Saturday, August 14, 2010

Tersesat di Muenchen

-- Ahmad Syafii Maarif

KAMIS, 29 Juli 2010. Dalam usia senja dengan kepala tujuh, ada perasaan gundah yang bergayut di otak saya jika bepergian jauh sebatang kara.

Tiga jenis bayangan nasib malang yang mungkin berlaku: sakit, dirampok, dan tersesat. Alhamdulillah, kejadian pertama dan kedua belum pernah dialami. Jika sakit, paling-paling sakit perut dan gatal di kaki karena alergi cuaca dingin. Adapun tersesat di jalan, kejadian di Muenchen yang akan saya ceritakan ini bukan yang pertama dialami, padahal dengan berjalan kaki lagi.

Dalam perkara ingat-mengingat alamat jalan dan tempat, boleh jadi IQ saya di bawah sopir Maarif Institute, Bung Irman. Di Jakarta yang serba macet, teman yang satu ini sangat menguasai jalan-jalan tikus agar cepat tiba di tempat tujuan. Sekali Bung Irman mengenal sebuah alamat atau lokasi mungkin seumur hidup tak akan dilupakannya. Tak tahu bagaimana dahsyat saraf otaknya bekerja untuk mengingat tempat-tempat tertentu, sekalipun baru sekali didatangi. Kita tidak boleh pandang enteng seorang sopir yang belum tentu berpendidikan tinggi. Ada saja kelebihan seseorang yang harus dihargai, apa pun posisinya.

Demikianlah, sore pada tanggal di atas setelah rampung berseminar dengan tema ”Religious Pluralism: Islam and Christianity in the 21st Century” di Eden Hotel Wolff, Jalan Arnulfstr 4, saya harus berjalan ke suatu tempat. Demi memenuhi permintaan anak untuk mencarikan alat canggih yang bernama Apple Ipad, saya bergerak ke arah timur dari Hotel Excelsior di jalan SchuzenstroBe 11, sebuah nama jalan yang beberapa kali saya baca, tetapi tidak pernah hafal.

Toko Apple Ipad yang kabarnya hanya satu-satunya di Muenchen tidak terlalu jauh dari hotel, sekitar seperempat jam berjalan kaki. Dengan optimisme petunjuk pihak hotel segera saya ikuti. Biasa, semua dokumen perjalanan dan sangu tak lepas dari badan. Sebagian disimpan di saku jas, yang lain dalam tas sederhana kecil yang dulu dibeli di Vatikan.

Sekalipun sudah sedikit mengerti arah tujuan, sebagai orang yang agak buta peta, saya sering bertanya di mana toko itu. Mereka yang ditanya dengan sangat ramah ala Jerman menunjukkan. Tetapi toh saya tak kunjung menemukan, bahkan telapak kaki ini ternyata telah menggelandang terlalu jauh ke timur, di tengah arus manusia dari berbagai bangsa sore itu memenuhi trotoar. Saya melihat banyak sekali muka Arab, lelaki dan perempuan bersama anak-anak mereka.

Setelah berlalu sekitar 30 menit saya berbalik arah untuk mencari Apple Ipad itu. Itu pun dengan bertanya. Saat itu sinar matahari sudah mulai meredup sebagai tanda menjelang malam. Pada jam 20.00 toko yang dicari baru ketemu, tetapi tidak lagi menerima tamu karena sudah jam tutup. Saya paksakan masuk sekadar ingin tahu apa itu Apple Ipad dan berapa harganya. Kata anak saya, jika harganya 500 tidak usah dibeli karena kemahalan. Ternyata harganya ? 499 (sekitar Rp 5.788.400). Dengan angka yang jauh di atas 500 tentu telah menyelamatkan kaki tua saya untuk tidak berlawalata lagi ke toko itu keesokan harinya.

Saatnya kembali ke hotel. Sambil melangkah ke barat, di perjalanan saya bertemu warung makan Turki yang menjual kebab yang terkenal itu. Terbaca di situ tulisan Arab ”math’am halâl” (warung makan halal), langsung saya tanya harganya. Sambil bercanda penjualnya menjawab, ”One million euro (satu juta euro)” untuk harga yang hanya tiga euro (sekitar Rp 35.000).

Tersesat

Langkah selanjutnya terus diayunkan ke arah barat, sementara bawaan telah bertambah, kebab yang cukup mengenyangkan. Makin jauh berjalan makin tak ketemu hotel. Padahal jika cukup awas, setelah melewati lingkaran air mancur yang sudah saya tandai sebelumnya, semestinya bila berbelok agak ke kiri pasti cepat sampai ke tujuan. Tetapi karena saya terus saja melaju lurus, maka terjadilah apa yang terjadi: tersesat. Saya bertanya kepada orang yang lalu lalang, hampir tidak ada yang tahu di mana hotel kecil yang sangat rapi itu. Ringkas cerita, bertemu dengan dua anak muda Jerman untuk saya tanyai. Dengan sikap ingin menolong, peta kota di HP-nya dibuka. O, ya, dekat stasiun pusat kereta api.

Karena tungkai yang dipakai sudah lebih dari 70 tahun, cepat merasa lelah di senja itu, saya cari taksi. Sopirnya ternyata seorang kelahiran Yunani, mungkin sudah menjadi warga negara Jerman. Saya tunjukkan alamat hotel, dia mengangguk tanda kenal. Sekitar 15 menit hotel yang ”hilang” itu akhirnya ketemu. Ongkos taksi dua kali harga kebab. Kebab pun sudah dingin, tetapi dialog dengan sang sopir cukup menarik. Ketika nama Sokrates, Plato, dan Aristoteles saya sebut, pembicaraan kami bersambung.

Dengan kalimat ringan sahabat sopir ini berkata, ”Dulu bangsa Yunani hebat, tetapi kemudian mereka menjadi stupid (bodoh),” sebuah pengakuan yang sangat jujur kepada bangsanya sendiri. Oleh sebab itu, Anda jangan pandang rendah seorang sopir atau siapa pun. Sopir satu ini jelas cepat menyambung saat saya menyebut nama para filsuf yang sangat melegenda itu. Lebih dari itu, sopir Yunani inilah yang menyelamatkan saya di sore yang mulai gelap itu.

* Ahmad Syafii Maarif, Mantan Ketua Umum PP Muhammadiyah

Sumber: Kompas, Sabtu, 14 Agustus 2010

No comments: