Monday, August 16, 2010

[65 Tahun Indonesia] Ketidakadilan Kemerdekaan

-- Benny Susetyo

DI tengah perayaan kemerdekaan ini, masih adakah para elite yang risau dengan masa depan bangsa ini?

Masa depan bangsa yang sudah berpuluh-puluh tahun merayakan kemerdekaannya, tetapi ada warga yang tidak merdeka beribadat, yang bunuh diri karena miskin, yang rumahnya siap meledak karena tabung gas, atau elite yang berbohong di mana-mana tanpa sedikit pun rasa malu. Inikah hakikat kemerdekaan itu?

Semakin lama kita seperti tumbuh sebagai bangsa tanpa karakter. Bangsa dengan visi di angan-angan belaka tanpa aktualisasi nyata. Padahal, pengalaman kemajuan sebuah bangsa lazimnya disertai dengan kokohnya karakter dan keteguhan visi untuk menghadapi masa depan. Kita bisa menyaksikan mereka yang sedang membangun dari bawah, berangkat dari upaya membangun karakter dan memperkokoh visi terlebih dahulu. Bagaimana masa depan bangsa itu terbentuk amat bergantung pada bagaimana penanaman nilai dan karakter bangsa di masa kini.

Ketidakadilan

Perjalanan bangsa ini sudah begitu jauh, tetapi kita justru melalaikan itu semua. Pancasila yang diagung-agungkan sebagai falsafah bangsa dan fondasi kehidupan ini kenyataannya lebih sering dipajang sebagai simbol belaka. Tak hanya itu, ia sering dipermainkan dalam adegan politik yang penuh dengan kemunafikan.

Merdeka bagi mereka yang kini tertindas tak ubahnya sebagai gurauan rutin belaka. Mereka yang kerap diganggu peribadatannya tak merasakan kemerdekaan seperti masa kini bermakna. Begitu pula mereka yang lapar dan menderita busung lapar. Kemerdekaan pada kenyataannya tidak adil, ia hanya berlaku untuk sebagian kecil orang.

Bagi mereka, kemerdekaan tak ubahnya kisah sejarah anak-anak sekolah dasar. Kemerdekaan tak pernah dirasakan secara nyata oleh kaum kecil. Kemerdekaan bak fatamorgana karena kenyataannya adalah belenggu dan penindasan serta abainya aparat negara kepada penderitaan rakyat marjinal dan miskin. Aparat lebih suka membantu warga yang berkecukupan karena mereka akan mendapat untung dibandingkan membela wong cilik, yang penuh dengan risiko.

Itulah yang sejak lama sudah disebut Yoshihara Kunio. Birokrat kita lebih berperan sebagai pemburu rente (rent seeking) daripada sebagai abdi yang melayani warga secara adil. Kita merasakan itu semua, disadari atau tidak, diakui atau tidak, di masa yang disebut merdeka ini.

Situasi seperti itu mengingatkan kembali pada situasi masa penjajahan dahulu. Rakyat mencari-cari kesempatan untuk bisa hidup tenang karena kesempatan itu sangat sempit sekali. Begitu pula di masa kini, kesempatan untuk hidup tenang dan damai makin mahal harganya. Bukan hanya itu, juga makin sulit dicari.

Terancam

Kita semua menyadari hidup di dalam bangsa yang tidak memiliki panutan yang benar-benar bisa diteladani. Itu semua akibat para pemimpin terbukti terlalu banyak bekerja untuk dirinya sendiri daripada untuk rakyat; bekerja untuk stabilitas kekuasaannya daripada perkembangan ekonomi rakyat.

Itu semua menggambarkan kegelapan masa depan bangsa yang sudah memproklamasikan kemerdekaannya 65 tahun lalu ini. Di tengah berbagai perayaan itu, tampaknya sampai saat ini kita belum tuntas menjawab pertanyaan, merdeka dari siapa dan untuk siapa.

Negeri ini terancam kehilangan harapan masa depan akibat berbagai praktik kehidupan berbangsa yang mengkhianati cita-cita proklamasi. Cita-cita itu hanya kata-kata manis yang begitu kerap dilecehkan demi kepentingan-kepentingan pribadi dan hasrat kekuasaan. Elite politik sudah terbiasa tak mau menggunakan sedikit rasa malu pada saat mengedepankan kepentingan pribadi dan golongan daripada kepentingan rakyat semesta.

Sampai saat ini, nyatanya kita tidak mampu belajar dan meneruskan cita-cita para founding fathers kita tentang hidup bersama sebagai bangsa. Hidup berbangsa dengan melihat bangsa sebagai rumah bersama yang menyadari bahwa setiap perbedaan adalah suatu yang niscaya dan mengembangkan sikap bahwa kemerdekaan adalah untuk semua, bukan untuk sebagian golongan saja.

* Benny Susetyo, Pemerhati Sosial

Sumber: Kompas, Senin, 16 Agustus 2010

No comments: