Jakarta, Kompas - Ratusan warga negara Indonesia, banyak di antaranya buruh migran, terancam hukuman mati di negeri tetangga Malaysia dengan tuduhan narkoba dan pembunuhan.
Kejadian mutakhir, Bustamam bin Bukhari dan Tarmizi Yakob harus menerima hukuman gantung setelah kasasi dua warga asal Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam ini ditolak Mahkamah Agung Malaysia, 18 Agustus lalu. Keduanya dinilai terbukti menjual 3 kilogram ganja kepada informan kepolisian Malaysia pada awal April 1996.
”Sejak 1990-an sampai saat ini, ada 345 WNI di Malaysia yang terancam hukuman mati. Kondisi ini sangat memprihatinkan karena sepertinya terjadi pembiaran,” kata Direktur Migrant Care Anis Hidayah dalam jumpa pers bersama Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) serta Infid di Jakarta, Jumat (20/8).
Menurut Anis, hal ini sangat ironis karena hukuman mati itu dijatuhkan tak lama setelah Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melakukan kunjungan bilateral ke Malaysia pada Mei 2010, dengan agenda pembahasan perlindungan WNI dan buruh migran Indonesia di Malaysia.
Dari 345 WNI yang terkena hukuman mati itu, menurut Anis, sebanyak tujuh orang sudah dieksekusi. Sebagian besar WNI lainnya terancam dipidana mati dan hukuman berat.
Dari data yang ada, sebagai contoh, Ispangiat Misrun asal Aceh ditangkap dalam kasus narkotika pada 21 Juni 1999. Ispangiat sudah dituntut hukuman mati, tetapi belum divonis.
Menurut Wakil Koordinator Badan Pekerja Kontras Haris Azhar, status hukum sebagian besar WNI yang terancam pidana mati itu sangat tidak pasti. ”Ada pembiaran yang sistematis terhadap WNI yang terancam hukuman mati sehingga WNI mengalami ketidakpastian dalam penjara (Malaysia),” katanya.
Haris menilai, sistem peradilan pidana Malaysia, seperti proses penangkapan, penyidikan, sampai persidangan, tidak transparan dan tidak akuntabel.
”Advokasi terhadap WNI yang terkena kasus hukum sangat lemah sehingga banyak ancaman hukuman mati atau hukuman berat dialami WNI di Malaysia,” kata Haris.
Malaysia merupakan salah satu tujuan penempatan tenaga kerja Indonesia karena faktor geografis dan kemudahan bahasa. Sedikitnya 2,2 juta tenaga kerja Indonesia ada di Malaysia, dengan 1 juta di antaranya bekerja tanpa dokumen resmi dan rentan menjadi pelanggaran hak asasi manusia.
”Pemerintah harus segera mengakhiri diplomasi politik serumpun dengan Malaysia. Dalam kondisi luar biasa seperti saat ini, pemerintah harus memprioritaskan penegakan HAM untuk WNI di Malaysia,” kata Anis.
(AHA/MHD/ROW/FER/HAM)
Sumber: Kompas, Sabtu, 21 Agustus 2010
No comments:
Post a Comment