Di sini senang, di sana senang,
di mana-mana hatiku senang.
Di sini senang, di sana senang,
di mana-mana hatiku senang.
La la la la la la la la....
Sambil bernyanyi, tangan Bu Sri terus memberikan aba-aba dan anak didiknya ikut menyanyi lagu ”Di Sini Senang, di Sana Senang” yang dia ajarkan. Dengan penuh semangat, ke-12 siswa kelas VIII Parramatta High School di Parramatta, Australia Barat, bernyanyi. Suaranya tidak begitu bagus, tetapi bidikan nadanya pas.
Bu Sri mengajar lagu Di Sini Senang, di Sana Senang kepada siswa Parramatta High School di Parramatta, Australia Barat, Selasa, 9 Maret 2010. (KOMPAS/TRIAS KUNCAHYONO)
Pelafalan kata-kata dari syair lagu itu kadang kurang pas sehingga terdengar lucu bagi telinga orang Indonesia. Hal itu wajar karena mereka memang bukanlah anak-anak Indonesia. Yang sekolah di tempat itu selain anak-anak asli Australia adalah anak-anak para imigran. Sebutlah seperti dari Pakistan, India, Afganistan, dan Filipina.
Parramatta adalah sebuah kota yang terletak sekitar 23 kilometer sebelah barat Sydney. Dalam percakapan sehari-hari, nama kota itu sering disebut ”Parra” saja. Kata ”parramatta” yang berarti ”mata air” adalah nama sebuah sungai yang mengalir di pinggiran kota itu.
”Ayo Jamal, maju ke depan. Sekarang kita bermain congklak. Ada yang tahu apa itu congklak?” kata Bu Dian Uren, guru di Parramatta yang asli Australia. Ia sangat fasih berbahasa Indonesia. Bu Dian Uren memang guru Bahasa Indonesia di sekolah itu.
Jamal, yang orangtuanya imigran asal Pakistan, segera berdiri dan berjalan ke depan kelas. ”Ibu Sri bisa membantu bagaimana caranya bermain congklak,” kata Bu Diane, dan Bu Sri pun segera ke depan kelas. Ia lalu memeragakan bagaimana bermain congklak kepada Jamal yang berdiri di sampingnya.
”Sudah tahu caranya, Jamal? Coba sekarang giliranmu,” kata Bu Sri disambut tawa lepas Jamal sambil mencoba bermain congklak.
Bu Sri, panggilan Bu Sri Wuryaningsih, guru SMA Negeri 70, Jakarta, bersama rekan satu sekolahnya, Bu Keni, terpilih mengikuti proyek Building Relationship through Intercultural Dialogue and Growing Engagement (Bridge), yakni sebuah kemitraan sekolah Indonesia-Australia. Proyek yang berlangsung selama tiga tahun (2008-2010) ini dikelola bersama oleh The Asia Education Foundation (AEF) dan Australia-Indonesia Institute (AII). Selama kurun waktu itu, proyek akan melibatkan 92 guru Australia dan 92 guru Indonesia yang berasal dari 46 sekolah di Australia dan 44 sekolah di Indonesia.
”Mari kita belajar membaca,” kata Bu Uren. Ia lalu meminta para muridnya membuka buku yang ada di hadapan mereka masing-masing. Buku berjudul Bersama-sama Lagi yang ditulis Sue Clarke, Anna Day, dan Heather Hardie itu adalah buku untuk belajar membaca.
Menjadi ”diplomat”
Bu Sri yang asli Salatiga, Jawa Tengah, mengaku sangat senang mengikuti program ini walau hanya tiga minggu berada di Australia. ”Saya tidak tahu mengapa saya yang dipilih setelah melalui serangkaian proses. Tetapi, apa pun saya senang sekali. Ini pengalaman sangat berharga,” katanya.
Banyak hal yang dirasakan sangat bermanfaat oleh dua ibu guru dari SMA Negeri 70 itu. ”Disiplin anak-anak sangat tinggi. Lima menit sebelum pelajaran dimulai anak-anak sudah siap. Anak-anak juga begitu kritis dan kreatif. Kalau tidak tahu terhadap apa yang kami jelaskan, mereka pasti akan langsung bertanya. Ini yang jarang saya temukan di Indonesia,” paparnya.
”Tadi ketika Bu Uren menjelaskan kata kakek dan nenek, ada yang bertanya, ’Apa itu kakek dan nenek?’ Bu Uren lalu mengucapkan kata grandfather dan grandmother setelah itu mereka baru tahu. Mengapa, ya, di Indonesia kok tidak bisa seperti itu. Kalau tidak tahu, kebanyakan, ya, diam saja. Apalagi, kalau sudah soal disiplin, aduh repot,” tutur Bu Sri.
Selain memperoleh banyak pengetahuan dan pemahaman tentang Australia, Bu Sri juga sangat bangga bahwa murid- muridnya sangat senang belajar Bahasa Indonesia. ”Saya senang belajar Bahasa Indonesia. Selain mudah pengucapannya, juga tidak jauh berbeda dengan bahasa saya dahulu, yakni bahasa Tagalog,” tutur Karlo (17) yang orangtuanya dari Filipina.
”Apalagi, budaya Indonesia tak jauh berbeda dengan budaya kami,” sambung Juhi Shhingani, asal India. ”Kami di India mengenal Baratayuda dan Ramayana, di Indonesia juga ada. Aksen dan pengucapan bahasa Indonesia juga mirip dengan bahasa daerah saya dulu. Saya menikmati,” aku siswi kelas XII ini. ”Ya, saya juga sangat menikmati,” tambah Wahdah, yang orangtuanya dari Afganistan.
”Australia, kan, dekat dengan Indonesia. Kita bertetangga. Jadi, kami harus tahu tentang Indonesia secara lebih mendalam. Lewat belajar bahasa ini, saya berharap bisa tahu banyak tentang Indonesia,” kata Amanda yang asli Australia.
Bu Uren menjelaskan, para muridnya tidak hanya belajar Bahasa Indonesia, tetapi juga mengenal budaya dan mempelajari kebudayaan Indonesia. ”Program ini memang dimaksudkan untuk meningkatkan pengetahuan dan pemahaman para guru dan murid di Australia tentang Indonesia. Demikian sebaliknya, lewat program ini, para guru dan murid di Indonesia juga semakin mengetahui dan memahami Australia,” katanya.
Bu Sri dan Bu Keni barangkali tidak menyadari bahwa mereka adalah seorang ”diplomat” Indonesia karena tugas yang mereka emban adalah bagian dari diplomasi. Meminjam istilah public diplomacy-nya Benno H Signitzer dan Timothy Coombs, sekarang ini diplomasi tidak hanya monopoli para diplomat, seperti zaman dulu yang hanya berdasarkan hubungan resmi antara pemerintah dan pemerintah.
Sekarang ini, diplomasi melibatkan baik pemerintah, individual, maupun kelompok-kelompok. Pemerintah berbicara dan mendengarkan secara langsung kepada orang atau rakyat negara lain. Diplomasi seperti ini dilakukan untuk menerobos hambatan-hambatan yang kemungkinan ditemui dalam hubungan antarpemerintah.
Karena itu, kata Signitzer dan Coombs, ”Para aktor dalam diplomasi publik tidak dapat dibatasi lagi hanya dilakukan oleh para diplomat profesional, tetapi juga bisa dilakukan oleh sejumlah orang secara individu, kekelompok, dan institusi yang terlibat dalam aktivitas komunikasi interkultural dan internasional untuk kepentingan hubungan politik antardua negara.”
Bu Sri, Bu Keni, dan guru lain dari Indonesia yang ikut proyek Bridge barangkali tidak memahami semua itu. Namun, mereka melakukan apa yang dilakukan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono ketika berkunjung ke Australia, beberapa hari lalu. Mereka sama-sama memperkenalkan Indonesia, baik bahasa maupun budaya, dan segala hal tentang Indonesia. Tujuannya, agar orang Australia semakin mengenal Indonesia.
Sebab, ”Kita bukan sekadar tetangga. Kita bukan sekadar kawan. Tetapi, kita adalah mitra strategis,” begitu rumusan Pak SBY ketika pidato di depan anggota Parlemen Australia, beberapa hari lalu.
”Di sini senang, di sana senang,” tutur Bu Sri, seperti lagu yang ia ajarkan kepada para muridnya.
Trias Kuncahyono, dari Sydney, Australia
Sumber: Kompas, Senin, 22 Maret 2010
No comments:
Post a Comment