-- Indra Tranggono
SEORANG sufi atau mereka yang berjiwa religius memaknai gunung berapi bukan sebagai ancaman bencana, melainkan ”raksasa” baik hati yang teguh menjaga keseimbangan berdasarkan hukum alam.
Seperti manusia, gunung pun selalu menggeliat dan bergolak untuk menemukan keseimbangan baru. Ini terjadi karena alam bukan benda mati. Ia selalu berproses secara dinamis. Ketika Gunung Merapi menggeliat dan batuk-batuk, sesungguhnya ia sedang melakukan berbagai penyesuaian atas semesta.
Gunung Merapi adalah aktor besar yang sedang menjalankan peran berdasarkan casting dari Tuhan. Melalui aktivitas Merapi, Tuhan menunjukkan, diri-Nya tak pernah mandek berkarya. Ia mahakreatif. Kreativitas-Nya selalu menantang kemampuan umat manusia untuk berkembang, baik secara religius, keilmuan, sosial, politik, ekonomis, maupun kultural.
Dalam konteks itu, sesungguhnya terminologi ”bencana alam” kurang tepat. Sebab, alam bergolak merupakan kodrat sesuai dalil dan ”juklak” serta ”juknis” Tuhan. Alam pun tak sedang menciptakan bencana bagi dirinya sendiri. Istilah bencana baru muncul ketika dinamika alam terkait dengan keberadaan manusia yang nunut (menumpang hidup) pada alam. Maka, manusia dituntut cerdas dan visioner untuk memahami alam sehingga tak jadi korban. Artinya, manusia mesti patuh dan menyesuaikan diri pada hukum alam.
Terminologi bencana alam lahir dari pandangan sekuler yang memahami alam sebagai sumber potensi destruktif, sebagai ”raksasa” yang selalu mengamuk. Alam dihadirkan sebagai musuh manusia sehingga harus ditaklukkan, dikuasai, dan dieksploitasi. Cara berpikir semacam ini picik, tak adil, sekaligus arogan.
Seperti sifat Tuhan, alam memberikan segalanya kepada manusia sehingga manusia dapat membangun kebudayaan dan peradaban. Anehnya, tidak semua manusia mampu memahami alam dan bersyukur kepada Tuhan. Mereka hanya mau berhubungan dengan alam secara fungsional dan menguntungkan.
”Wedhus gembel”
Romo Kirjito memberi refleksi yang tepat: Gunung Merapi adalah guru kemanusiaan, ilmu pengetahuan, dan politik (Kompas, 12/10). Sebagai guru kemanusiaan, Merapi memberi pelajaran tentang solidaritas sosial dan kualitas penghidupan. Menjadi guru pengetahuan, Merapi mendorong manusia mengembangkan ilmu, pengetahuan, dan teknologi. Sebagai guru politik, Merapi mengajari kita soal keadilan sosial.
Apakah letusan Merapi 2010 ini mampu mendorong letusan pencerahan bagi bangsa kita?
Bangsa ini telah jauh bergerak tanpa gagasan besar yang memuliakan manusia/kemanusiaan dan keadilan. Para pemimpin masih terpaku pada panggilan kekuasaan daripada panggilan kemanusiaan dan keadilan. Setiap hari rakyat diguyur awan panas (wedhus gembel) dari letusan gunung korupsi dan penyimpangan atas konstitusi.
Para pemimpin kita—meminjam istilah Eep Syaifullah—lebih memilih ”kekaguman” konstituen daripada berpihak kepada konstitusi. Mereka cenderung kurang berani mengambil langkah konstitusional hanya karena takut tak populer atau citra dirinya jatuh. Gelembung-gelembung citra dianggap jauh lebih penting daripada semangat pengabdian menjalankan konstitusi.
Konstitusi adalah rumah bangsa sekaligus peta orientasi nilai negara. Ketika konstitusi itu ditinggalkan dan para pemimpin lebih asyik dalam gelombang pencitraan berdasarkan dinamika pasar, negara ini pun semakin dalam memasuki jurang ”negara gagal”. Kepemimpinan berbasis pencitraan akhirnya tak lebih dari gelembung-gelembung sabun. Hampa dan rapuh.
Kita berharap erupsi Merapi—juga tsunami Mentawai dan banjir Wasior—menjadi daya dorong atas magma keadilan di negara ini untuk segera muncrat dan melahirkan letusan dahsyat keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Rakyat pun akan kuyup dihujani kesejahteraan dan kemuliaan, seperti diramalkan Raja Kediri Prabu Jayabaya (1137-1159) tentang zaman kalasuba (zaman kemuliaan).
Saatnya para pemimpin kita mengakhiri episode zaman kalabendu (zaman hukuman) akibat berbagai ketidakdilan dan penyimpangan konstitusional. Inilah pencerahan terpenting bagi para pemimpin.
Indra Tranggono, Pemerhati Budaya dan Anggota Pengurus Majelis Luhur Tamansiswa, Tinggal di Yogyakarta
Sumber: Kompas, Selasa, 16 November 2010
No comments:
Post a Comment