-- Rikard Bagun
SAMPAI sekarang belum terlihat jelas upaya mewujudkan nilai sila-sila Pancasila secara sungguh-sungguh. Tidak pernah sepenuh hati dilaksanakan secara konkret.
Jangankan dilaksanakan dengan kesungguhan, keinginan membicarakannya saja cenderung ogah-ogahan belakangan ini. Sudah mati angin. Pancasila terkesan seperti ditelantarkan.
Sebaliknya, godaan menggantikannya sebagai ideologi negara tidak pernah surut meski tidak selalu terbuka. Upaya diam-diam, pelan-pelan, dan terselubung lebih berbahaya ketimbang terbuka karena lazimnya sulit diantisipasi.
Godaan menggantikannya dengan ideologi lain, ditambah ketidakseriusan mewujudkannya, membuat posisi Pancasila sebagai dasar negara benar-benar terjepit dan lesu darah.
Lebih memprihatinkan lagi dan sungguh tidak adil jika Pancasila sampai dijadikan kambing hitam atas segala kemacetan dalam bidang sosial, politik, ekonomi, dan keamanan selama ini.
Segala kegagalan mewujudkan Indonesia yang sejahtera dan berkeadilan antara lain karena tidak ada kesungguhan mewujudkan pembangunan yang mengacu pada nilai-nilai visioner Pancasila.
Upaya perwujudan nilai-nilai Pancasila selama ini terkesan setengah hati. Tidak banyak yang peduli jika Pancasila diganggu oleh ideologi lain. Lemahnya dukungan juga terlihat pada wacana tentang Pancasila yang cenderung melemah.
Kalaupun Pancasila dibahas, semakin dilakukan jauh di pinggiran, dalam ruang-ruang sempit dan pengap, jauh dari pesona dan sensasi panggung, yang memang dibajak oleh para petualang politik yang hidup dari oportunitas harian.
Tidak ada kegairahan tinggi yang mampu mengartikulasikan Pancasila terus-menerus agar semakin berakar kuat dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Tanpa banyak disadari, penghayatan dan pengamalan Pancasila menjadi kedodoran.
Semakin terasa kegamangan dan kehampaan mendalam, the existential vacuum, jika Pancasila dibiarkan merana. Sungguh dikhawatirkan kemungkinan masuk angin, apalagi badai, ke dalam ruang hampa itu yang dapat memorak- porandakan Pancasila sebagai rumah bersama Indonesia.
Fungsi integratif
Sadar atau tidak, Pancasila memiliki fungsi integratif yang menjamin kesatuan negara-bangsa Indonesia yang pluralistik. Taruhannya tidaklah kecil jika Pancasila dilecehkan, lebih-lebih karena posisinya sebagai dasar eksistensi negara Proklamasi 17 Agustus 1945.
Tidaklah berlebihan jika Pancasila menjadi salah satu kekaguman dunia luar terhadap Indonesia karena memiliki fungsi menyatukan masyarakat dan wilayah Nusantara yang begitu luas, dengan berbagai latar belakang suku, budaya, bahasa, dan agama.
Perlu diakui, Pancasila merupakan warisan luar biasa Pendiri Bangsa yang mengacu pada nilai-nilai luhur, yang bersifat orisinal dan tahan zaman. Sungguh warisan nilai yang sangat berharga.
Namun, sekali lagi, upaya mewujudkan nilai sila-sila Pancasila itu terasa sangat lemah. Dampaknya dalam kehidupan sehari-hari belum terasa kuat, yang bisa saja membuat orang puas atau tidak puas.
Namun, bukanlah soal puas atau tidak puas ketika ada upaya menyingkirkan Pancasila dengan ideologi lain. Upaya itu jelas-jelas mengancam keberlangsungan negara-bangsa Indonesia yang eksistensinya berada di atas basis Pancasila.
Tidak kalah rumitnya tantangan yang bersifat sosiologis. Sampai sekarang masih terdapat kerancuan soal pemahaman dan penghayatan tentang keindonesiaan. Tidak sedikit anggota masyarakat belum menempatkan dirinya sebagai warga negara (citizen), yang harus tunduk kepada ideologi (Pancasila) dan konstitusi.
Masih banyak pula yang mencampuradukkan pengertian sebagai warga negara dengan posisi sebagai anggota kelompok etnik, budaya, bahasa, dan agama. Sebagai dampaknya, bukannya tunduk kepada Pancasila dan konstitusi negara, tetapi justru menggugatnya.
Eksistensi negara-bangsa Indonesia yang pluralistik terancam tamat jika dasar negara dan konstitusi tidak dijadikan ukuran dan acuan dalam berpikir serta berperilaku sebagai warga negara.
Sudah menjadi tugas semua anggota masyarakat, terutama pemerintah, untuk memberikan kawalan terhadap dasar negara dan konstitusi. Pemerintah bahkan memiliki wewenang istimewa untuk menindak warga yang tidak tunduk kepada dasar negara dan konstitusi.
Tidak dapat dibiarkan upaya mengutak-atik ideologi yang melelahkan dan hanya akan membuang banyak energi, mengacaukan konsentrasi bagi proses pembangunan dan perubahan. Bangsa Indonesia akan tertinggal jauh di belakang jika tidak membulatkan tekad memacu kemajuan seperti dilakukan banyak bangsa belakangan ini. Pembangunan merupakan upaya menciptakan kesejahteraan sesuai dengan amanat Pancasila, konstitusi, dan Proklamasi 17 Agustus 1945.
Merdeka!
Sumber: Kompas, Senin, 16 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment