Tuesday, August 10, 2010

[65 Tahun Indonesia] Peran Agama: Gagalnya Transformasi Nilai-nilai

-- Subhan SD

APA yang bisa dikatakan ketika makin banyak pejabat negara atau figur publik negeri ini terbelit kasus korupsi atau asusila? Di mana moralitas bangsa ini? Padahal, Indonesia dibangun dengan fondasi agama yang kuat yang terukir dalam Pancasila: Ketuhanan Yang Mahaesa.

Ada fakta yang kontradiksi dalam beberapa tahun terakhir ini. Ketika kegairahan beragama masyarakat menampakkan peningkatan drastis, antara lain dengan makin maraknya penguatan pemahaman beragama dan simbol-simbol keagamaan, pada saat yang sama justru semakin marak pula praktik korupsi dan perilaku bobrok di negeri ini.

Banyak pejabat termasuk aparat di tingkat bawah terjerat kasus korupsi dan suap. Korupsi seperti menjalar di dalam aliran darah bangsa Indonesia. Mereka yang diberi amanah untuk mengelola negeri ini malah makin membenamkan diri dalam kubangan korupsi. Uang rakyat menjadi lumbung emas yang dikuras beramai-ramai. Tak mengherankan anggaran pembangunan dan belanja daerah (APBD) banyak yang tidak sampai ke rakyat.

Maka, bukan rahasia lagi bahwa ”orang-orang besar” kini terjerat korupsi, antara lain pejabat pemerintah, anggota DPR, aparat hukum (kejaksaan, kepolisian, pengacara); pengurus partai politik, hingga yang fenomenal adalah kasus pegawai pajak, Gayus HP Tambunan. Semua itu justru makin marak ketika genderang perang melawan korupsi dikumandangkan sejak reformasi sekitar 12 tahun silam.

Anehnya lagi, praktik-praktik yang tidak hanya merusak moral bangsa, tetapi juga memukul sendi-sendi ekonomi bangsa itu seakan menantang tanpa takut meskipun lembaga superbody Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) berulang kali menyeret para koruptor itu.

Informasi yang disampaikan Indonesia Corruption Watch (ICW) seharusnya menjadi perhatian sangat serius. Contohnya, dalam dua tahun ini saja, gejala korupsi malah meningkat pada saat kita ramai-ramai menggebuki para koruptor.

Menurut ICW, pada semester I dari 1 Januari hingga 30 Juni 2009, perkara korupsi yang terbongkar ada 86 kasus dengan 217 tersangka dan kerugian negara senilai Rp 1,17 triliun. Pada periode sama tahun 2010 perkara korupsi yang terungkap malah meningkat drastis menjadi 176 kasus. Nilai kerugian negara mencapai Rp 2,1 triliun dengan tersangka 441 orang.

Fakta-fakta di atas menunjukkan penegakan hukum belum mampu membuat efek jera. Akan tetapi—yang lebih penting—juga tak lepas dari hal yang sangat mendasar, yaitu moral bangsa. Praktik korupsi sesungguhnya menjatuhkan martabat sebagai manusia. Kalau saja masyarakat sekarang juga permisif terhadap praktik-praktik busuk itu, menunjukkan bahwa masyarakat juga sedang ”sakit”. Lantas di mana pesan-pesan agama atau pesan ”ketuhanan” yang terpatri erat di sila pertama Pancasila?



Padahal, Emile Durkheim saja mengatakan, agama bukan hanya sistem gagasan, melainkan juga sistem kekuatan, termasuk kekuatan moral. Setiap agama memiliki ruang lingkup yang suci dan kotor. Batas antara suci dan kotor ini menimbulkan etika sosial di masyarakat yang menghasilkan sanksi- sanksi. Apabila ada orang yang melintasi batas wilayah suci atau merusak tradisi suci, sanksinya adalah berupa hukuman. Dalam konteks ini, Durkheim menilai agama sebagai kaidah tertinggi di dalam masyarakat.

Betapa pentingnya agama dalam konteks tersebut juga diungkapkan Kuntowijoyo (1991). Pemahaman terhadap agama, dalam hal ini Islam, tidak sama dengan pemahaman Barat. Islam bukanlah sistem teokrasi, bukan pula cara berpikir yang didikte oleh teologi. Nilai-nilai Islam pada dasarnya bersifat merangkul semua (all-embracing) bagi penataan sistem kehidupan sosial, politik, ekonomi, dan budaya. Oleh karena itu, sebut Kuntowijoyo, tugas terbesar Islam sesungguhnya melakukan transformasi sosial dan budaya dengan nilai-nilai itu.

Kalau saja sekarang ini bangsa ini makin terpuruk, itu karena faktor ”agama” yang tak lagi menjadi pegangan. Pesan-pesan agama yang menyebarkan kebenaran, kebaikan, kejujuran, dan kemuliaan, sesungguhnya telah jelas. Namun, banyak di antara kita yang tak mampu atau bisa jadi keliru memahami pesan-pesan tersebut. Bila demikian, transformasi nilai-nilai pun telah gagal.

Sumber: Kompas, Selasa, 10 Agustus 2010

1 comment:

Catatan Sang Guru said...

Sesuatu yang patut disesaslkan, semakin tua semakin lemah bangsa Indonesia ini