-- Dadan Suwarna*
Sekali berarti, setelah itu mati.
Demikian kata Chairil Anwar, penyair angkatan ‘45, yang memang mati muda dan meninggalkan karya monumental, justru keberadaannya diakui setelah ia tiada. Ungkapannya dipinjam dalam perspektif apa pun, termasuk politik menjelang Pemilu 2009, sosial, kesalehan personal, dan lain-lain.
Berarti, tentu memiliki filosofi multidimensional yang bukan semata-mata memaknakan ke-ada-an kita hari ini. Semata-mata ruhani, semata-mata jasmani, adalah tetap sebagai tiadanya kesatuan, tiadanya penyatuan. Dalam bahasa Chairil adalah ”tidak berarti”. Berarti adalah bermakna, berkiprah, ber-ada. Ada perspektifnya adalah sesuatu yang ternilai, added-value, juga terlibatnya sudut pandang penilaian orang lain akan makna kehadiran yang lainnya.
Individualis dikenakan pada keakuan seseorang, sosialis dikaitkan pada kesosialan seseorang. Yang pertama bercitra keakuan, keangkuhan, yang kedua berkesan mengayomi, melindungi, memahami. Ada relevansi sosial tentang makna keberadaan seseorang di baliknya. Di situlah makna berarti dikaitkan.
Berarti bukan sekadar pengakuan diri, tetapi juga realitas yang dirasa, dinikmati. Berarti adalah sesuatu yang tidak pamrih, apolitis, semata-mata melakoni kesadaran berbuat dan berbuah. Buahnya dipetik tiap orang dari pohon rerimbun seseorang yang tentu tertanam bertahun-tahun dari benih kesadaran yang bertunas. Berarti bermakna referensial jadi pegangan dan kenikmatan banyak pihak.
Ibarat perjalanan, perhentian jadi kebutuhan karena tujuan hanya mungkin diintrospeksi dari titik diam. Titik inilah yang mungkin menjangkau kenyataan yang telah dilalui, dan nanti perjalanan selanjutnya dihadapi. Setidaknya kemanusiaan kita butuh diingatkan tentang makna hidup menjalani. Titik diam adalah renungan, ibadah, amal baik, atau apa pun yang bersifat introspektif.
Mati adalah episode perjalanan tiap orang, yang dijelang dan menjelang. Dijelang, karena beberapa di antara kita adalah orang-orang yang tengah mempersiapkan kematian dengan jalan kesalehan. Amatilah para nabi, para rasul, atau manusia pilihan lainnya. Mati seakan-akan jadi perjalanan hari ini dan kini karena mempersiapkan mati adalah ternyata berbuat lebih dan berbuat bagi kebajikan. ”Tangan di atas kemudian jadi lebih baik dari tangan di bawah” karena memberi pada hakikatnya adalah melakukan kesalehan. Kesadaran memberi adalah kesadaran berbagi, cukup dengan perbuatan, kesantunan.
Mati sepenuhnya jadi hubungan Ilahiah, kesadaran makna nihilnya seorang makhluk dibandingkan dengan Khaliknya, Sang Pencipta yang memang teramat Maha. Menjelang, bermakna kematian yang ”tahu-tahu”, kenyataan betapa waktu menggerus kita. Tak sedikit di antara kita yang kemudian menghamba pada persoalan duniawi, terlalu asyik dengan kehidupan horizontal dibandingkan dengan kesadaran vertikal. Konflik kemudian jadi petualangan memanusiakan diri sendiri. Kepentingan, kesempatan, kemudian jadi ”ibadah ritual” tiap orang.
Sesungguhnya bukan sekadar mati. Penamaan seseorang itu menghembuskan napas bersifat asosiatif. Tewas termasuk mati itu sendiri, terkesan dikenakan bagi siapa pun yang dianggap ”biasa”, nyaris tidak menyentuh hati pengupingnya menyangkut akhlak buruk dan busuk, sepadan bahasa pasar (informal) bagi makhluk tak berharga. Bandingkanlah dengan meninggal, mangkat, atau gugur, betapa ketiga kata itu mengesankan heroisme seseorang yang terpuji dan terpuja. Bisa saja pahlawan, bisa saja presiden, raja. Pengiringnya bisa dipastikan adalah penziarah dengan linangan air mata, mengenakan simbolisme hitam, diiringi langit mendung.
Mati sesungguhnya kehidupan itu sendiri, artinya dinamika menjalani rutinitas, bukan sesuatu yang melulu ada di belakang hari nanti. Mati adalah refleksi menanamkan amal baik. Ajaran moral dan keagamaan menempatkan kebaikan sebagai ruh yang penting dalam menjalani hidup tiap hari. Sia-sialah bila seseorang menyia-nyiakan hidup, menyia-nyiakan sesamanya. Selalu ada konsekuensi hukum atau norma yang teremban di balik kejahatan, keburukan, dan lain-lain. Dengan kata lain, mati sesungguhnya bermakna ”di sini” dan ”hari ini” karena mati adalah menjalani relasi sosial kebersamaan akan makna kebaikan.
Sayangnya, derita atau sakitlah yang mengingatkan kita akan perjalanan akhir, perjalanan yang akan meningkatkan kualitas moral dan keagamaan kita. Sementara itu, derita adalah titik akhir dan bukan titik pemberangkatan. Derita bukanlah kesembuhan atau kesehatan diri sepenuhnya yang bermakna dan bisa sepenuhnya berbuat. Derita adalah ketidakberdayaan, adalah kegagalan kalau berurusan tersia-siakannya kesempatan memproduksi kesadaran. Sesallah yang kemudian menghinggapi kebuntuan berbuat. Waktu sehat dibandingkan dengan sakit, muda dibandingkan dengan tua, lebih banyak tertelan kebutuhan ”lain” yang notabene lebih marak, penuh bual, dan nafsu.
Mati seakan-akan persoalan menghela, suatu waktu, yang dengan sendirinya akan dialami siapa pun. Betapa pelaku kematian hanya menyaksikan saat-saat dirinya terpejam atau bahkan meregang, kemudian menghembuskan napas dengan beragam cara. Tak mungkin kemudian ia tertolak dari takdir yang nyatanya ditentukan itu. Sementara kita adalah saksi hidup dari kematian seseorang atau tiap orang yang boleh jadi telanjur lupa dengan perjalanan usia sendiri, seperti telanjur cepatnya pergantian waktu padahal untuk sebuah rencana esok atau bahkan hari ini. Tahu-tahu...
Andai Allah SWT memperkenankan, tiap orang tentu berkeinginan menjenguk buku perjalanan, target pencapaian kesalehan, dan waktu kapan Allah SWT memanggil pulang. Sayangnya, otoritas hidup-mati ada di tangan-Nya dan kita hanya diminta melakoni perjalanan makna.
Tiap orang memilih kematian dengan caranya sendiri. Tak jarang bahkan bunuh diri dipilih sebagai logika kebenaran yang lain di tengah logika umum yang menganggap penyimpangan di baliknya.
Sesuatu yang terlupa kita anggap sebagai perjalanan manusiawi. Akibatnya, lupa tersimpan dalam memori akut kita, seperti halnya bagaimana sejarah dirangkai, kebenaran diungkap, kebebalan beranak-pinak, semata-mata karena faktor lupa atau melupakan diri akan pengakuan kemanusiaan tiap orang yang tak terengkuh dari puing-puing keangkuhan kuasa. Usia, seperti halnya kemanusiaan kita pun terlupa sebagai suatu perjalanan menyenangkan dan melelapkan semata-mata karena urusan personal, tanpa pijakan moral dan kultural yang termanifestasikan. Tahu-tahu...
Sejarah nabi-nabi adalah sejarah refleksif, sejarah akan pentingnya nilai-nilai luhung kemanusiaan. Sejarah kita hari ini adalah sejarah personal, sejarah akan pentingnya pemenuhan dan tuntutan personal dengan mengedepankan pentingnya hak dibandingkan dengan kewajiban.
Mati adalah persoalan menanti, menunggu giliran, menunggu jatah pulang. Dan tentu, kita menjalaninya sendirian. Sekali berarti, setelah itu mati, begitulah pesan Chairil.***
* Dadan Suwarna, Dosen di Fakultas Sastra Universitas Pakuan Bogor.
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 21 Maret 2010
No comments:
Post a Comment