-- M Hernowo
PESAN dari pidato Bung Karno di depan sidang Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia pada 1 Juni 1945 itu cukup jelas: badan permusyawaratan rakyat harus mewujudkan keadilan politik (”politieke rechtvaardigheid”) dan keadilan sosial (”sociale rechtvaardigheid”).
Ricuh dalam rapat paripurna Hak Angket Bank Century di Gedung MPR/DPR/DPD, Jakarta, awal Maret 2010. (KOMPAS/TOTOK WIJAYANTO)
Selama 12 tahun berjalannya reformasi yang dimulai 1998, harapan Soekarno tentang badan permusyawaratan itu antara lain dilakukan dengan memperkuat posisi Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Lewat empat kali perubahan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 yang dilakukan pada tahun 1999 hingga 2002, DPR menjadi lembaga dengan banyak sekali peran, baik di bidang pengawasan, anggaran, atau legislasi. Pengangkatan pejabat publik seperti
hakim agung, hakim konstitusi, Gubernur Bank Indonesia, kepala kepolisian, komisioner komisi negara, hingga direksi badan usaha milik negara, sekarang harus melalui DPR.
Bahkan, Pasal 13 UUD 1945 menyatakan, Presiden harus mempertimbangkan DPR dalam mengangkat dan menerima duta besar negara lain. Fajrul Falaakh, pengajar Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, pernah menyebut, norma hasil perubahan pertama UUD 1945 yang ditetapkan 19 Oktober 1999 itu sebagai intervensi berlebihan lembaga legislatif dalam urusan eksekutif.
Hadirnya lembaga DPR yang ”super power” ini tidak lepas dari suasana kebatinan saat perubahan UUD 1945 yang masih diliputi alergi terhadap Orde Baru terlalu sarat eksekutif, otoriter, dan menyumbat aspirasi publik. Dengan memperkuat peran DPR, ada harapan besar lembaga ini dapat makin efektif menghimpun para wakil rakyat yang bertugas mewakili rakyat mengelola kekuasaan negara. Dalam bahasa Soekarno, efektivitas DPR berarti makin mampunya lembaga itu dalam mewujudkan keadilan politik dan keadilan sosial bagi rakyat.
Harapan menjauh
Namun, setelah hampir 12 tahun reformasi berjalan, harapan terhadap hadirnya DPR yang efektif justru terasa semakin jauh. Sebagian besar wakil rakyat dan partai politik menempatkan kekuasaan di DPR sebagai sarana mewujudkan keinginannya sendiri daripada memperjuangkan kepentingan rakyat.
Akibatnya, kebutuhan dan keinginan anggota DPR makin berbeda dengan aspirasi rakyat. Ketika rakyat sibuk dengan ancaman ledakan tabung gas dan kenaikan harga bahan kebutuhan pokok, anggota DPR justru sibuk dengan usulan pembangunan rumah aspirasi dan pembangunan gedung baru untuk mereka senilai Rp 1,6 triliun.
Sejumlah kewenangan yang dimiliki anggota DPR, seperti untuk memilih pejabat publik, diduga juga makin banyak yang diselewengkan untuk kepentingan mereka sendiri. Ini terlihat, misalnya, dari munculnya dugaan suap senilai Rp 24 miliar saat pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia yang dimenangi Miranda Gultom pada Juni 2004. Diduga, itu muncul dalam persidangan empat anggota DPR periode 1999-2004, yaitu Dudhie Makmun Murod (PDI-P), Hamka Yandhu (Golkar), Endin Ahmad Jalaludin Soefihara (PPP), dan Udju Djuhaeri (TNI/Polri), di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta.
Di saat yang sama, pengawasan yang dilakukan DPR, beberapa kali juga dianggap dijalankan secara eksesif sehingga mengganggu jalannya pemerintahan. Bahkan, pelaksanaan pengawasan DPR sering kali dicurigai hanya sebagai bagian dari tawar-menawar politik seperti yang diduga terjadi dalam kasus pengusutan pemberian dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century.
Pintu putar
Sejumlah kebijakan telah dibuat untuk makin mengefektifkan lembaga DPR. Penyederhanaan partai politik terus diwacanakan, yang antara lain menerapkan ambang batas parlemen sebesar 2,5 persen di Pemilu 2009. Dasar pemikirannya, jumlah partai yang terlalu banyak di DPR tidak cocok dengan sistem presidensial yang kita anut.
Di Pemilu 2009, anggota DPR juga dipilih dengan mekanisme suara terbanyak. Selain menghilangkan oligarki partai politik, kebijakan itu diharapkan dapat membuat anggota DPR lebih bertanggung jawab dan memerhatikan pemilihnya.
Namun, harapan itu seolah hanya menjadi harapan. Penetapan suara terbanyak justru menjadi faktor yang membuat biaya politik semakin tinggi. Seperti disampaikan M Romahurmuziy, Wakil Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan, biaya kampanye anggota DPR di Pemilu 2009 rata-rata Rp 300 juta hingga Rp 10 miliar. Padahal, dengan pendapatan sah Rp 70 juta tiap bulan, penerimaan anggota DPR selama lima tahun hanya Rp 4,2 miliar.
Semakin mahalnya biaya politik ini dikarenakan banyaknya politikus kita yang cenderung ingin mencari jalan pintas untuk mendapatkan kekuasaan, yaitu dengan memakai uang. Semakin banyak politikus yang enggan berinvestasi dengan cara yang lebih ”konvensional” dan terhormat, seperti datang dan berkomunikasi secara intensif dengan rakyat.
Mahalnya biaya politik yang terutama disebabkan karena banyaknya politikus jalan pintas ini berdampak kepada munculnya berbagai usulan ”aneh” di DPR, seperti dana aspirasi Rp 15 miliar untuk setiap anggota DPR, rumah aspirasi bagi anggota DPR, hingga dana Rp 1 miliar untuk setiap desa.
Di saat yang sama, sebagian besar anggota DPR juga cenderung lebih mementingkan popularitas ”kosong” di depan pemilihnya daripada kinerja. Akibatnya, banyak anggota DPR yang membolos sidang. Sejumlah program kerja juga berantakan. Dari target legislasi 70 rancangan undang-undang pada tahun 2010, baru tujuh yang selesai. Padahal, 2010 tinggal 4,5 bulan lagi.
Akhirnya, berbagai upaya selama 12 tahun terakhir untuk memperkuat dan mengefektifkan lembaga perwakilan, khususnya DPR, seperti masuk pintu putar. Ketika kita berhasil menemukan pintu keluar, di saat yang sama kita sedang memasuki pintu untuk masuk ke masalah baru.
Kondisi ini terjadi karena semua perbaikan yang dilakukan dalam 12 tahun terakhir ternyata tidak diikuti dengan pembersihan ”karakter buruk” dari mereka yang berada di sistem tersebut. Lahirnya era reformasi ternyata tidak diikuti dengan mereformasi ”orang-orang lama” dari sistem kita.
Dengan keunggulan modal, pengalaman, dan jaringan, para ”orang lama” itu mengisi dan memanfaatkan kembali sistem yang telah dengan susah payah diperbaiki selama reformasi. Sistem memang baru dan mungkin lebih baik. Namun, mental dan kualitas orang di dalamnya tetap saja sama dengan era sebelumnya.
Akhirnya, seperti disampaikan Bung Hatta yang mengutip pengarang Jerman, Schiller, saat mengkritik pelaksanaan Demokrasi Terpimpin pada 1960: ”Suatu masa besar dilahirkan abad, tetapi masa besar menemui manusia kecil”.
Sumber: Kompas, Jumat, 13 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment