SEJUMLAH baliho bergambar pesan antikorupsi dipasang aktivis antikorupsi di tepi jalan di sekitar Balaikota Solo, Jawa Tengah, Minggu (8/8). Kegiatan ini merupakan bagian dari dukungan masyarakat kepada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang tergabung dalam wadah CICAK (Cinta Indonesia Cinta KPK) Kota Solo.
Kemerdekaan berwajah ganda, selalu. Yang terjadi sekitar tahun 1947, dua tahun setelah negeri ini menyatakan diri merdeka, bisa menjadi contoh. Ketika itu, menurut Kwee Thiam Tjin, banyak bermunculan ”djamino-djamino” dan ”djoliteng-djoliteng”. Christina M Udiani
Kwee Thiam Tjin adalah wartawan kelahiran Pasuruan bernama pena Tjamboek Berdoeri yang perigel menulis dalam Melayu-Tionghoa. Djamino dan djoliteng adalah julukan yang dia berikan untuk orang-orang yang mendadak kaya dan berkuasa di masa revolusi kemerdekaan, seperti seorang kenalannya.
Si kenalan ini, yang dulu jongos dan tinggal di kampung, setelah revolusi, tiba-tiba jadi tuan besar. Mengenakan setelan jas drill kuning dengan sepatu dan kaus kaki hingga hampir menyentuh lutut, si kenalan tampil berkelas. Rumahnya tidak lagi di kampung, tetapi di bekas kediaman orang Belanda, di Jalan Ijen, pusat kawasan elite Kota Malang, lengkap dengan perabotan modern yang membuat tuan rumah baru itu terkagum-kagum. ”Kalo malem saja maoe kentjing soedah pating tjemepak tinggal mboeka aernya sadja, ma sorr! Soedah berisi lagi!”
Kisah di atas adalah hasil pengamatan Kwee Thiam Tjin di Kota Malang. Tetapi, ia menegaskan, setiap revolusi melahirkan djamino dan djoliteng-nya masing-masing, di mana pun itu. Dan kita, kiranya akan setuju dengannya. Setiap kemerdekaan senantiasa berputrakan kebebasan. Setiap kebebasan adalah gerbang menuju persamaan; tak ada lagi tuan, tak ada lagi jongos, yang ada adalah manusia yang menjadi. Djoliteng bisa sama mentereng dengan mantan tuan penjajah dan djamino bisa menyandang bedil yang sama dengan milik mantan tuan besarnya. Maka, lumrah bila kemerdekaan begitu memukau, mengimbau. Orang di berbagai negeri percaya kemerdekaan adalah jamu mujarab untuk derita kemanusiaan hingga memilih berkalang tanah daripada hidup terjajah.
Tetapi, gejala djoliteng dan djamino juga mencelikkan, kebebasan punya sisi lain yang menggentarkan. Sebabnya, meminjam kata Sindhunata, kita tidak hidup dalam kosmos yang werden (menjadi), tetapi kosmos yang sein (berada). Bukannya hidup adalah untuk menjadi manusia, melainkan hanya sebagai manusia. Dalam kasus djamino dan djoliteng, sebagai manusia berarti hidup dengan fantasi, mimpi, dan khayal tuan kolonial.
Pramoedya A Toer rupanya menangkap gelagat yang terakhir ini. Satu cerpennya dalam Cerita dari Jakarta berkisah tentang orang-orang ”berdarah hamba, yang setia sampai bulu-bulunya”. ”Sebagai jongos dan babu dari karat tertinggi,” tutur Pram, ”mereka merasa tersiksa bila tak mendapat perintah. Dan mendapat kegembiraan hidup bila menerima perintah.” Ya, perintah, dari tuannya yang sejati, yang putih kulitnya.
Jauh sebelum Pram, MK Gandhi juga sudah meraba watak budak bangsanya. Maka, ketika sebagian kawan menginginkan kemerdekaan secepatnya, Gandhi menolak. Ketika pelajar India yang tergabung dalam Indian House mengusulkan revolusi bersenjata, ia menyatakan, hind swaraj (kemerdekaan India) yang ia kehendaki bukan itu. Pasalnya, We want English rule without the Englishman. You want the tiger’s nature, but not the tiger.
Nafsu-nafsi si watak budak tak jauh dari dunia majikan. Bila pun mereka bebas, hasrat utama yang hendak dipuaskan—dengan segala cara—hanyalah menggantikan posisi tuan besar, hidup mewah ongkang-ongkang kaki sebagai ndoro dengan babu dan jongos di sekeliling. Sebab itu, Gandhi dengan yakin menyatakan, ”Inggris tidak mengambil kemerdekaan itu dari kita. Kitalah yang memberikan negeri ini kepada mereka. Mereka di India bukan karena kekuatannya, tetapi kita memelihara mereka.”
Kini, setengah abad lebih proklamasi kemerdekaan bangsa ini dikumandangkan. Demikian juga dengan negeri Gandhi. Masihkah relevan rasa masygul Pramoedya dan Gandhi di atas? Tampaknya tidak mudah menjawab itu. Tetapi, bila melihat betapa luas dan dalam korupsi menggerogoti Indonesia dari dulu hingga sekarang, akan tampak bahwa kekhawatiran kedua tokoh di atas sangat beralasan. Setidaknya itulah yang diperlihatkan Syed Husein Alatas (1928- 2007), sosiolog berkebangsaan Malaysia, melalui penelitian-penelitiannya.
Hal menonjol
Ada dua hal menonjol yang dikatakan Alatas. Pertama, tentang captive mind atau mental budak. Sama seperti yang digambarkan Pram, mental budak menumpulkan pikiran kritis dan memupuk sikap mementingkan diri sendiri; menerima setiap perkataan si tuan kulit putih dan menistakan apa pun yang berasal dari bangsanya sendiri. Di negeri- negeri bekas jajahan gejala ini sangat menonjol.
Kedua, masih berhubungan dengan mental budak, adalah tentang korupsi. Dari penelitiannya yang bercakupan luas tentang korupsi, Alatas menyimpulkan, korupsi sesungguhnya bermula sejak awal manusia bermasyarakat. Di Asia pun demikian. Tetapi, tingkat korupsi di negara-negara, seperti India, Pakistan, dan Indonesia, melonjak tinggi seusai Perang Dunia II. Bila sebelumnya korupsi lebih banyak dilakukan kerani rendahan, setelah perang korupsi melibatkan makin banyak pejabat tinggi. ”Di negara Asia yang baru merdeka,” kata Alatas, ”pemimpin itu korup atau membiarkan korupsi terjadi.”
Alatas memeriksa pula tata sosial yang memungkinkan penyebaran korupsi. Menurutnya, setelah negeri-negeri itu merdeka, berbagai peluang terbuka dan kegiatan ekonomi pemerintah dalam sekejap membengkak. Urbanisasi melaju kencang. Penduduk kampung mengalir ke kota, hidup berdesakan dengan orang-orang dari berbagai daerah di tengah-tengah harga-harga yang melambung tinggi. Alhasil, pola hidup bersahaja jadi kampungan, konsumsi jadi berlebihan, dan korupsi jadi kebiasaan. Birokrasi yang makin tambun sementara gaji pegawai makin tergerus inflasi juga menyuburkan segala bentuk pelicin yang terutama diperkenalkan oleh dunia usaha. Hal ini diperparah lagi dengan pengaruh partai politik korup dan lemahnya pengawasan serta watak koruptif yang terbina semasa perang. Maka, dibandingkan sebelum merdeka, korupsi pada waktu itu jauh lebih meruyak dan merusak.
Penelitian Alatas tentang korupsi tak pernah henti, setidaknya hingga 1999, dengan terbitnya buku Corruption and The Destiny of Asia. Di dalamnya, Alatas menyampaikan, setelah sekitar setengah abad merdeka, negeri-negeri Asia sebagian besar tetap menghadapi problem yang sama: korupsi. Keadaan ini kini nyata-nyata masih bertahan bila bukan semakin merebak. Rupanya watak budak dan korupsi memang tak terpisahkan. Maka, setiap kemerdekaan dan segala bentuk perubahan sosial, niscaya bakal melahirkan djamino-djamino dan djoliteng-djoliteng yang korup selama kebebasan itu diberikan kepada si watak budak, yang setia sampai bulu-bulunya.
Christina M Udiani, Redaktur Penerbit KPG
Sumber: Kompas, Senin, 16 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment