MENELUSURI jejak keraton Pleret dan Kerto yang sekarang terletak di Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, seperti berlomba dengan cepatnya waktu. Puing-puing yang tersisa dari dua keraton di zaman Kerajaan Mataram Islam itu terus terancam oleh lubang-lubang galian dari usaha batu bata dan pembangunan tak terencana.
ARKEOLOG dari Tim Arkeologi Situs Keraton Pleret di Dusun Kedaton, Pleret, Kabupaten Bantul, DI Yogyakarta, membersihkan terap atau tangga dari batu putih peninggalan Kerajaan Mataram Islam yang berhasil diekskavasi, akhir Mei lalu. Saat ini, situs Keraton Pleret terancam rusak karena laju pembangunan. Padahal, baru sebagian kecil situs tersebut yang berhasil diungkap. (KOMPAS/IRENE SARWINDANINGRUM)
Tahun 2003 adalah awal persaingan warga Desa Pleret dengan Tim Arkeolog dari Dinas Kebudayaan DIY serta Balai Pelestarian Peninggalan Purbakala (BP3). Mereka berlomba menggali lahan pekarangan dan persawahan di sekitar Pleret. Bedanya, Tim Arkeolog menggali untuk mencari dan menyelamatkan situs Mataram Islam di Pleret dan Kerto, sementara warga menggali lahan untuk bahan baku batu bata.
Di sejumlah titik, pembangunan pun semakin merambah lahan-lahan yang berpotensi memendam sisa-sisa bangunan keraton. Karena keberadaan bangunan baru itu, upaya ekskavasi makin sulit dilakukan.
Keraton Kerto dan Pleret pernah menjadi pusat pemerintahan kerajaan besar Mataram Islam pada abad XVII. Dari Keraton Kerto, Sultan Agung memimpin zaman keemasan Mataram Islam dan menggerakkan perlawanan kepada Belanda. Putra Sultan Agung yang bergelar Sunan Amangkurat I kemudian memindahkannya ke Pleret.
Dua keraton
Saat ini dua keraton bersejarah itu tinggal puing-puing yang tersebar atau terpendam tanah. Padahal, sebagai pusat kerajaan besar, Pleret dan Kerto dibangun dengan berbagai fasilitas. Berbagai fasilitas seperti Masjid Agung Pleret, beteng, dan alun-alun itulah yang coba digali Tim Arkeolog.
Koordinator Lapangan Tim Arkeolog Rully Andriadi mengatakan, ekskavasi dilakukan rutin untuk merekonstruksi dan mendokumentasikan detail kehidupan masa itu. Ekskavasi dan pendataan harus dilakukan secepat mungkin karena lubang-lubang galian batu bata yang dibuat penduduk beberapa kali merusak sisa-sisa struktur bangunan keraton. Batu bata maupun struktur bangunan yang berada di atas tanah pun banyak diambil untuk berbagai kepentingan.
”Belum lagi cepatnya pembangunan di kawasan. Lahan yang diduga masih mengandung sisa-sisa keraton ternyata telah digunakan membangun rumah sehingga tak bisa diketahui lagi apa yang tersimpan di lahan itu,” ujar Rully di Yogyakarta, akhir Juli 2010.
Dikubur lagi
Struktur bangunan yang ditemukan dalam ekskavasi pun sering kali terpaksa dikubur lagi. Hal ini untuk menghindari perusakan serta menghindari konflik dengan pemilik lahan. Sebagian lahan di sekitar situs keraton Pleret dan Kerto memang masih dimiliki dan digunakan warga.
Kondisi-kondisi ini jelas mempercepat hilangnya puing-puing yang tersisa. Untuk mencegahnya, ekskavasi dan pendataan harus dilakukan secepat mungkin. Namun, secepat apa pun Tim Arkeolog berusaha, upaya ini rupanya tetap sulit bersaing dengan laju kerusakan. ”Sampai sekarang baru sekitar 10 persen saja dari dua keraton ini yang berhasil diekskavasi dan didokumentasikan,” kata Rully.
Padahal, hingga saat ini masih banyak yang belum diketahui dari dua keraton ini. Referensi baru diperoleh secara sekilas dari naskah ilmuwan Belanda, surat-surat warga Belanda yang pernah ditawan Sultan Agung, dan beberapa naskah sastra kuno (babad) yang ditulis sastrawan keraton. Referensi-referensi tersebut tak banyak memberi gambaran rinci seperti teknologi yang telah dikembangkan di keraton.
Temuan berupa saluran air yang telah dilengkapi sistem saringan berlapis tahun 2008, misalnya, menunjukkan adanya teknologi yang telah berkembang di Keraton Kerto. ”Kalau teknologi-teknologi ini bisa diungkap, bisa jadi sumber ilmu bagi bangsa Indonesia,” ujar Rully.
Lurah Desa Pleret Nur Subiyantoro mengakui, pembangunan perumahan memang cukup pesat di daerah Pleret. Pleret menjadi pilihan para pengembang karena aksesnya yang mudah serta jaraknya yang tak terlalu jauh dari Kota Yogyakarta.
Bagi warga, kepentingan utama menggali lahan adalah untuk bahan batu bata. Di Desa Pleret ada ratusan perajin batu bata. ”Harga galian tanah sangat menggiurkan. Ada dua sistem yang biasanya dipakai, yakni menjual tanah dengan sistem truk. Harganya Rp 125.000 sampai Rp 140.000 per truk. Kedua, sistem penjualan per kubik dengan harga sekitar Rp 20.000 per meter kubik,” kata Nur.
Lahan yang digali tak hanya pekarangan, tetapi juga persawahan. Bekas galian dibiarkan begitu saja tanpa penanganan. Pemilik biasanya menjual lahan yang sudah rusak dengan harga murah. ”Setelah tidak bisa digali lagi, sawah saya jual seharga Rp 50 juta. Luas sawah sekitar 300 meter persegi,” kata Sakiyem (45), pembuat batu bata di Desa Pleret.
Saat menggali, tak jarang warga menemukan situs-situs peninggalan Mataram Islam. Kadang kondisinya rusak karena penggaliannya asal-asalan. Salah satunya adalah penemuan sumur tua yang diperkirakan dibuat abad ke-17. Dindingnya terbuat dari gerabah dengan diameter 70 cm dan tinggi 35 cm. Sumur tersebut ditemukan di Dusun Gunungkelir, Desa Pleret, pada tahun 2008.
Batu bata
Tradisi pembuatan batu bata juga tak lepas dari keberadaan Mataram Islam. Saat Sunan Amangkurat I berkuasa, ia memerintahkan rakyatnya untuk membuat batu bata sebanyak-banyaknya. Tujuannya untuk membangun sebuah istana di Pleret. Perintah Sunan Amangkurat I, yang ditulis dalam Babad Tanah Jawi I tersebut, menjadi titik awal tradisi pembuatan batu bata di Kecamatan Pleret.
Keraton dibangun pada abad XVI dengan luas 2.256 meter dikelilingi tembok dengan tinggi 6 meter dan tebal 1,5 meter. Semuanya terbuat dari batu bata. Setelah dihancurkan Belanda, batu bata bekas keraton lalu dimanfaatkan untuk membangun pabrik gula.
Pembangunan Keraton Pleret konon melibatkan sekitar 300.000 penduduk dengan sistem kerja paksa. Pembangunan tersebut telah banyak menularkan teknik pembuatan batu bata ke banyak warga. Setelah keraton berdiri megah, warga tetap membuat batu bata.
Usaha batu bata memuncak pascagempa bumi 2006. Banyaknya aktivitas pembangunan fisik pascagempa membuat permintaan akan batu bata melonjak tinggi. Berdasarkan data Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Bantul, jumlah rumah yang rusak total 71.763 unit, rusak berat 71.372 unit, dan rusak ringan 73.669 unit.
Juru Pelihara Situs Keraton Pleret yang juga anggota Badan Perwakilan Desa Pleret, Rahmat Fauzi, mengaku prihatin dengan kondisi tersebut. Dia berharap pemerintah dan aparat desa setempat memberikan perlindungan terhadap lahan-lahan situs yang berpotensi masih mengandung sisa-sisa keraton zaman Mataram Islam. Perlindungan diperlukan sebelum keraton itu benar-benar hilang.(ENY/IRE)
Sumber: Kompas, Senin, 23 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment