tampaknya mesti diperiksa kembali oleh Teater Sunda Kiwari (TSK) Bandung sebagai pihak penyelenggara. Terutama dalam teknis pelaksanaan demi merespon berbagai perkembangan yang amat terasa dalam FDBS XI, dan juga demi keperluan memaksimalkan potensi para patandang.

Satu hal yang amat terasa adalah jomplang-nya jarak kualitas antara patandang kelompok teater pelajar dan kelompok teater mahasiswa atau umum. Belum lagi mereka harus memainkan atau terikat pada enam pilihan naskah yang disediakan panitia. Oleh karena itu, alangkah jauhnya jarak kemampuan kelompok teater SMP atau SMA ketika harus mengimbangi akang dan teteh-teteh mereka di teater mahasiswa/umum. Dari mulai dialog, pemeranan, bloking, jangan sebut lagi konsep pertunjukan, tafsir, pengolahan idiom, metafora, atau unsur-unsur dramatiknya.

Penyatuan kategori antara patandang pelajar dengan mahasiswa/umum semacam ini sebenarnya telah muncul dalam pelaksanaan FDBS sebelumnya. Demikian pula dalam FDBS XI kali ini, seperti yang muncul dalam sejumlah saran pada angket yang disebarkan panitia. Dan ini bukan tanpa disadari. Bahkan sejak FDBS IX 2006, ketika hal ini muncul, Ketua TSK Dadi P.Danubrata telah menenggarainya. Akan tetapi, ketika itu ia mengatakan, penyatuan kategori ini terpaksa dilakukan karena sangat berhubungan dengan kemampuan pendanaan panitia.

Alasan yang masuk akal, mengingat TSK sebagai pelaksana hanya bermodalkan militansi kerja tanpa dibarengi militansi perhatian dari sejumlah pihak dan institusi yang bertanggung-jawab terhadap perkembangan bahasa dan budaya Sunda.

Bila memang penyatuan kategori itu terpaksa harus dilakukan, tampaknya ada sejumlah permasalahan teknis yang harus diubah oleh TSK sehingga jarak antara kedua kategori itu tidak terlalu jauh. Paling tidak, dari segi pemilihan naskah yang disesuaikan dengan para patandang kelompok teater pelajar sehingga mereka bisa leluasa memaksimalkan potensi yang dimilikinya. Bagaimanapun, secara psikologis jarak hubungan antara pemain dan naskah yang dimainkan sangat memengaruhi tingkat penafsiran dan pemeranan. Terlebih lagi, lebih dari 50 persen patandang adalah kelompok teater SMP dan SMA.

"Naskah sebaiknya bisa mengakomodasi potensi peserta remaja. Dan inilah yang terasa minim dalam naskah FDBS, sehingga terasa sekali mereka kedodoran memainkan naskah yang tidak sesuai dengan dunia mereka sebagai remaja. Lomba naskah yang diadakan TSK dan PPSS sebaiknya juga diberi pengarahan pada bobot peran. Porsi peran perempuan dalam naskah FDBS XI ini sangat sedikit sehingga menyulitkan juri untuk memilih kategori aktris terbaik," kata Rachman Sabur, salah seorang juri.

Tampaknya, Lomba Naskah Drama Sunda yang memang diniatkan untuk keperluan FDBS, perlu disesuaikan dengan konsep penyelenggaraan FDBS di mana patandang umumnya adalah remaja. Hal yang sama juga dirasakan juri yang lain seperti Godi Suwarna. Menurut dia, faktor naskah memang terasa benar menjadi kendala bagi para patandang, dan itu sebenarnya bisa disiasati dengan panitia meminta para penulis untuk membuat naskah festival.

"Bisa saja sumbernya dengan mengadaptasi karya-karya yang sudah, termasuk dari naskah berbahasa Indonesia, yang bisa sesuai dengan keberagaman para patandang. Jadi tidak selalu harus dari hasil lomba," ujar Godi.

Hubungan naskah dan para patandang tampaknya tak hanya terjadi di kategori pelajar. Akan tetapi, juga amat terasa pada patandang yang berbeda karena sebuah keadaan, misalnya, Teater Palagan yang seluruh aktornya adalah tunanetra yang memainkan "Zaman Dabrul" (Arthur S.Nalan). Seandainya saja mereka diberi kebebasan untuk memainkan naskah di luar naskah wajib yang sesuai dengan konteks kondisi mereka, aktor-aktor itu akan lebih bisa memaksimalkan potensi mereka.

"Dengan memainkan naskah wajib seperti itu, yang terjadi adalah tidak adanya hubungan logika panggung antara aktor dan lakon yang dimainkan. Kita tahu mereka tunanetra, lalu bagaimana ketika dalam naskah itu ada aktor yang berperan sebagai tukang reparasi tustel?" kata Rachman Sabur.
**

SEKALI lagi, festival ini tentu diharap tak hanya berhenti setelah keenam piala dari masing-masing kategori itu diserahkan kepada para pemenang. Terlebih lagi, FDBS sejak pagi-pagi sudah membebani dirinya sebagai media apresiasi bahasa dan budaya Sunda. Akan tetapi tentu saja menjadi sangat tak adil seandainya beban itu harus terus ditanggung oleh TSK. Mereka mungkin hanya menawarkan sebuah festival sebagai bentuk berikutnya dari infrastruktur bagi perkembangan budaya dan bahasa Sunda dengan penanda munculnya anak-anak muda yang secara kualitas layak dihargai sebagai pemenang.

Seterusnya beban ini diserahkan pada berbagai pihak untuk meresponsnya, terutama berbagai instusi yang selama ini bertanggung jawab atas perkembangan bahasa dan budaya daerah. Termasuk gagasan untuk membawa kelompok teater yang terpilih sebagai kategori pertunjukan terbaik pentas keliling ke berbagai daerah di Jawa Barat. Pentas keliling ini, termasuk di sekolah-sekolah, bukanlah demi pentas itu sendiri, melainkan dibayangkan bisa menjadi media apresiasi serta pembelajaran budaya dan bahasa Sunda.

Gagasan dan keinginan agar kelompok teater pemenang FDBS dibawa pentas keliling, sebenarnya sudah lama dilontarkan banyak seniman teater yang selama ini mencermati FDBS. Akan tetapi sampai hari ini tampaknya tak ada satu pun institusi yang meresponsnya, baik pemerintah daerah maupun pihak swasta. Jangankan merespons ide tersebut, sedangkan respons terhadap penyelenggaraan FDBS pun demikian lambannya.

Termasuk dalam FDBS XI kali ini. Seperti dituturkan oleh Dadi P. Danubrata, hingga tiga hari menjelang penutupan FDBS dana bantuan Gubernur Jawa Barat belum juga turun. Meski akhirnya, ada tambahan bantuan Rp 20 juta dari Disparbud Jabar, tetapi itu tak urung membuat panitia ketar-ketir. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Maret April 2010

No comments: