KEPERGIANNYA tak membuahkan kekagetan. Sudah hampir empat tahun, sang maestro ini menderita sakit. Stroke dan berbagai penyakit lainnya telah menggerogoti tubuh tua itu hingga kurus kering. Dalam keadaan seperti itu, kematian hanyalah soal waktu.
Matahari baru meninggalkan orbit siangnya. Sabtu sore, pukul 14.30 WIB, 7 Agustus 2010, menjadi jawabannya. Mimi Rasinah, sang maestro telah berpulang. Perjalanan hidup yang panjang, tetapi terasa begitu singkat. Pada usia genap 80 tahun setelah kelahirannya pada 5 Mei 1930, kain kafan menutup rotasi perjalanan hidupnya.
Sejarah, sebagaimana dalam perspektif sejarawan Arnold Toynbee, memang tak pernah lepas dari ikatan ruang dan waktu. Juga aktor-aktor yang terlibat di dalamnya, serta peristiwa-peristiwa yang dilahirkannya.
Ruang dan waktu, dalam proses metamorfosis sejarah, acap kali melahirkan berbagai fenomena. Seorang maestro, dalam berbagai bentuk ekspresi humanitariannya, terus hadir sebagai kebutuhan. Pada ruang yang tak hampa itu, pada kebutuhan sejarah akan keberadaan maestro, Rasinah lahir dan dilahirkan.
Dia lahir, karena keberadaannya secara individual. Dalam perspektif eksistensialisme Sartre, menunjukkan kekhasan identitas yang tidak setiap orang mampu melakukannya. Dan dia juga dilahirkan dan ada, juga karena citra sosial, dalam ruang publik yang lebih luas, selalu membutuhkan kehadiran seorang aktor. Yang kemudian mengalami akumulasi kualitatif secara terus-menerus pada kekhasan individualnya tadi. Lalu berubah menjadi apa yang ranah sosiologis (produksi dan reproduksi citra sosial) menyebutnya sebagai "maestro".
Oleh karena itu, dalam konteks lokalitas geokultur Indramayu-Cirebon, tersematlah panggilan kehormatan "Mimi". Pada Rasinah, "Mimi" bukan panggilan terhormat kepada orang-orang tua (perempuan) yang muncul sebagai kontruksi kultural tentang etika sosial semata. Akan tetapi, lebih dari itu. Pada kata "Mimi", sebenarnya totalitas eksistensi humanitarian Rasinah berada.
**
Kata "Mimi" dalam ranah etika sosial lebih luas dan modern itulah yang diartikan sebagai "maestro". Sejarah selalu membutuhkan aktor-aktornya yang menjadi ikon dari suatu fase atau penggalan-penggalan relasi integralistik "plasikal" (ruang) dan "timikal" (waktu). Rotasi inersiatik ruang dan waktu dalam sirkulasi bejana sejarah yang berada dalam alur dialektika, selalu membutuhkan lahirnya "Mimi" atau maestro tadi. Karena "Mimi"-lah (maestro), kemudian lahir sejarah.
Sejarah, sebagai tinanda (signified), selalu teridentifikasikan pula karena keberadaan fenomena-fenomena ikonik yang dalam terminologi semiotika Roland Barthe, menjadi penanda (signifier). Dia bisa berupa artefak-artefak, bisa juga kehadiran aktor-aktor individual yang kemudian disebut sebagai seorang "Mimi" (maestro).
Mimi atau maestro itu, dan Rasinah seperti susunan variabel yang lengkap, lantas menorehkan catatan khas dan unik. Mimi Rasinah, atau sang maestro itu bahkan menjadi catatan sejarah tersendiri. Hadir dalam totalitas ruang dan waktu, sebagai tinanda dan penandanya.
Pada Rasinah, kematian bukan melulu perkamen sejarah yang berisi catatan administrasi tentang ketiadaan seseorang dalam deretan numerik administrasi. Namun, juga berarti berakhirnya suatu era. Satu tradisi lokal, tari topeng, yang ikut terpendam bersama jasad tuanya yang ringkih, yang tertimbun dalam gundukan tanah kuburan, sebagai tempat akhir dari ritus kematian, serta berhentinya jalinan titian waktu (skenario) kehidupan.
Mimi Rasinah telah terbang menuju haribaan kekekalan ilahiah. Yang membekas dan memberkas dalam ingatan hanyalah cerita-ceritanya yang membuat publik terpukau. Hadir begitu menghentak dalam ruang publik yang selalu haus akan kehadiran-kehadiran "orang-orang suci" atau "orang-orang yang disucikan".
Rasinah adalah "orang suci" dan "disucikan". Kesetiaannya terhadap eksistensi dirinya, loyalitasnya yang begitu militan dan bersemangat terhadap apa yang menjadi identitasnya (penari topeng), seolah memaksa kita menundukkan kepala, menaruh rasa hormat, bangga, sekaligus sedih.
Rasinah menjadi "orang suci" justru karena terus-menerus membasuh identitas dirinya. Seperti kayu yang tak lelah tersabut kain perca, menjadi mengilap dan memancarkan keindahan.
Rasinah dengan laku sederhananya dalam dunia kecil (tari topeng) menjadi sumber inspirasi, sekaligus mata pelajaran akan perlunya hidup dan pilihan-pilihannya, mesti dilakoni dengan totalitas. Dengan demikian, siapa pun yang menjalani hidup dan pilihannya dengan totalitas, sebenarnya dia melakukan ritus ilahiah, tugas dan kewajiban suci kekhalifahan tentunya.
Oleh karena itu, Rasinah juga "disucikan". Bagaimanapun ranah sosial, atau ruang publik yang penuh manipulasi dan distorsi nilai-nilai itu, butuh citra, butuh teladan, figur panutan, butuh lakon.
Setidaknya, dengan topeng, Rasinah memainkan metafora-metafora kehidupan. Mengabarkan nilai-nilai tentang kesabaran dan kesucian seperti pada topeng panji. Atau keangkaramurkaan, keangkuhan, dan kejumawaan yang menjadi jumud peradaban pada topeng kelana. Atau pula metafor tentang kesabaran, keuletan, kegembiraan, kesedihan, kelucuan, dan sikap perwira serta kestarian seperti pada topeng pamindo, rumyang, dan tumenggung.
Tentu saja, topeng bagi Rasinah hanyalah simbol dari metafora-metafora dan nilai yang akan dikabarkan atau didakwahkan. Dengan demikian, ada perbedaan jelas dengan manusia-manusia tak bertopeng, tetapi sesungguhnya tengah mengenakannya dalam menjalani lakon-lakon kehidupan. Mereka tampil membungkus wajahnya dengan topeng kemunafikan dan penuh tipu daya seperti pada koruptor, pemimpin korup, dan politisi busuk.
**
Bagaimanapun, tari topeng bukan sekadar peristiwa pemanggungan ketika seseorang mengenakan topeng, mengibas-ibaskan selendang, dan melompat-lompat di atas panggung. Akan tetapi, dia merupakan peristiwa kebudayaan dalam perspektif lebih luas. Ada relasi serta mobilitas tekstual dan kontekstual. Ada jalinan dalam pertautannya dengan nilai-nilai sosiologis dan filosofis. Ada diskusi intens semiotis atau benturan dialektika antara penanda dan tinanda, norma-norma dan tertib nilai yang termanifestasikan dalam simbol, kode, dan fenomena-fenomena sosiologis, filosofis, bahkan juga agamis.
Rasinah atau orang tua yang dihormati dan dipanggil "Mimi", atau seorang aktor (aktris) yang menyandang gelar "maestro", juga telah hadir sebagai seorang pendakwah. Tentu melalui dunia dan caranya sendiri, berkeliling dari satu kampung ke kampung yang sepi, hingga ke panggung di jagad mancanegara yang gemerlap dan riuh rendah. Karena dakwah adalah aktivitas kekhalifahan yang begitu mengenal beragam cara, bentuk, penampilan, dan ekspresi. Tidak stereotipikal sebagaimana telanjur dipersepsikan selama ini.
Kematian Rasinah, sebagai maestro tari topeng, wanita tua sederhana yang berasal dari Pekandangan, Indramayu, juga telah menutup tugas historisnya sebagai khalifah tadi. Dalam dinding sejarah (maestro tari topeng), dia tereliefkan bersama maestro tari topeng lain yang telah lebih dulu melaksanakan tugas pendakwahannya seperti Mimi Sudji (tari topeng Palimanan), Mama Sudjana Arja (Selangit, panggilan kehormatan khas Indramayu-Cirebon untuk orang tua laki-laki), dan Mimi Sawitri (Losari). Rasinah juga ada bersama orang-orang yang telah dipilih oleh sejarah yang di atas namanya tersemat kata "maestro", mereka adalah pejuang lokalitas tradisional yang berhasil meretaskan batas-batas universal tatanan global (modern) dalam pengertian yang sesungguhnya.
"Mimi ingin menari sampai mati," begitu pesan terakhir Rasinah yang disampaikan kepada penulis dua tahun sebelum kematiannya. Dengan demikian, tafsir mengenai itu bahwa tari topeng atau gerakan dakwah kebudayaan tadi, janganlah ikut terkubur bersama kematian raganya. Menari, bagi Rasinah adalah hasrat yang merupakan dasar natural kemanusiaannya, sebagaimana Nietsczhe dalam Also Spracht Zarathustra, untuk terus berkuasa. Hasrat atau kehendak kekuasaan itu, bagi Rasinah yang sederhana, hanyalah ketika dia menjelma menjadi penari topeng yang gagah perkasa di atas panggung, ruang tempatnya menyemburkan nilai-nilai lewat dakwah kebudayaannya.
Rasinah butuh penerus, sebagaimana sejarah selalu membutuhkan aktor yang menjalankan peran ikoniknya. Dengan demikian, siapa yang kelak akan diamit oleh tuntutan sejarah sebagai orang pilihan, yang benar-benar menjadi "orang suci" dan lantas "disucikan", akan lahir bersama proses berpilinnya relasi antara jengkal ruang dan titian waktu. Selamat jalan Mimi, dan selamat datang "Mimi" atau "Mama" baru. (Agung Nugroho/"PR")
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 22 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment