Saturday, August 14, 2010

Menolak Penghargaan

-- AJ Susmana*

BAGAIMANA bisa sebuah pemberian penghargaan ditolak? Apalagi penghargaan itu didasarkan atas dedikasinya terhadap kerja dan keilmuan? Bukankah mendapat penghargaan di bidang ini sangat membahagiakan? Karena dengan demikian kerja pencarian kebenaran ilmiahnya diakui dan dihargai. Tapi memang tak selamanya penghargaan bisa diterima begitu saja mengingat banyak pertimbangan yang selain kerja keilmuan juga dituntut kepekaan terhadap situasi sosial, politik, dan ekonomi yang sedang berlangsung.

Daoed Joesoef dan Sitor Situmorang menolak Penghargaan Bakrie Award 2010. Sebelumnya, Magnis Suseno melakukan hal yang sama dan Gunawan Mohammad mengembalikan penghargaan dan hadiah yang pernah diberikan. Pemberian penghargaan dan sekaligus penolakan adalah dua sisi yang berlawanan. Di sana ada nilai-nilai yang diperjuangkan baik yang memberi, yang menerima, maupun yang menolak. Seperti yang juga diakui Aburizal Bakrie, penolakan itu tak akan menghapus apresiasi yang sudah diberikan kepada para pihak yang menolak Bakrie Award.

Penghargaan Bakrie Award yang sudah berusia delapan tahun ini jelas merupakan bentuk perhatian terhadap upaya kemajuan kerja ilmu pengetahuan dan teknologi di Indonesia. Terlebih hampir tak ada pengusaha atau industriawan yang menghargai kerja intelektual dengan memberikan penghargaan berlebih atas kerja intelektual dan mendorong riset atau penelitian yang dapat menaikkan derajat bangsa. Sebab itu, langkah ini positif mengingat masih sedikit perhatian negara terhadap kerja keilmuan. Kita lihat banyak ilmuwan Indonesia yang bekerja di luar negeri karena justru di luar negeri keilmuan mereka diakui dan dapat berkembang maksimal di samping tentu saja mendapatkan bayaran yang tinggi. Akan tetapi bila negara bisa memfasilitasi kerja keilmuan mereka barangkali mereka juga tak akan keluar negeri tapi memilih bekerja untuk bangsa

Menolak penghargaan bukanlah hal baru di dunia. Selain Sartre yan menolak hadiah Nobel, dalam sejarah sastra Indonesia juga diketahui: Pramoedya Ananta Toer dan Mh. Rustandi Kartakusuma menolak Hadiah Sastra BMKN 1957/1958; Mochtar Lubis mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya sebagai protes atas pemberian penghargaan Magsaysay kepada Pramoedya Ananta Toer; masih bisa dicatat Dita Indah Sari, Februari 2002 menolak penghargaan Reebok Human Rights Award. Alasan penolakan jelas berbeda-beda terkait dengan situasi subjektif dan zaman yang mengikutinya. Pada kasus penolakan Bakrie Award alasan yang mengemuka adalah tak tuntasnya penanganan korban lumpur lapindo, yang oleh sebagian kalangan menganggap bahwa Aburizal Bakri, pendana Bakrie Award ini harus bertanggung jawab terhadap bencana lumpur tersebut.

Sementara itu, penolakan terhadap Bakrie Award jelas merupakan pernyataan bahwa penghargaan yang diberikan tidak bisa dilepaskan dari etika bisnis yang berkaitan dengan sepak terjang pengusaha Aburizal Bakri. Penolakan juga jelas menyatakan bahwa masih ada masalah yang menuntut diselesaikan dalam kasus lumpur Lapindo agar kebahagiaan dalam menerima Bakrie Award menjadi penuh. Pun rakyat dapat melihat niat baik keluarga Bakrie dalam mengapresiasi kerja intelektual di Indonesia. Sayangnya masalah ini terkatung-katung dan sebagian para korban lumpur Lapindo terus mencari keadilan. Tentu memang susah bergembira sementara di sisi lain ada yang terluka.

Keluarga Bakrie bisa saja mengabaikan situasi ini, anjing menggonggong kafilah berlalu, pemberian penghargaan jalan terus sambil memperbaiki citra dan berharap masyarakat melupakan masalah yang lalu-lalu. Tapi tentu saja tidak bisa, buktinya pemberian Bakrie Award tak berjalan mulus. Penghargaan dan penolakan Bakrie Award sudah menjadi bagian sejarah sosial bangsa ini. Rakyat mencatat keterbelahan nilai-nilai ini sekaligus berharap bahwa kebenaran suatu waktu ditegakkan.

Pelajaran penting dari penolakan Bakrie Award ini adalah bahwa rakyat yang terhinakan yaitu korban lumpur Lapindo dinyatakan masih ada dalam perjuangan menuntut keadilan dan solidaritas terhadap mereka juga masih ada. Keluarga Bakrie seharusnya tidak abai pada soal ini dan kembali fokus untuk menyelesaikan kasus lumpur lapindo dengan masyarakat yang masih berjuang menuntut keadilan. Kalau tidak, kasus lumpur lapindo akan terus menjadi batu sandungan bagi kerja-kerja Aburizal Bakri, termasuk di sini adalah menolak penghargaan Bakrie.

* AJ Susmana, Alumnus Fakultas Filsafat UGM, Anggota Divisi Sastra Sanggar Satu Bumi

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 14 Agustus 2010

No comments: