-- Mukhamad Kurniawan dan Dedi Muhtadi
SETIAP menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus, Rengasdengklok, kota kecamatan yang terletak 23 kilometer utara kota Kabupaten Karawang, Jawa Barat, terus dimunculkan ke dalam ingatan kolektif bangsa.
Rumah milik Djiauw Kie Siong di Rengasdengklok, Karawang, Jawa Barat, yang menjadi tempat singgah Soekarno dan Hatta, 16 Agustus 1945, saat Soekarno didesak para pemuda agar segera memproklamasikan kemerdekaan RI. Rumah ini kini ditempati ahli waris keluarga Djiauw. (KOMPAS/RONY ARIYANTO NUGROHO)
Adalah Yayasan Sangga Buana, lembaga pemerhati sejarah, yang secara rutin menyelenggarakan peringatan kemerdekaan RI di kota kecamatan berpenduduk 102.961 jiwa ini. Tapak tilas kebulatan tekad Proklamasi 1945 ini terus dilakukan agar kesadaran terhadap makna proklamasi, terutama pada generasi muda, terus terpupuk sehingga muncul rasa bangga terhadap bangsa sendiri.
Namun, tahun ini panitia peringatan HUT Ke-65 Proklamasi mengambil tema ”nyeleneh” karena keprihatinan mereka. Pada proposal tapak tilas kebulatan tekad yang disebarkan tertulis tema ”Sejarah Kemerdekaan RI Tinggal Kenangan”.
”Biar semua tersentak dengan tema ini,” kata Suherman, Ketua Yayasan Sangga Buana.
Berpuluh tahun sesudah merdeka, para pemangku kepentingan di republik ini dinilai kurang peduli terhadap pelestarian dan pembangunan monumen sejarah yang ada di Rengasdengklok. Menurut ketua yayasan pemerhati sejarah dan sosial yang beranggotakan putra-putri veteran Karawang itu, pembangunan monumen di Rengasdengklok terhenti bertahun-tahun.
Tahun ini saja sebagian fasilitas mulai terbangun seiring dengan mengucurnya anggaran. Pemerintah Kabupaten Karawang baru menganggarkan Rp 5 miliar di APBD tahun 2010. Keprihatinan serupa diungkapkan mantan pejuang sekaligus Ketua Legiun Veteran Republik Indonesia Rengasdengklok Arsim Kasman. Ia khawatir penanda sejarah itu lenyap tak tersisa karena minimnya perhatian pemerintah.
Sehari sebelum proklamasi dikumandangkan, 16 Agustus 1945, pemuda dan Pembela Tanah Air (Peta) membawa Bung Karno (Soekarno) dan Bung Hatta (Mohammad Hatta) beserta Ny Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra ke Rengasdengklok. Mereka mendesak kedua pemimpin itu agar segera memproklamasikan kemerdekaan RI karena Jepang sudah menyerah kepada Sekutu.
Seperti ditulis Her Suganda dalam buku Rengasdengklok, Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945, di kota kecil ini pada 16 Agustus 1945 terjadi dua peristiwa penting. Pertama, keberadaan Bung Karno, Bung Hatta, dan Ny Fatmawati disertai Guntur Soekarnoputra di tempat itu. Kedua, perebutan kekuasaan oleh masyarakat Rengasdengklok.
Atas peran tokoh pemuda dan Peta pula, bendera Merah Putih dikibarkan mengganti bendera Jepang, Hinomaru, yang sebelumnya berkibar di halaman Kewedanaan Rengasdengklok pada hari yang sama. Soncho (camat) Rengasdengklok ketika itu, Soejono Hadipranoto, memimpin upacara, diikuti pernyataan kemerdekaan RI.
Pedagang, petani, pegawai, pejabat, dan warga sipil lain di Rengasdengklok terlibat dalam aksi heroik tersebut. Proklamasi boleh jadi dikumandangkan di Jakarta, tetapi aksi Rengasdengklok menginspirasi karena lebih dulu menyatakannya.
Sejarawan Asvi Warman Adam, dalam pengantarnya di buku itu, menyebut Peristiwa Rengasdengklok membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dan menurut tata cara yang diatur Jepang.
Monumen
Peristiwa Rengasdengklok memang menginspirasi kebulatan tekad bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengenang peristiwa dan menggelorakan semangat juang pemuda, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mewacanakan pembangunan Monumen Rengasdengklok. Wacana telah disampaikan sejak tahun 1990-an, yang kemudian ditindaklanjuti oleh Pemerintah Kabupaten Karawang dengan menyusun rencana pembangunan tahun 1996.
Namun, hingga hampir 15 tahun sejak direncanakan, monumen belum juga terwujud. Yang terbangun saat ini telah membentuk wajah monumen. Patung empat tangan karya Sidharta Soegijo (almarhum) menjulang setinggi 6 meter dengan lebar dasar 2,4 meter dan terlihat menonjol di kawasan itu.
Bangunan dirancang sebagai lambang empat kekuatan dari empat penjuru angin yang bersatu dan sedang mendobrak dari dalam tanah. Di situ telah terpasang altar ber-paving beton, bambu runcing raksasa, beberapa struktur beton persegi dengan ujung lancip mengelilingi tugu, dua bangunan menyerupai pendapa, serta dinding pagar monumen. Menurut rencana, di sekeliling altar itu diisi relief Peristiwa Rengasdengklok dan detik-detik Kemerdekaan RI 1945.
Hanya beberapa meter jauhnya dari lokasi Monumen Rengasdengklok, berdiri Tugu Kebulatan Tekad, yang dibangun secara swadaya oleh masyarakat setempat tahun 1950.
Wedana Rengasdengklok Sutadiredja dan Camat M Abdullah menggagas pembangunan tugu untuk memperingati Peristiwa Rengasdengklok dengan menggalang dana penjualan kartu pos dan sumbangan masyarakat. Biaya pembangunannya Rp 17.500 dan diresmikan oleh Hatta pada peringatan Hari Kemerdekaan Ke-5 RI. Tugu ini jauh lebih sederhana ketimbang Monumen Rengasdengklok. Bangunannya lantai berundak lima, badan tugu, dan puncak berupa kepalan tangan kiri.
Rumah milik Djiauw Kie Siong—tempat singgah Bung Karno dan Bung Hatta—masih berdiri, melengkapi Rengasdengklok sebagai sebuah situs sejarah. Bangunan berukuran 10 meter x 40 meter itu berjarak sekitar 100 meter dari sisi Sungai Citarum. Lokasi rumah asli sudah tergerus sungai pembatas alam Kabupaten Karawang dan Bekasi. Rumah kayu itu kini ditempati generasi ketiga keluarga Djiauw. Sebagian bangunannya terancam rusak dimakan usia.
Peninggalan lain yang tersisa adalah Gedong Jangkung, gedung tertinggi bekas salah satu markas tentara Belanda di Rengasdengklok. Gedung itu jadi sarang burung walet.
Sepenggal puisi berjudul Karawang Bekasi karya Chairil Anwar seolah mewakili harapan Arsim Kasman, Suherman, juga pelaku, saksi, dan pemerhati sejarah lain. Penggalan puisi itu tertulis di Monumen Suroto Kunto di daerah Warungbambu, Karawang Timur. Puisi yang sama tertera di sudut Monumen Perjuangan Rawagede di Balongsari, Rawamerta:
Kami yang kini terbaring antara Karawang Bekasi
tidak bisa teriak ”merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
terbayang kami maju dan berdegup hati?
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
kami mati muda, yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang kenanglah kami….
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment