-- Hamzirwan
SAAT berkampanye, semua kandidat kepala daerah tak sungkan menebar janji muluk melakukan apa saja untuk menyejahterakan rakyat. Namun, apa yang terjadi setelah terpilih? Program yang berorientasi mengembangkan kesejahteraan rakyat jangka panjang pelan-pelan tersingkir dengan dalih ketiadaan anggaran.
Seperti program hutan tanaman rakyat (HTR), yang bertujuan membuka akses pemanfaatan kawasan hutan untuk masyarakat yang bermukim di sekitarnya. Pemerintah ingin memberikan rakyat kesempatan ikut memetik manfaat ekonomi sambil menjaga kelestarian hutan. Mereka harus menanam pohon dan dapat memanfaatkan lahan dengan pola tumpang sari untuk tanaman palawija dan peternakan.
Sampai Mei 2010, Kementerian Kehutanan telah mencadangkan 548.572,7 hektar kawasan hutan produksi untuk HTR, yang seluas 222.355 hektar dicadangkan dalam 10 bulan masa jabatan Menteri Kehutanan Zulkifli Hasan. Pemerintah pun terus mempermudah perizinan HTR untuk lebih melibatkan masyarakat menanam dan menjaga kawasan hutan. Kementerian Kehutanan pun terus mendorong para bupati agar proaktif mengusulkan areal pencadangan hutan baru untuk menggerakkan perekonomian masyarakat di sekitar hutan.
Sayang, sampai saat ini bupati yang memanfaatkan pencadangan tersebut baru menerbitkan surat keputusan (SK) izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu (IUPHHK) HTR seluas 60.000 hektar untuk 1.500 orang. Tampaknya, perlu tenaga lebih besar untuk mendorong para bupati agar mau memperjuangkan perekonomian rakyat untuk jangka panjang. Bukan sekadar memenuhi target lima tahun masa jabatannya saja.
Potensi ekonomi
Program HTR bukan bertujuan membagikan lahan kawasan hutan bagi masyarakat. Masyarakat perorangan, kelompok tani, atau koperasi yang mendapat SK IUPHHK HTR wajib menanam pohon berkayu dan dapat memanfaatkan kawasan tersebut selama 60 tahun dan dapat diperpanjang sekali saja untuk 35 tahun lagi. Lahan itu tidak boleh diwariskan, diperdagangkan, diagunkan kepada bank, dan dibersihkan menjadi lahan kosong. Artinya, pemegang SK IUPHHK HTR wajib mengembalikan lahan tersebut kepada negara saat masa berlaku izin mereka berakhir.
Berkaca dari program hutan rakyat di Pulau Jawa, terutama Jawa Tengah dan Jawa Timur, yang sudah sukses, Kementerian Kehutanan ingin mengembangkan program ini di daerah lain. Seperti di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, petani sengon bisa memperoleh penghasilan sampai Rp 100 juta per hektar saat panen tanaman berusia lima tahun. Manfaat kayu juga tetap diperoleh saat petani menebang untuk penjarangan pohon setiap tahun.
Tanaman sengon yang tidak membutuhkan perawatan intensif, apalagi pupuk kimia, dibiarkan tumbuh dan petani bisa memanfaatkan sela-sela pohon untuk menanam palawija dan beternak sapi atau kambing.
Minat masyarakat menanam sengon di Pulau Jawa terus meningkat karena industri pengolahan berbasis kayu rakyat juga tumbuh. Dalam perjalanan ke Probolinggo bersama Menhut menggunakan helikopter, kami bisa melihat bagaimana masyarakat di Pasuruan dan Probolinggo mengalihfungsikan sawah mereka menjadi kebun sengon. Masyarakat bergairah menanam sengon karena keuntungan yang didapat jauh lebih tinggi daripada mengolah sawah. Itu sebabnya, di Desa Kertosuko, Kecamatan Krucil, Kabupaten Probolinggo, banyak bermunculan haji-haji sengon berkat hutan rakyat.
Sampai Juni 2010, ada 107 industri pengolahan kayu rakyat berkapasitas produksi 6,6 juta meter kubik per tahun. Industri pengolahan berbasis kayu rakyat pun tumbuh berkat industri mebel dan kerajinan yang masif di Pulau Jawa. Harga kayu sengon pun meningkat berkat permintaan yang tinggi sehingga mencapai Rp 700.000 per meter kubik saat ini.
Manfaat ekonomi ini membuat masyarakat yang sebelumnya gemar menebang pohon di hutan berbalik menjadi rajin menanam. Mereka juga merawat hutan rakyat tersebut untuk kelestarian pohon. Kondisi seperti ini yang ingin ditularkan ke daerah, seperti Sumatera, Kalimantan, dan Sulawesi, yang sebagian besar kawasan hutan sudah dieksploitasi pengusaha.
Pemerataan ekonomi
Sejak masa Orde Baru, pengusaha melebarkan sayap bisnis mereka ke kawasan hutan. Mereka cukup mengurus izin di Jakarta dan berbekal surat tersebut mereka datang ke daerah untuk menebang kayu. Masyarakat yang bermukim di sekitar hutan pun kemudian menjadi penebang kayu dengan upah sekadarnya. Hanya anggota masyarakat yang menjadi koordinator pekerja atau kaki tangan pengusaha yang bisa menikmati kesejahteraan. Sementara pekerja kasar yang lain menikmati kesejahteraan semu yang hilang saat kayu di hutan habis.
Saat otonomi daerah diterapkan, desentralisasi diharapkan bisa lebih mendekatkan kebijakan pemerintah dengan kesejahteraan rakyat. Namun, apa mau dikata. Pemerintah daerah malah cenderung mengulang kesalahan pemerintah pusat era sentralisasi. Gubernur, bupati, dan wali kota gencar menerbitkan izin eksploitasi sumber daya alam untuk pengusaha, terutama pemodal kampanye mereka saat pemilihan umum kepala daerah. Padahal, apabila pemerintah daerah mau memperjuangkan nasib rakyat, mereka harus aktif menciptakan atau mendukung program yang berorientasi menyejahterakan sedikitnya 11 juta masyarakat di sekitar kawasan hutan.
Kawasan-kawasan hutan yang kritis akibat perambahan liar yang didukung pemodal besar, seperti di Taman Nasional Gunung Leuser di Sumatera Utara dan Nanggroe Aceh Darussalam, patut menjadi perhatian pemerintah daerah. Kerusakan hutan akan terus menciptakan bencana bagi rakyat di sekitar hutan, seperti banjir bandang di Aceh Tamiang tahun 2006 yang menghancurkan areal pertanian, permukiman, dan infrastruktur sebagian wilayah Kabupaten Aceh Tamiang akibat hutan yang gundul.
Pemerintah daerah perlu memanfaatkan program HTR yang bertujuan menciptakan pemerataan ekonomi antara pengusaha dan rakyat. Keadilan ekonomi akan menciptakan masyarakat sosial yang sejahtera. Bagaimana pun, rakyat sangat berhak menikmati hasil kekayaan alam Bumi Pertiwi, seperti amanat Pasal 33 UUD 1945 dan sila kelima Pancasila, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment