-- Ilham Khoiri
GAMBAR dan sketsa S Sudjojono (1913-1986) ditampilkan dalam pameran ”Sang Ahli Gambar” di Galeri Soemardja, FSRD ITB, Bandung. Bersamaan dengan itu, 236 seniman merespons dengan menggelar karya di 15 galeri di Bandung dan Jakarta. Apa pentingnya perhelatan ini bagi seni rupa kontemporer saat ini?
Tiga seniman legendaris Indonesia saat masih hidup: Affandi (kanan), S Sudjojono (tengah), dan Basoeki Abdullah. (KOMPAS/KARTONO RYADI)
Saya berani mengatakan, bahwa sesudah Persagi (Persatuan Ahli Gambar Indonesia) tahun 1937, seni lukis Indonesia telah lahir kembali dalam bentuk baru sesudah tidur berabad-abad.... Mereka memusatkan tema lukisan tidak di kehidupan surga seperti pelukis Barat di Indonesia, tetapi pada kehidupan nyata itu sendiri, di mana manusia menjadi pusatnya....”
Demikian penggalan pernyataan Sudjojono yang diputar kembali dalam pameran ”Sang Ahli Gambar” di Galeri Soemardja, 14 Oktober-10 November. Kutipan itu bagian dari ceramahnya di Taman Ismail Marzuki (TIM) Jakarta tahun 1977.
Bagi Sudjojono, lukisan naturalis-romantis yang mengeksploitasi pemandangan indah (mooi indie) tidak mencerminkan keadaan sesungguhnya karena hanya mewakili citra eksotisme Timur di mata Barat. Para pelukis Indonesia sepatutnya menggambarkan kehidupan nyata dan kegiatan masyarakat yang sesungguhnya.
Gagasan lain yang lebih terkenal lagi, tentu saja soal jiwa kethok (jiwa tampak). Dalam kesempatan berbeda, dia pernah menyatakan, ”Kalau seorang seniman membuat suatu barang kesenian, maka sebenarnya buah kesenian tadi tidak lain dari jiwanya sendiri yang kelihatan. Kesenian adalah jiwa kethok. Jadi, kesenian adalah jiwa.”
Berbagai pemikiran itu menjadikan Sudjojono sebagai pemikir dan kritikus seni lukis Indonesia pertama. Gagasan lebih lengkap seniman ini dirangkum kurator pemeran, Aminudin TH Siregar, dalam buku sekaligus katalog pameran, ”Sang Ahli Gambar: Sketsa, Gambar dan Pemikiran S Sudjojono”.
Karya
Pameran ini juga memajang karya Sudjojono. Di tengah ruangan Galeri Soemardja, ada koper kerja (berisi cat dan peralatan melukis), buku gambar, dan contoh ilustrasi karya seniman ini. Pada dinding galeri, tergantung 87 sketsa dan drawing-nya tahun 1950-1980-an. Semuanya koleksi S Sudjojono Center.
Karya-karya itu memang mencerminkan kehidupan nyata. Ada gambar kehidupan sehari-hari, pemandangan, hewan, serta figur manusia. Ada juga puluhan karya studi untuk persiapan lukisan.
Karya studi ini menarik karena menunjukkan riset seorang seniman sebelum membuat lukisan besar. Tahun 1973, Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin meminta Sudjojono untuk melukis penyerangan Sultan Agung ke Batavia. Untuk memenuhinya, dia melakukan penelitian selama tiga bulan di Belanda serta membuat puluhan sketsa studi.
Sketsa itu berisi studi bentuk figur dan peristiwa yang hendak dilukis. Beberapa sketsa, misalnya, mencoba menemukan bentuk paling pas Sultan Agung, cara duduknya, para abdi, dan suasana keraton. Studi lain memperlihatkan para prajurit keraton, tentara Belanda, lengkap dengan senjatanya. Ada juga rekaan gambar pertemuan JP Coen, penguasa Batavia, serta Kiai Rangga.
Studi yang rinci, termasuk dengan catatan dan nomor-nomor, ini kemudian menjadi dasar untuk menggarap lukisan pesanan tadi. Hasilnya adalah lukisan sejarah berukuran 3 meter x 10 meter dengan data sejarah cukup akurat. Karya berjudul ”Pertempuran Sultan Agung melawan JP Coen (1628-1629)” itu kini menjadi koleksi Museum Sejarah di Jakarta.
Pameran ini fokus menampilkan sketsa dan gambar Sudjojono yang jarang ditampilkan pada publik. Sebenarnya seniman ini juga dikenal lewat banyak lukisan dengan beragam tema dan pendekatan.
Di luar pemikiran dan karyanya, sosok Sudjojono juga seorang organisatoris yang baik. Tahun 1938 (dalam ceramah tadi disebutkan tahun 1937), dia mendirikan Persagi, cikal bakal kelompok seni rupa penting Indonesia. Tahun 1946, dia mendirikan kelompok SIM (Seniman Indonesia Muda).
Dengan semua catatan itu, bisa dibilang, Sudjojono adalah seniman modern Indonesia yang utuh. Dia berkarya, berpameran, berpikir, menulis, dan mengorganisasi gerakan seni rupa. Semuanya dikerjakan secara bersamaan dan dengan penuh kesadaran tinggi.
”Sudjojono meletakkan dasar-dasar avant-gardisme seni rupa modern di Indonesia,” kata Aminudin TH Siregar, di Bandung, Rabu (10/11).
Respons
Untuk mengenang kiprahnya, 236 seniman Indonesia membuat karya sebagai respons dan tafsir atas karya dan pemikiran S Sudjojono. Karya mereka disajikan dalam pameran bersama ”Sang Ahli Gambar dan Kawan-kawan” di 14 galeri di Bandung, yaitu Selasar Sunaryo Art Space, Lawangwangi, Padi Artground, Griya Seni Popo Iskandar, Studio Rosyid, PLATFORM3, Galerikita, Sanggar Olah Seni Siliwangi, Galeri Maranatha, Museum Barli, Titik Oranje, Galeri Adira, dan Rumah Proses, Galeri 212 (STSI). Ada juga pameran di Galeri Canna di Kelapa Gading, Jakarta.
Karya para seniman masa kini itu punya pendekatan, media, bentuk, dan penyajian beragam. Sebagian mencoba melukis sosok Sudjojono secara fisik, sebagian mengambil semangatnya untuk menggarap karya baru, sebagian lagi berkarya secara lepas. Mereka berasal dari berbagai kelompok.
Apa pentingnya sosok itu bagi para seniman kontemporer? Di tengah tren berkarya sekarang ini yang lebih instan, penuh semangat bermain-main, dan didukung berbagai teknologi canggih, figur Sudjojono mengajak kita untuk menengok kembali karakter seniman yang bekerja dengan penuh totalitas, kesungguhan, kecerdasan, dan keterbukaan.
Sumber: Kompas, Minggu, 14 November 2010
No comments:
Post a Comment