-- Bre Redana
DI suasana ulang tahun kemerdekaan yang sepi sekarang, tak ada jeleknya menampilkan lagi sosok yang telah menciptakan monumen penting bagi Jakarta. Karya-karya patung yang diciptakan dengan dedikasi tinggi dan pengorbanan.
Edhi Sunarso (78), pematung dan pengajar di Institut Seni Indonesia Yogyakarta, saat ini sedang menggelar pameran bertajuk ”Monumen” di Galeri Salihara sampai 28 Agustus mendatang.
Adakah yang lebih relevan untuk ditampilkan lagi kali ini, selain cerita-cerita di balik penciptaan patung, seperti patung Selamat Datang di Bundaran HI serta patung Dirgantara di Pancoran? Di luar itu, masih ada beberapa karya Edhi Sunarso lain di Jakarta, seperti patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, dan diorama di Monas.
Di ruang pamer yang dikuratori Asikin Hasan, kita menyaksikan foto-foto bersejarah mengenai proses pembikinan karya-karya monumental yang telah memberi identitas Jakarta ini. Syukur ada penanda-penanda dari karya seni yang kuat itu. Kalau tidak, dalam arus globalisasi sekarang, Jakarta hanya akan ditandai oleh mal—penanda semangat konsumtif serta ignorant. Dipamerkan pula beberapa patung Edhi yang lain yang bercitarasa modern, dari berbagai bahan, seperti kayu, besi, ataupun fiberglass.
Mengharukan membaca catatan Edhi Sunarso, kelahiran Salatiga, 2 Juli 1932, yang menyertai pameran ini. Catatan itu dia beri judul ”Untuk Generasi Mendatang”. Edhi berkenalan dengan Bung Karno saat peresmian Tugu Muda di Semarang tahun 1953. Bersama sejumlah seniman, Edhi terlibat dalam proyek pembuatan landmark Semarang itu.
Lalu, tahun 1958 dia dipanggil Bung Karno, diminta untuk mengerjakan patung Selamat Datang. Ia ceritakan bagaimana Bung Karno duduk di depannya dan memintanya mengerjakan patung perunggu setinggi sembilan meter.
”Pak, jangankan sembilan meter, sembilan sentimeter pun saya belum pernah membuat patung perunggu. Bagaimana mungkin saya bisa melaksanakan pekerjaan ini,” kata Edhi kepada Bung Karno.
Maka, Bung Karno menjawab, ”Hey, Ed! Kau punya rasa bangga berbangsa dan bernegara tidak?”
”Tentu saja, Pak,” jawab Edhi.
Orang besar
Orang besar selalu mampu melihat yang orang lain tidak lihat. Orang besar selalu mampu melihat kebesaran orang lain. Itulah Soekarno. Berkat determinasi presiden yang digulingkan Soeharto dan antek-anteknya itu akhirnya kita bisa melihat patung Selamat Datang sampai sekarang. Dalam pameran ini juga ditampilkan foto koleksi Edhi Sunarso ketika Bung Karno mengunjungi studionya di Yogyakarta dan memeragakan gesture si pemuda dalam patung itu. Harus penuh semangat, harus penuh elan vital, begitu kira-kira.
Simak cerita berikut menyangkut pembangunan patung Dirgantara. Ia mendapat perintah dari Bung Karno untuk mengerjakan patung itu tahun 1964. Patung dimaksudkan untuk mengenang sifat kepahlawanan para pejuang Indonesia di bidang kedirgantaraan.
Tanggal 28 September 1965 Edhi dipanggil Sekretariat Negara agar menghadap Bung Karno guna melaporkan perkembangan pekerjaannya. Tanggal 30 September ia berada di Istana, menanti kehadiran Bung Karno. Ditunggu sampai pukul 12.00 Bung Karno tidak datang. Baru kemudian Edhi mendengar telah pecah Gerakan 30 September. Tanggal 3 Oktober dia pulang ke Yogyakarta.
Proyek patung Dirgantara terbengkalai, sampai kemudian, Februari 1967 dia dipanggil lagi oleh Bung Karno supaya ke Jakarta. Edhi kaget mendapati Bung Karno, yang saat itu pasti sudah dalam status ”tahanan rumah”. Bung Karno menanyakan mengapa patung tidak segera dipasang.
”Saya tidak punya biaya lagi, Pak. Bahkan, saya terbelit banyak utang bahan dengan beberapa orang. Rumah saya pun sudah disegel karena menjadi agunan,” kata Edhi.
Bung Karno termenung mendengar penuturannya. Kemudian, kata Bung Karno, ”Tidak apa-apa Dhi. Sudah seharusnya kamu bicara apa yang menjadi kendalamu.” Kemudian, Bung Karno memanggil orang bernama Gafur dan menyuruh dia menjual salah satu mobilnya. Dengan uang hasil penjualan mobil itulah, patung Dirgantara bisa terpasang.
Seperti drama, justru ketika Edhi berada di ketinggian untuk memasang patung itu di Pancoran, di bawah melintas mobil jenazah. Itulah mobil yang membawa jenazah Bung Karno menuju pemakaman di Blitar.
Silakan Anda sekalian pikir sendiri, adakah karya seni yang bisa membekas lebih dalam dibandingkan karya-karya publik semacam ini?
Sumber: Kompas, Minggu, 22 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment