Bandung, Kompas - Sebanyak 40 persen dari 147 naskah kuno koleksi Museum Sri Baduga Bandung belum diterjemahkan. Penyebab utamanya karena tidak ada tenaga filologi atau penerjemah naskah di museum.
”Baru sekitar 78 naskah kuno yang berhasil kami terjemahkan dengan bantuan filolog Universitas Padjadjaran Bandung. Sangat disayangkan karena naskah itu diyakini bermanfaat banyak bagi masyarakat,” tutur Kepala Museum Sri Baduga, Pramaputra, di sela-sela peluncuran Forum Peduli Museum di Museum Geologi Bandung, Sabtu (21/8).
Museum Sri Baduga adalah satu dari lima museum dengan koleksi naskah kuno di Indonesia. Museum lain adalah Museum Kartanegara Kutai di Kalimantan Timur, Museum Negeri Lampung, Museum Negeri Jambi, dan Museum Mpu Tantular di Bali.
Prama mengatakan, Museum Sri Baduga memiliki koleksi naskah terbanyak yang terdiri dari beberapa tulisan, seperti cacarakan (hanacaraka-Jawa), Jawa Kuno, Pegon (Arab Sunda), dan Sunda Kuno. Naskah itu berisi ajaran sastra, agama, pedoman hidup, kesehatan, adat istiadat, dan silsilah. Mayoritas berasal dari abad ke-7 hingga ke-14 atau masa keemasan Kerajaan Padjadjaran.
Tahun 2008 menjadi masa paling banyak penerjemahan naskah kuno. Saat itu, Museum Sri Baduga berhasil mengalihaksarakan 25 naskah kuno dan 20 naskah setahun kemudian.
Prama menjelaskan, salah satu kendala penerjemahan adalah tidak adanya filolog di Museum Sri Baduga. Ia akan mengupayakan agar anggota staf museum mendapat beasiswa belajar di Museologi Unpad. ”Cukup empat hingga lima orang. Hal itu lebih baik ketimbang tergantung pada pihak lain dan belum jelas besaran anggarannya,” kata Prama.
Prama prihatin akan banyaknya naskah kuno yang disimpan masyarakat. Diperkirakan banyak yang rusak karena tidak disimpan sesuai prosedur, di antaranya adalah ratusan naskah kuno yang telantar di Karawang.
Rektor Unpad Ganjar Kurnia menyambut baik rencana pelatihan itu. Ia membuka kesempatan seluas-luasnya bagi tenaga museum untuk belajar di Program Magister Museologi Unpad. Ketua Forum Peduli Museum Setiawan Sabana mengatakan, kebutuhan filolog sangat mendesak. Selain pemerintah, dibutuhkan keterlibatan swasta agar manfaat dan kontribusinya dapat dirasakan banyak pihak. (CHE)
Sumber: Kompas, Senin, 23 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment