-- Bambang Setiawan
65 tahun setelah kemerdekaan, Indonesia dihadapkan pada pilihan-pilihan ideologis yang kabur. Meski berhasil menumbangkan tatanan lama, masa sesudah Orde Baru menjadi periode suram bagi imajinasi kenegaraan. Selain puas dengan ritual demokrasi, nyaris tidak ada arah yang jelas, ke mana bangsa ini akan melangkah.
Ideologi menjadi bagian yang makin terpinggirkan, baik dalam kontestasi politik maupun hidup keseharian bangsa. Tidak ada warna kental sebagai citra yang tergambar manakala kita letakkan Indonesia dalam tataran negara-negara yang sedang tumbuh kepercayaan dirinya, seperti China, Iran, negara-negara Uni Eropa, dan Amerika Latin. Bukan karena ideologi tidak penting, masalahnya (mungkin) lebih karena tidak ada integritas yang memadai dari pemimpin nasional untuk merumuskan tantangan yang tepat dan mengembangkan ideologi yang menyatukan arah bangsa.
Kecenderungan ini tertangkap oleh warga masyarakat sebagaimana terekam dalam hasil jajak pendapat Kompas. Mayoritas responden (59,6 persen) menilai pemimpin-pemimpin negeri ini semakin tidak jelas dalam menentukan arah negara Indonesia. Terlebih bagi kalangan muda, ketidakjelasan itu dirasakan oleh 65,9 persen dari mereka yang berusia di bawah 30 tahun.
Tren ketidakjelasan ini kian kuat dirasakan masyarakat dalam satu tahun belakangan ini. Meskipun Pemilihan Umum 2009 sempat menaikkan kepercayaan publik terhadap arah yang akan dicapai oleh bangsa Indonesia, setahun kemudian gaung itu melemah. Berbagai permasalahan bangsa yang dihadapi pascapemilu menyebabkan bangunan imajinasi yang tersusun lewat janji-janji kampanye tercerai-berai ke dalam pragmatisme penyelesaian masalah jangka pendek. Mencuatnya kasus Century menjadi palu godam paling keras memudarkan kesatuan langkah, baik di dalam tubuh pemerintahan maupun partai-partai pendukungnya, yang seharusnya menjadi fondasi bagi tercapainya langkah yang dijanjikan. Ideologi yang coba dibangun dengan mengambil posisi sebagai ”musuh korupsi” seolah kehilangan momentum manakala sejumlah tiang kenegaraan, mulai dari Dewan Perwakilan Rakyat, Komisi Pemberantasan Korupsi, Kejaksaan Agung, dan Polri kemudian tampak tidak satu langkah. Dalam pusaran yang mengisap habis kohesi antarlembaga, di mana letak ideologi bangsa?
Ideologi dimaknai oleh Cornelis Castoriadis sebagai imajinasi sosial. Imajinasi adalah sesuatu yang memberi kemungkinan terhadap kehadiran beberapa obyek dan image. Pada tingkatan sosial-historis, ini adalah imajinasi yang memperhitungkan orientasi institusi sosial, pembentukan motif-motif dan kebutuhan-kebutuhan, pengadaan simbol-simbol, tradisi, dan mitos (Castoriadis, 1975). Melengkapi definisi ini, Claude Lefort (1978) memberi tekanan bahwa secara konstan ideologi harus membuat variasi dan menempatkan makna acuannya—pada masa lalu dan masa depan, sains dan etika—dalam tatanan untuk membenarkan upayanya mengunci setiap perpecahan dan karena itu untuk menjustifikasi tatanan yang mapan.
Dalam sejarah Indonesia, pergulatan terhadap pemikiran tentang dasar kebangsaan pernah menjadi proses ideologisasi yang dinamis. Setelah pidato Soekarno pada 1 Juni 1945 di hadapan Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai), imajinasi mengenai bangunan kenegaraan seolah menemukan kristalisasi. Soekarno merangkai kondisi sosial-historis, kultur, bahkan mitos ke dalam satu jembatan, yang dengan itu bangsa ini diharapkan akan menitinya. Dengan dasar Pancasila, terutama Sila ke-2, Indonesia mencoba menarik batas yang tegas terhadap imperialisme dan neokolonialisme. Dan, dengan memaknai prinsip ”gotong royong” yang menjiwai semua sila, Soekarno mengarahkan semua elemen masyarakat pada satu gerak.
”Gotong royong adalah pembantingtulangan bersama, pemerasan keringat bersama, perjuangan bantu-binantu bersama. Amal semua buat kepentingan semua, keringat semua buat kebahagiaan semua. Holopis-kuntul-baris buat kepentingan bersama…. Prinsip gotong royong di antara yang kaya dan yang tidak kaya, antara yang Islam dan yang Kristen, antara yang bukan Indonesia tulen dengan peranakan yang menjadi bangsa Indonesia.” Demikian pidato Soekarno waktu itu. Terasa ada imajinasi membangun kohesi sosial di sana.
Upaya untuk membangun dasar kebangsaan tidak berhenti di sana. Situasi sosial-politik yang berkembang tampaknya memerlukan sebuah arahan kebangsaan yang baru, meski Pancasila sebagai ideologi tetap hidup, diperlukan penekanan yang segar. Setelah melalui serangkaian uji coba bentuk kenegaraan selama kurun 1949-1959, Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 kembali dibangkitkan lewat Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dan Manifesto Politik (Manipol) Presiden pada pidato peringatan kemerdekaan di tahun yang sama.
Manifesto Politik dan Undang-Undang Dasar 1945, Sosialisme Indonesia, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin, dan Kepribadian Indonesia atau disingkat Manipol-USDEK menjadi ideologi yang berjalan mendampingi Pancasila dalam wacana politik. ”Manifesto Politik adalah pancaran daripada Pancasila! USDEK adalah pancaran daripada Pancasila. Manifesto Politik, USDEK, dan Pancasila adalah terjalin satu sama lain,” demikian Presiden Soekarno pada pidato Proklamasi RI 1960.
Di pengujung kekuasaannya, Soekarno kembali merumuskan arah bangsa dengan nasakom (nasionalis, agama, dan komunis) yang ditawarkan sebagai unifikasi terhadap perbedaan atargolongan yang menajam dalam ranah politik saat itu. Rumusan itu seolah merupakan pengulangan dari pandangan Soekarno muda ketika ia menulis Nasionalisme, Islamisme, dan Marxisme pada tahun 1926 dan manakala ia memberikan konsep dasar Marhaenisme. Soekarno menjadi elemen yang, menurut Peter Kasenda dalam buku terbarunya, Soekarno Muda (April 2010), menjadi bagian penting lahirnya ”The Edge of Ideology” di Indonesia.
Masa pemerintahan Orde Lama memberikan gambaran bahwa pemikiran tentang ideologi bangsa tidak harus mati meskipun sudah ada Pancasila yang dipatri sebagai dasar negara. Dinamika pemikiran yang berkembang menyertai Pancasila menjadikannya sebagai working ideologi, imajinasi yang selalu diimbuhi dengan penafsiran baru sesuai konteks zamannya.
Ketika Soeharto kemudian berkuasa sebagai pemimpin nasional pun Pancasila menemukan makna baru. Pertama, ia menjadi simbol ideologi untuk mengganyang komunisme, yang sangat efektif mematikan pemikiran-pemikiran kiri sekaligus juga Islam garis keras. Yang kedua, ia menemukan makna baru ketika rezim Soeharto menempatkan posisi sebagai pemimpin yang menganut paham developmentalis. Pancasila menjadi kata ampuh tidak saja untuk melanggengkan kekuasaan dalam kontestasi politik lewat penyeragaman ideologi partai politik, tetapi juga dipakai sebagai alat untuk meniadakan usaha-usaha perlawanan apa pun terhadap pembangunan yang dilakukan oleh pemerintah. ”Anti-Pancasila” merupakan cap yang menakutkan.
Sayangnya, lekatnya Pancasila dengan legitimasi kekuasaan Soeharto dan Golkar menjadikan pemaknaan yang menyertai dasar negara ini runtuh bersamaan dengan tumbangnya rezim itu. Setelah terampas dari tangan Orde Baru, kini Pancasila sekadar menjadi dasar negara. Ideologi kebangsaan telah selesai, Pancasila telah final.
Tanpa eksplorasi yang lebih jauh, nilai-nilai Pancasila pun kian mengabur. Sebagian responden jajak pendapat meragukan keseriusan pemerintah menegakkan Pancasila (lihat grafik). Dalam perannya melindungi kebebasan beragama, keraguan atas ketegasan pemerintah sangat menonjol dirasakan oleh semua kalangan agama, terlebih oleh kalangan Kristen dan Katolik.
Sejauh ini, masa reformasi memang belum melahirkan gagasan besar yang menjadi arah bangsa ini ke depan. Tanpa mendefinisikan apa tantangan yang sesungguhnya menjadi ”musuh” bangsa ini, yang muncul adalah lapisan-lapisan ideologi sektarian yang saling berlomba menancapkan simbolnya. Kecenderungan menganggap Indonesia selesai dengan ideologi Pancasila justru akan membawa negara ini kurang imajinatif dalam mengeksplorasi kemungkinan-kemungkinan yang ”fit” dengan kondisi sekarang.
(Bambang Setiawan/Litbang Kompas)
Sumber: Kompas, Senin, 16 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment