-- Agung Hujatnikajennong
BELAKANGAN, di antara beberapa penulis, kurator, seniman, kolektor, dan penyalur seni rupa di Indonesia berkembang asumsi tentang peristiwa seni rupa dengan format art fair yang dianggap ”setara” atau ”dapat menggantikan” kegiatan dengan label biennale/triennale.
Bagi saya, kesimpulan itu cenderung menyamaratakan dan pada akhirnya berisiko menyesatkan. Kepada mereka saya ingin bertanya: biennale mana yang dimaksud dan art fair mana yang mereka pernah tonton?
17th Biennale of Sydney (17th BoS) di Sydney, Australia, 12 Mei-1 Agustus 2010, boleh jadi adalah biennale yang mewakili aspek-aspek ideal penyelenggaraan sebuah kegiatan seni rupa. Saya bahkan berpendapat 17th BoS adalah salah satu yang terbaik di antara sekian banyak peristiwa seni rupa internasional yang berlangsung tahun ini. Mengikutsertakan 116 seniman, pameran ini tersebar di beberapa tempat berbeda di kawasan Sydney: Museum of Contemporary Art (MCA), Sydney Opera House, Pier 2/3, Art Gallery of New South Wales (NSW), Royal Botanic Garden, Artspace, dan yang terbesar di Pulau Kakatua.
Dalam sebuah biennale, kerja kuratorial mau tidak mau menjadi tolok ukur terpenting dalam penilaian, selain kualitas karya-karya yang ditampilkan. Kali ini 17th BoS mengusung tajuk puitik, The Beauty of Distance: Songs of Survival in the Precarious Age. Direktur Artistik 17th BoS David Elliot memandang bahwa seni rupa kontemporer dewasa ini adalah ekspresi dari berbagai hal: perayaan kelangsungan, perlawanan, kebebasan atau kekerasan pendirian di hadapan ancaman, kesenangan, ataupun horor dalam kehidupan. Akan tetapi, seni bukanlah petunjuk praktis untuk hidup di dunia karena ia tak akan mengatakan apa pun, kecuali jika kita mau memahaminya sebagai pengalaman yang unik.
Kerja kuratorial
Menyamakan kerja kuratorial sebuah biennale dengan kegiatan tulis-menulis ”kuasi-teoritik” belaka (yang oleh banyak penulis sering secara salah kaprah dipersamakan dengan ”wacana”) tidaklah tepat. Rumusan kuratorial suatu pameran memang bisa saja menyuruk pada konstruksi teoretik, tetapi tidak harus demikian. Sebagaimana terlihat pada 17th BoS, keberhasilan kerja David Elliot justru terlihat mencolok pada aspek pemilihan karya-karya yang selektif, penempatan dalam ruang yang tepat, dan cara-caranya menghadirkan hubungan-hubungan tak terduga di antara mereka.
Elliot tak fanatik pada karya-karya ”terbaru” dan gigantik—biennale pernah identik dengan pameran karya-karya yang ”asal baru” dan ”asal besar”. Karya-karya ”konvensional” semacam patung monolit, obyek keramik, lukisan, gambar, dan obyek-obyek ritual Aborigin mendapatkan tempat yang sesuai di ruang-ruang MCA. Di situ, karya-karya gambar Annie Pootoogook yang berukuran mini tak tampak minder bersanding dengan instalasi tableux-vivant seniman Belanda, Folkert de Jong.
Demikian halnya dengan rancang pajang karya-karya Raqieb Shaw, Akira Yamaguchi, Tenmyouya Hishashi, Aida Makoto, dan Liu Jianhua di Art Gallery of NSW. Menarik mencermati bagaimana karya-karya kelima seniman kontemporer Asia ini justru ditempatkan di galeri pemerintah yang terkenal dengan koleksi seni rupa Eropa dan Australia abad ke-19.
Kerja kuratorial Elliot mencakup riset lokasi yang cukup intens—bukan dari segi fisiknya saja, melainkan juga aspek-aspek historis dan citra tempat tersebut di mata masyarakat lokal. Kerja kuratorial dalam hal ini menjadi serupa dengan proyek tapak-khas (site-specific project). Sebagai contoh, instalasi Paul McCarthy, Ship of Fools (2010), berupa kapal laut dari busa, terpajang dengan sangat menarik di Pier 2/3 yang merupakan gudang sebuah dermaga tua. Karya Choi Jeong-Hwa, sebuah teratai raksasa dari balon nilon sintetik berwarna merah menyala, yang ditempatkan di sebuah kolam di Royal Botanical Garden, juga menghasilkan kontras karena justru pada bulan-bulan itu semua tumbuhan teratai di taman itu tengah layu dan mengering.
Pengalaman luar biasa di 17th BoS saya dapatkan ketika memasuki instalasi Hiroshi Sugimoto, Faraday Cage (2010), yang ditempatkan di dalam bekas bangunan pembangkit listrik di Pulau Kakatua. Instalasi ini terdiri atas sejumlah light box yang memuat foto-foto dari seri lightning field-nya yang memukau. Citraan-citraan foto yang dihasilkan dari percikan listrik statis itu ditempatkan pada kedua sisi sebuah anjungan bertakik-takik menanjak. Pada bagian puncaknya Sugimoto menempatkan patung sosok Raijin, dewa halilintar dalam mitologi Jepang abad ke-13.
Sebuah biennale biasanya menawarkan kuantitas dan skala materi pameran yang tak biasa. Hal ini wajar mengingat jangkauan publik internasional yang disasarnya. Untuk menikmati 17th BoS secara ”utuh”, saya pikir, dibutuhkan satu sampai dua minggu. Hal ini juga disebabkan oleh sebagian besar karya dipamerkan berbasis video multikanal dan sinema. Dalam golongan itu, Yang Fudong, Isaac Julieen, Dana Claxton, dan kelompok asal Rusia, AES+F, adalah seniman-seniman yang tampil dengan karya-karya memukau dan mengundang kekaguman banyak orang. Narasi dan teaterikalitas sepertinya menjadi salah satu karakter artistik yang ditonjolkan oleh David Elliot dalam biennale ini.
Agung Hujatnikajennong, Kurator, Mengikuti International Visitor Program di Beberapa Kota di Australia atas Undangan Australia Council for the Arts.
Sumber: Kompas, Minggu, 15 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment