Monday, June 30, 2008

Kesusastraan: Politisi Perlu Baca Sastra agar Lebih Manusiawi

Jakarta, Kompas - Politik sudah semakin beringas. Agar menjadi lebih manusiawi dan berpihak kepada rakyat kecil, politisi harus lebih banyak membaca dan mengapresiasi karya-karya sastra dan seni.

Pandangan itu mengemuka dalam acara sederhana Peresmian Komunitas Trusnan yang digagas anggota Badan Pemeriksa Keuangan, Baharuddin Aritonang, di Jakarta, Sabtu (29/6).

Hadir dalam acara itu Hamsad Rangkuti, sastrawan peraih penghargaan Khatulistiwa Award, mantan wartawan yang juga sastrawan Sori Siregar dan Martin Aleida, serta sejarawan Basyral Hamidi Harahap.

”Sastra itu membuat politik menjadi lebih human. Sastra itu selalu memihak orang-orang yang tersingkirkan,” kata Martin.

Dia mencontohkan karya-karya sastra Pramoedya Ananta Toer yang mengangkat masalah sosial dan orang-orang tersingkirkan.

Aritonang yang pernah menjadi anggota DPR pada 1999-2004 dari Partai Golkar dan sekarang mulai menggeluti dunia sastra juga mengakui hal itu. ”Saya membuat komunitas dengan sastrawan karena merasa mereka itu hidupnya lebih ikhlas dan jujur. Politik sekarang ini sudah terlalu jauh dari seni. Sudah beringas,” tutur penulis buku Orang Batak Naik Haji itu.

Soekarno

Hamsad juga mengingatkan bahwa Soekarno merupakan politisi yang sangat mengapresiasi nilai-nilai seni dan sastra. ”Di istana banyak tersimpan lukisan bermutu tinggi,” ujarnya.

Dia juga mengharapkan para seniman yang sudah masuk ke dunia politik atau duduk di jajaran pemerintahan bisa memberi nuansa seni sehingga politik menjadi lebih humanis. (SUT)

Sumber: Kompas, Senin, 30 Juni 2008

Buku Elektronik: Daerah Kesulitan Mengakses Internet

Jakarta, Kompas - Ketiadaan jaringan internet menyulitkan sekolah-sekolah di daerah, terutama di luar Jawa, untuk mengakses buku elektronik atau BSE di http://bse.depdiknas.go.id, www.depdiknas.go.id, http://www.pusbuk.or.id, dan http://www.sibi.or.id. Di Kabupaten Barito Utara, Kalimantan Tengah, misalnya, internet hanya dapat diakses di sekitar Muara Teweh yang merupakan ibu kota kabupaten tersebut.

Warga pedalaman pun kesulitan kalau harus mendatangi warnet terdekat karena jarak sekolah pedalaman di Barito Utara—misalnya di Lampeyong dan Berangin, Kecamatan Teweh Timur—dengan Muara Teweh mencapai 125 kilometer.

”Tanpa ada bantuan pengadaan komputer yang tersambung jaringan internet, kami belum bisa memperkirakan kapan siswa dan guru di pedalaman bisa mengakses buku lewat internet ini,” kata Kepala Dinas Pendidikan Barito Utara Masdulhaq, Sabtu (28/6).

Nur Taufik, guru Informasi di SMA Negeri 5 Samarinda, mengatakan, satu buku sekolah elektronik ternyata datanya berukuran besar (lebih dari 500 megabit) yang cuma bisa diunduh secara utuh. Akibatnya, pengunduhan agak lama. Dia pernah mengunduh satu buku berukuran 623 megabit dan perlu waktu 15 menit memakai komputer berteknologi terkini.

”Waktu 15 menit itu lama, apalagi jika memakai komputer yang teknologinya ketinggalan,” kata Taufik.

Sebaiknya, materi suatu BSE bisa diunduh setiap bab. Dengan demikian, siswa tak perlu mengunduh bagian lain yang dianggap tidak penting. Waktu pengunduhan pun akan lebih cepat.

Keluhan serupa disampaikan guru dan kepala sekolah di sejumlah daerah. Di Kabupaten Ogan Ilir, Sumatera Selatan, misalnya, tidak ada operator internet yang menyediakan jaringan secara cepat.

Atasi masalah teknis

Secara terpisah, Depdiknas berupaya agar akses masyarakat terhadap buku sekolah elektronik meluas dan mengatasi persoalan teknis yang menyebabkan masyarakat sulit mengakses buku-buku tersebut.

”Kami sedang dalam proses upload untuk menaruh materi ke server-server di sejumlah daerah agar server di pusat atau Depdiknas tidak terlalu berat terbebani,” ujar Kepala Pusat Teknologi Komunikasi Depdiknas Lilik Gani.

Hal itu diharapkan dapat mempercepat pengunduhan buku elektronik tersebut. Pada tahap awal, materi akan di-upload ke server di lima daerah, yakni Aceh, Jakarta, Yogyakarta, Surabaya, dan Makassar.

Selain itu, pada Agustus 2008, Buku Sekolah Elektronik akan diresmikan oleh Presiden RI dengan jumlah buku sekolah elektronik sebanyak 295 judul. Saat ini telah terdapat 49 judul buku. (CAS/BRO/ONI/ICH/INE)

Sumber: Kompas, Senin, 30 Juni 2008

100 tahun Kebangkitan Nasional: Membangun Bangsa yang Humanis

-- B Josie Susilo Hardianto

SJAHRIR dalam pidato di radio, ketika memperingati hari ulang tahun pertama Republik Indonesia, mengatakan, ”Perjuangan kita sekarang ini bagaimana juga aneh rupanya kadang-kadang, tidak lain dari perjuangan kita untuk mendapat kebebasan jiwa bangsa kita. Kedewasaan bangsa kita hanya jalan untuk mencapai kedudukan sebagai manusia yang dewasa bagi diri kita.

Oleh karena itu, kita sebagai bangsa yang percaya kepada kehidupan, percaya kepada kemanusiaan, berpengharapan kepada tempo yang akan datang. Kita telah belajar menggunakan alat-alat kekuasaan, akan tetapi kita tidak berdewa atau bersumpah pada kekuasaan.

Kita percaya pada tempo yang akan datang untuk kemanusiaan, di mana tiada kekuasaan lagi yang menyempitkan kehidupan manusia, tiada lagi perang, tiada lagi keperluan untuk bermusuh-musuhan antara sesama manusia. Sebagai bangsa yang balik muda kita mencari tenaga kita sebagai bangsa di dalam cita-cita yang tinggi dan murni. Kita tidak percaya pada mungkin dan baiknya hidup yang didorong oleh kehausan pada kekuasaan semata-mata....”

Pidato Sjahrir ini dikutip almarhum budayawan YB Mangunwijaya dalam orasi ilmiah pada pembukaan Angkatan II Sekolah Ilmu Sosial di Bentara Budaya Jakarta, 5 Agustus 1998. Menurut Mangunwijaya, bagi rakyat Indonesia yang kala itu tengah bergulat melawan aneka kesulitan sebagai bangsa yang baru merdeka, tentu saja pidato semacam itu terasa jauh di awang-awang.

Rakyat tidak mudah mencerna pidato Sjahrir. Tidak semudah mencerna pidato Soekarno. Rakyat memiliki Soekarno yang dengan orasinya mampu menggelorakan semangat juang, dan Sjahrir yang menurut Mangunwijaya menghadapkan ke arah dunia internasional wajah Republik Indonesia yang suka damai, yang polos murni, yang tidak ingin licik, dan yang tidak ingin memakai sarana kekerasan dan kekuasaan untuk mencapai tujuan-tujuannya.

Kala itu, diplomasi gaya Sjahrir menjadi tidak populer di mata rakyat, tetapi menarik simpati dunia. Simpati itu membuahkan dorongan agar Belanda mengakhiri gerakan militernya dan akhirnya menyerahkan kedaulatan bekas wilayah jajahannya kepada Indonesia. Sjahrir dengan gemilang mampu mencecapi roh dunia yang kala itu telah lelah dengan peperangan.

Riwayat

Lahir 5 Maret 1909 di Padangpanjang, Sumatera Barat, dari keluarga jaksa, Sjahrir mendapat beasiswa untuk pendidikan Fakultas Hukum Universitas Leiden, Belanda.

Di Amsterdam, ia menjadi anggota Socialistische Studenten dan aktif dalam Perhimpunan Indonesia. Pada tahun 1931 ia kembali ke Indonesia dan mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia. Namun, aktivitasnya itu membuat pemerintah kolonial Belanda menangkap dan memenjarakannya Februari 1934.

Ia pernah dipenjarakan di Cipinang (Jakarta), Boven Digul (Papua), dan di Banda Neira (Maluku). Dalam suratnya tanggal 9 Mei 1936 ketika berada di Banda Neira, Sjahrir mempertanyakan solidaritas kemanusiaan. Adakah sudah perasaan bersatu dan setia kawan antarmanusia? Tidak, itu belum ada, seperti dulu pun tidak ada. Umat manusia masih saja terpecah-pecah dalam golongan-golongan. Ada pula pertentangan-pertentangan kekuasaan.

Ia menghunjam deras ke dalam panggilan kemanusiaan. Mangunwijaya melihat ciri itu sebagai yang membedakan antara Sjahrir, Hatta, dan Soekarno. Ia menulis, Soekarno adalah personifikasi dari ideal kesatuan dan persatuan serta kesadaran identitas bangsa Indonesia. Mohammad Hatta boleh dianggap sebagai personifikasi cita-cita Indonesia yang demokratis, baik dalam arti politik maupun ekonomi, antikapitalisme, dan pendekar kerakyatan yang berstruktur koperasi.

Dalam diri Sjahrir dapat ditemukan kepribadian cita-cita kemanusiaan, perikemanusiaan yang berbudaya, dan sikap yang sangat tinggi menghargai manusia Indonesia selaku pribadi-pribadi, tanpa lepas dari dimensi kesosialannya. Dalam perspektif Sjahrir, kemanusiaan menjadi cita-cita kemerdekaan.

Sjahrir menunjukkan kepada dunia internasional tentang ciri Indonesia yang cinta damai dan bukan bangsa yang licik lagi picik, di sisi lain ia juga menunjukkan kepada bangsa Indonesia ke mana arah kemerdekaan itu.

Sebagai nakhoda bagi Indonesia—Sjahrir pada usia 36 tahun menjadi perdana menteri pertama mulai dari 14 November 1945 hingga 20 Juni 1947— Sjahrir menempatkan arah perjuangannya semata-mata bukan pada dalil-dalil kekuasaan. Ia, menurut Mangunwijaya, bukan hanya memikirkan bangsa, negara, dan masyarakat, tetapi juga memikirkan kepentingan pemekaran manusia-manusia sebagai pribadi-pribadi yang menjadi warga negara itu.

Masa kini

Ketika menjadi perdana menteri dan harus bertanggung jawab membangun dukungan bagi perjuangan bangsanya, Sjahrir menyapa dengan lembut dan penuh damai atas dunia yang kala itu babak belur karena luka-luka dan kesakitan perang.

Namun, humanisme yang diperjuangkan Sjahrir seperti mengendur. Lihat Indonesia saat ini. Di negara yang sudah 63 tahun merdeka, sebagian besar rakyatnya hidup miskin dalam arti ekonomi dan sosial. Ada rasa iri, dengki yang menghinggapi antarkelompok. Di sisi lain, rakyat kerap ditinggalkan oleh para pemimpinnya dalam bentuk kebijakan yang justru makin menyengsarakan rakyat.

Gerakan demokrasi akhir- akhir ini juga mulai banyak digerogoti oleh kekuatan anarkis yang hanya haus kekuasaan, dan para politisi justru sibuk bagaimana mereka harus kembali menang dalam pemilu berikutnya. Dunia pendidikan cenderung menjadi sarana reproduksi kelas karena tidak setiap rakyat dengan mudah mengaksesnya. Aneka sekat imajiner justru makin menguat dibandingkan dengan realitas manusia dan kemanusiaannya.

Ujungnya, rakyat seolah sendirian dalam setiap bentuk kenestapaan ketika mereka digusur, digebuki, dikejar-kejar, dan bersusah payah bertahan dalam impitan kemiskinan. Lalu, di manakah sjahrir-sjahrir baru?

Sumber: Kompas, Senin, 30 Juni 2008

Sosok: Tahir, Sang "Pemburu"Kata-kata Bima

-- Khaerul Anwar

RUANGAN berukuran 4 meter x 6 meter di pojok depan halaman rumahnya itu dijadikan perpustakaan pribadi sekaligus ruang kerja. Dari ruangan itulah, H Muhammad Tahir Alwi membangun proses kreatifnya. Ketimbang selaku pensiunan pegawai negeri sipil, ia justru lebih dikenal sebagai penulis dan pemerhati budaya Bima (Mbojo—yang mendiami Kabupaten Bima dan Dompu).

Pria berusia 68 tahun itu tinggal di Kelurahan Rabangodu, Kota Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). ”Baru 2.000 judul buku yang saya koleksi di sini dan akan bertambah sepanjang ada uang untuk membeli buku,” ujar pria yang biasa dipanggil Tahir itu sambil terkekeh.

Buku-buku itu dibeli dari gaji pensiunnya sebagai karyawan Sekolah Perawat Kesehatan Bima, ada juga oleh-oleh dari anak dan rekannya. Sebagian buku lagi dibeli dari uang hasil menyewakan pakaian adat Bima dan rias pengantin yang dikelola istrinya, Hj Sri Nurhayati (50).

Tahir dikenal dengan karyanya seperti Kamus Bahasa Bima-Indonesia-Inggris dan Kamus Peribahasa Bima-Indonesia. Dia juga menerjemahkan cerita-cerita rakyat Bima, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Hasil proses kreatifnya itu dijual di pasaran lokal Kota Bima dan Mataram, ibu kota NTB.

”Kelemahan kita pada budaya tulis. Umumnya ungkapan dan cerita rakyat hanya didengar, beredar dari mulut ke mulut, namun nyaris tak ada inisiatif untuk mencatatnya. Padahal, cerita dan ungkapan itu bernilai filosofis, juga cermin suatu puak,” tutur Tahir.

Jika kondisi itu dibiarkan, lambat laun bahasa Bima akan kehilangan penutur meski bahasa Mbojo termasuk bahasa dari tujuh daerah yang penuturnya lebih dari satu juta orang.

Hilangnya sebuah bahasa berarti kerugian besar bagi kebudayaan. Hilangnya bahasa Tambora, misalnya. Kepunahan itu akibat letusan Gunung Tambora (1815) di Pulau Sumbawa yang dahsyat dan memusnahkan hampir semua warganya.

”Kita tidak tahu apakah struktur sosial masyarakat saat itu sama dengan etnis Mbojo saat ini karena kita tidak sempat merekamnya,” katanya.

Berdasarkan telusur pustaka, penduduk Tambora memiliki bahasa tutur berbeda dengan etnis Mbojo, Samawa (Sumbawa), tetapi mirip dengan kelompok bahasa Monk Khmer di Kamboja.

Penduduk Tambora saat itu menyebut tiga sebagai nih, sedangkan pengguna bahasa Mbojo mengatakan tolu. Angka lima, enam, dan tujuh oleh warga Tambora dikatakan kutelin, batam, dan kumba, etnis Mbojo mengatakan lima, ini, dan pidu. Warga Tambora menyebut onayut, honori, dan sangkome untuk gadis, bapak, dan hidung, sementara hal sama oleh etnis Mbojo dikatakan dou siwe, ama, dan ilu.

Tahir tak ingin budaya itu hilang, apalagi di tengah fenomena sosial dewasa ini, di mana bahasa Mbojo ”bersaing” dengan bahasa Indonesia. ”Anak-anak umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar karena lingkungan pergaulan menuntut demikian. Ataukah mungkin mereka (anak-anak) tidak diajarkan berbahasa Bima oleh orangtuanya,” ungkap Tahir.

Kalaupun orangtua mengajarkan, terkadang kosakata bahasa Bima itu ”salah tempat” bila dipraktikkan. Misalnya, ”saya naik sepeda”, yang dalam bahasa Mbojo terbiasa dikatakan oleh anak-anak sebagai nami ranente mu sapeda kepada kalangan yang lebih tua usianya. Kata nami mestinya diganti kata yang lebih pas: madadoho, meski juga berarti saya.

Tahir menunjuk perubahan sosial kini sangat jauh dari apa yang dicerminkan kalangan orang tua. ”Orangtua kami dulu sangat memegang kata-kata yang diucapkan. Kata-kata itu dibawanya sampai meninggal,” ucapnya menunjuk ungkapan nggahi rawi pahu (sejalannya kata dengan perbuatan).

Ia tak sepaham dengan argumentasi yang mengatakan, budaya seperti itu ”dekat” dengan feodalisme, nepotisme, dan kolusi. Katanya, dulu di Bima pun ada aturan hukum yang disebut Bandar Bima. Dalam aturan itu, pelanggaran hukum yang dilakukan kalangan bangsawan lebih tinggi sanksinya dibanding bila hal sama dilakukan rakyat biasa.

”Bila bangsawan dan rakyat biasa sama-sama terbukti mencuri ayam, kalangan bangsawan dihukum dua kali lebih berat dibanding rakyat biasa,” ungkap Tahir.

Namun, sekarang, kalangan pejabat dan kerabatnya yang terlibat kasus hukum justru diberi ”keringanan”. ”Lalu, siapa yang feodal, nepotis, dan kolutif? Kita sekarang ini ataukah orang tua kita dulu?” katanya.

Mendatangi kampung

Untuk mewujudkan niatnya itu, ia rajin mendatangi orang tua di kampung-kampung. Tahir memburu kata dan ungkapan yang jarang diucapkan banyak orang. Apalagi waktu itu dia menjadi ”orang lapangan” sebagai karyawan Dinas Pembasmian Malaria (kini Dinas Kesehatan) Bima.

Kegemarannya pada sastra kian membuka jalan bagi Tahir untuk mewujudkan obsesi. Tak jarang ia memperbaiki kata dan ungkapan yang sudah dihimpun sebab kata yang ditulis dalam catatan itu kurang tepat ejaannya. Ia pun telaten mengubah nomor urut kata-kata, disesuaikan urutan alfabetnya.

Meski perbendaharaan kata sudah terhimpun, dia belum bisa menyusun dan menerbitkannya menjadi kamus karena waktunya tersita untuk tugasnya sebagai pegawai negeri sipil.

”Saya mulai fokus menyusun kamus tahun 1996, setelah pensiun,” tuturnya menunjuk tiga bundel naskah asli berisi kata dan ungkapan bahasa Bima yang dia kumpulkan.

Tahir tak punya pengetahuan menyusun kamus. Ia hanya berpedoman pada pola penyusunan Kamus Inggris-Indonesia karya John M Echols dan Hassan Shadily. Hari-harinya kemudian diisi dengan mengoreksi dan menyusun kata dan ungkapan. Ketika bosan menyerang, ia mengalihkannya dengan menulis cerita pendek dan puisi.

Walhasil, tahun 2003, atas bantuan penerbit di Yogyakarta, Tahir menerbitkan Kamus Bahasa Bima-Indonesia-Inggris berisi 12.339 kata, termasuk 4.747 kata ungkapan. Sementara Kamus Peribahasa Bima- Indonesia diterbitkan pada tahun 2008.

Dari proses kreatifnya, lahir pula cerita pendek seperti La Paramau sebanyak tiga seri, yang dimuat bersambung pada koran lokal di Bima. Lewat tulisan, ia berharap khalayak, terutama generasi muda, bisa dan mau mengenal akar budaya sendiri.

Dunia sastra sebenarnya sudah akrab dengannya, sejak ia masih anak-anak. Tahir begitu terkesan dengan buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka. Ketika merantau ke Yogyakarta, dia rajin berkunjung ke perpustakaan untuk memenuhi rasa dahaganya atas bacaan sastra. Pengalaman itu, dalam bentuk berbeda, ingin dia tularkan kepada generasi muda.

Sumber: Kompas, Senin, 30 Juni 2008

Ikapi Akui Ada Kolusi

KETUA Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dharma Madjid mengakui ada kolusi antara penerbit dan pihak sekolah. Namun, menurutnya, kalau pun guru memperoleh komisi dari penerbit, keuntungan penerbitlah yang berkurang, bukan mengambil uang pemerintah.

Sebab, katanya, tak ada sekolah yang membeli buku pelajaran lebih dari harga Rp 22.000. Harga ini adalah harga buku yang diberikan pemerintah melalui program Bantuan Operasional Sekolah (BOS) ke sekolah-sekolah. "Jadi, yang ada sebenarnya persaingan antarpenerbit," ujarnya.

Setia mengemukakan, Ikapi telah menyampaikan pandangannya kepada Mendiknas soal perbukuan untuk sekolah. Dalam beberapa minggu ke depan, pihaknya dan Depdiknas akan melakukan penghitungan mengenai harga buku pelajaran yang akan dijual di sekolah. Ikapi memastikan, harga buku yang akan dijual di sekolah akan melebihi harga BSE.

"Dalam penerbitan buku ada sejumlah faktor yang diperhitungkan. Mulai dari editing, percetakan, distribusi, dan pembayaran penulis," katanya.

Buku memang salah satu komponen terpenting dalam pendidikan. Dengan buku maka proses belajar dan proses pencarian ilmu bisa berlangsung. Karena itu, biaya pembangunan pendidikan semestinya bisa juga dikonsentrasikan pada usaha penambahan ilmu.

Namun, membuat kebijakan populis bahwa buku adalah penyebab mahalnya biaya pendidikan adalah juga sikap pragmatisme. Hasil survei ICW tentang pungutan di sekolah jelas membuktikan bahwa biaya membangun pagar sekolah, study tour, dan lain sebagainya merupakan biaya langsung yang jauh di atas rata-rata.

Di satu sisi, dengan buku yang murah, setidaknya biaya mahal pendidikan yang diakibatkan oleh buku bisa sedikit teratasi. Namun, di sisi lainnya, masyarakat juga mengharapkan praktik pungutan liar di sekolah bisa dihapuskan. Inilah salah satu harapan masyarakat terhadap pemerintah. Kebijakan yang berpihak pada "wong cilik" seharusnya bisa selalu diterapkan. [W-12]

Sumber: Suara Pembaruan, Senin, 30 Juni 2008

Sunday, June 29, 2008

Esai: Sutardji Memberikan Contoh

-- Rikobidik*

MENEMPATKAN puisi sebagai status ontologis bahasa nampaknya sebuah eksplorasi mengenai hakikat bahasa yang cukup menjanjikan. Meski ciri-ciri puisi di sini janganlah seperti yang kita kenal yang konon melekat di semua tata permainan bahasa membuat bahasa gaul otomatis termasuk di dalamnya.

Kenapa tidak dikatakan saja bahwa bahasa gaul sebagai status ontologis bahasa? Memberikan nama memang terkadang merepotkan. Berbekal sisa ingatan materi kuliah filsafat bahasa (khususnya filsafat analitis—R), tulisan ini akan mencoba menganalisis konsep status ontologis bahasa sebagai puisi yang sepertinya sangat diperjuangkan A Boy-Mahromi.

Ketidakteraturan, permainan, dan bahasa sebagai mantra

Kata ”ketidakteraturan” yang menjadi salah satu ciri dari puisi barangkali digunakan A Boy-Mahromi dalam konteks arti kata sebagai ”kegunaan”. Kalau memang demikian, saya akan memahami kata ”ketidakteraturan” sebagai ketidaksamaan keadaan, kegiatan, atau proses yang terjadi beberapa kali.

Barangkali benar apa yang dikatakan A Boy-Mahromi bahwa bahasa dalam kehidupan berlaku sebagai ”ketidakteraturan”.Sebab, kehidupan yang menyangkut pemahaman terhadap manusia sulit sekali dimengerti dengan pola verifikasi positivistik. Kata ”permainan” yang menjadi salah satu ciri dari puisi sebagai ontologis bahasa barangkali digunakan A Boy-Mahromi dalam konteks arti kata sebagai ”kegunaan”.

Jika memang demikian, saya akan memahami kata ”permainan” sebagaimana pemahaman penafsiran saya menurut Wittgenstein II. Permainan bahasa yang dimaksudkan Wittgenstein II (1983) adalah setiap penggunaan bahasa dalam kehidupan manusia memiliki aturannya masing-masing. Meskipun aturan itu sulit ditentukan secara normatif dan sulit ditentukan batasbatasnya secara tepat, manusia memahami bagaimana menggunakan bahasa di setiap aspek kehidupan yang sangat beraneka ragam.

Mayoritas ahli bahasa di Pusat Bahasa kerap kali mengabaikan aspek ini,terutama dengan menerapkan istilah baku dan tidak baku yang menurut saya bertendensi melecehkan. Namun, penafsiran Yunit dan A Boy-Marhomi terhadap kata ”permainan” ternyata berbeda dengan tafsiran saya di atas.Dengan penafsiran yang saling berbeda seperti inilah barangkali Yunit menyandingkan kata ”hanyalah”pada ungkapan ”hanyalah permainan” pada artikelnya yang terbit di harian SINDO (11/ 05/08).

Dilekatkannya kata ”hanyalah” itu menyebabkan saya menafsirkan ”permainan”-nya Yunit kepada pengertian perbuatan yang dilakukan dengan tidak sungguhsungguh.

Status ontologis bahasa adalah penggunaannya

Dengan meniru sifat curiga Wittgenstein seraya mengambil keuntungan dari pernyataan Derrida,saya mengajak para pembaca untuk curiga, jangan-jangan pemahaman Yunit dan A Boy-Mahromi atas Heidegger mengenai kebenaran hakikat bahasa sesungguhnya terdapat dalam puisi pun bisa jadi mengalami ”perbedaan” dan ”penundaan”.

Mengingat pemahaman A Boy-Mahromi mengenai Wittgenstein, Heidegger, dan Sutardji pun tersampaikan melalui bahasa yang hanya bisa ditafsir tanpa harus terbirit-birit untuk memutlakkan diri paling tahu bukan? Saya mengajak para pembaca untuk kembali kepada yang diungkapkan Sutardji, yaitu ”kata-kata harus dibebaskan dari kungkungan pengertian, kembalikan kepada fungsi kata seperti dalam mantra”.

Dalam ungkapan Sutardji tersebut, saya akan mendekatinya sebagai berikut.Misalnya, kata-kata harus dibebaskan dari kungkungan pengertian. Sutardji tentu tidak bermaksud seadanya dengan ungkapan tersebut. Ungkapan tersebut sebaiknya ditafsirkan secara memadai, yaitu bahwa kata-kata yang beredar dalam kehidupan kita yang berwujud maksud (pengertian) harus ditafsirkan kegunaannya (dibebaskan dari kungkungan) terlebih dahulu.

Secara sederhana, dapat saya simpulkan bahwa Sutardji bermaksud supaya kita mampu menyibak maksud atau menafsirkan (dibebaskan dari kungkungan pengertian) suatu ungkapan bahasa. Tafsiran ini ditopang dari pengertian arti kata sebagai ”maksud” seperti yang diungkapkan Wittgenstein II (1983) bahwa ”maksud” adalah sesuatu yang seluruhnya tetap ada dalam bahasa dan bukan sesuatu yang dianggap terpisah dari bahasa.

Saya tambahkan lagi, jika arti yang dikandungnya sebagai maksud, penggunaannya tidak menggambarkan katakata dan arti itu sendiri. Sementara untuk memahami arti kata sebagai kegunaan, dilakukan dengan cara menerangkannya. Mudahnya, jika seseorang ingin memahami penggunaan kata ”mantra”, 0harus dicari penjelasan dari arti kata tersebut.

Sebab,arti sesuatu dari satu kasus menunjukkan pada pengertian arti kata dalam penggunaannya. Kata ”mantra”yang digunakan Sutardji dapat diurai menjadi perkataan yang memiliki kekuatan gaib. Kata ”gaib” berarti tidak kelihatan, tersembunyi, tidak nyata.Berhubung Sutardji berbicara dalam konteks kata (bahasa) dalam puisi seperti yang dinyatakan Yunit, dirinya bermaksud supaya kita jangan terlalu sibuk mengurusi bahasa dari sistem tanda dan struktur fisis seperti yang dilakukan kaum linguistik struktural.

Dengan memberikan contoh fungsi kata seperti dalam mantra, saya menafsirkan, dia berkehendak untuk menunjukkan bahwa walaupun dalam mantra tidak ditemui penggunaan aturan gramatikal yang ketat seperti yang diyakini kaum linguistik struktural, kata-kata itu tetap berfungsi, yaitu memiliki kekuatan yang tersembunyi dalam kata.

Yaitu,makna! Jika ditambah dengan tafsiran pada tidak ditemuinya aturan gramatikal yang ketat pada ”mantra”, dapatlah saya tafsirkan aturan gramatikal bahasa sebaiknya disesuaikan dengan penggunaannya. Artinya, ungkapan Sutardji ”kembalikan kepada fungsi kata seperti dalam mantra” adalah ikhtiarnya dalam memberikan contoh, meski secara tidak langsung,mengenai aspek ontologis bahasa yang berujung kepada penggunaannya.

Sebab, seperti kita ketahui, pada masa itu sulit sekali berbicara terangterangan menolak dominasi kaum linguistik struktural yang mayoritas berbasis di Pusat Bahasa. Status ontologis bahasa,menurut Wittgenstein II—yang kemudian secara tidak langsung dicontohkan Sutardji, adalah penggunaannya.Aspek ontologis bahasa ini secara tidak langsung berkorelasi dengan semangat nilai-nilai pluralitas yang mendobrak tatanan universalitas.(*)

* Rikobidik, Mahasiswa Bahasa dan Sastra Indonesia di Universitas Nasional, Jakarta.

Sumber: Seputar Indonesia, Minggu, 29 Juni 2008
Wacana: Regionalisme Sastra Indonesia
-- Sudarmoko*

PEMBICARAAN mengenai regionalisme sastra dapat ditemui secara implisit dalam sejumlah kritik sastra Indonesia. Nilai positif dari pembicaraan ini memberikan kemungkinan baru dalam melakukan kajian terhadap sastra Indonesia. Untuk beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, baik secara tematik maupun geografis, sebenarnya tema seperti ini menjadi lokus-lokus yang dapat dirangkai menjadi kajian yang komprehensif atau setidaknya sebagian besar peluang penelitian atau penulisan kritik sastra Indonesia dapat diidentifikasi.

Para sastrawan Indonesia telah melampaui batasan-batasan latar belakang budaya dan geografis. Mereka berkarya dalam sebuah ranah yang bernama Indonesia, baik dalam artian bahasa, pemikiran, maupun semangat penjelajahan sumber penciptaannya. Meski demikian, memang dapat ditemui sejumlah kesan dan ciri budaya yang melekat dan hingga saat ini dijadikan acuan dalam penulisan sejumlah leksikon sastra Indonesia.

Beberapa buku leksikon dan bibliografi memuat sejumlah sastrawan yang hidup dan berkarya di wilayah tertentu, seperti di Jabodetabek, Kalimantan, atau Sumatera Barat. Meski demikian, data base yang dimiliki masing-masing daerah belum selengkap yang diharapkan banyak pihak. Karya-karya yang pernah dihasilkan banyak yang belum didata. Persoalan yang juga menjadi kendala adalah bagaimana kita dapat mengakses informasi dan menemukan karya-karya yang pernah dihasilkan dalam perjalanan sastra Indonesia. Saya menduga banyak kritikus yang menyimpan karya-karya para penulis sastra, baik dari penelusuran di berbagai tempat, kiriman penerbit, maupun hadiah dari para penulisnya sendiri.

Selain itu juga masih ada sejumlah perpustakaan, koleksi, dan taman bacaan yang menyimpan karya-karya sastra. Hanya saja, sistem kataloginya masih sederhana, belum bisa diakses secara umum, kecuali beberapa perpustakaan yang sudah melakukan perbaikan dalam sistem katalogi ini. Seandainya hal ini dapat diperbaiki, tentu akan memberikan angin segar dalam kajian sastra Indonesia.

Regionalisasi dan pusat penelitian

Mungkin kita dapat melakukan perbandingan dengan Perpustakaan KITLV Leiden yang menjadi rujukan penting dalam kajian Indonesia, termasuk sastranya. Selain program penelitian, penerbitan, dan seminar, perpustakaan ini menyediakan layanan perpustakaan yang lebih dari cukup. Dengan demikian, ia menjadi salah satu lokus penting bagi peminat kajian sastra Indonesia. Nilai pentingnya tak hanya dinikmati para pengkaji, tetapi juga para pengelolanya.

Berkaitan dengan hal ini, kajian yang dilakukan para peneliti kita masih terbatas dalam pergerakannya, baik karena masalah finansial dalam melakukan penelitian maupun karena alasan lain. Mereka lebih banyak melakukan penelitian dalam lingkung akademis dan wilayahnya masing-masing. Dilihat dari obyek kajian, memang teks karya sastra dapat dilepaskan dari batasan-batasan geografis. Namun, dalam kebutuhan yang lebih dari itu, seperti kondisi sosiologis dan perkembangan budaya, diperlukan adanya keleluasaan dalam penjelajahan yang lebih luas dan makro.

Dari kondisi seperti inilah diperlukan semacam regionalisasi dalam melakukan kajian sastra Indonesia, dalam kerangka yang lebih luas untuk kajian sastra Indonesia. Para pengkaji sastra Indonesia dapat memfokuskan diri menggali kekayaan sastra Indonesia dalam sebuah lingkungan tertentu, dengan tidak melupakan konstelasi sastra Indonesia secara umum. Selain kajian, pendokumentasian karya sastra dan sumber-sumber referensi penting dalam sebuah wilayah juga menjadi agenda penting, terutama dalam berbagi informasi mengenai referensi apa saja yang tersedia dan bagaimana melengkapi kekurangan yang ada.

Rumah Puisi Taufiq Ismail

Taufiq Ismail berencana untuk membangun Rumah Puisi di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Dalam launching Rumah Puisi yang dilakukan berkaitan dengan acara 55 tahun Taufiq Ismail dalam sastra Indonesia, dugaan saya ada kaitan Rumah Puisi dengan program SBSB Horison, keberadaan majalah Horison, dan pilihan pembangunan ini yang berada di luar Jakarta serta penempatannya yang bukan di Padang sebagai pusat Sumatera Barat, tetapi di tempat yang relatif berada di tengah-tengah Sumatera Barat sehingga memberikan akses yang lebih bagi seluruh masyarakat di Sumatera Barat.

Di luar rencana dan inisiatif pilihan tempat, sebenarnya di Sumatera Barat ada beberapa lokasi yang sudah tersedia dan memadai untuk dijadikan kantong sastra ini. Sastrawan Indonesia tentu sudah mengenal INS Kayutanam yang pernah digunakan sebagai tempat Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997. Selain itu juga ada Genta Budaya dan Taman Budaya di Kota Padang atau Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi yang diobsesikan menjadi salah satu pusat intelektual di Sumatera Barat.

Sampai saat ini saya hanya membayangkan apakah nanti Rumah Puisi ini akan menjadi sebuah tempat yang hidup dengan berbagai aktivitas dan program sastra dan intelektualnya, tempat sastrawan tinggal beberapa bulan dan menulis karya, melakukan dialog dan seminar, tempat sastrawan dan peneliti sastra membaca buku-buku koleksi Taufiq Ismail yang akan dipindahkan ke sana, tempat kunjungan para guru dan siswa, sastrawan dan artis yang meramaikan SBSB akan datang dan menulis atau berlatih kesenian, para sastrawan mempertunjukkan karya, dan sebagainya.

Jika dulu STA menghibahkan uang asuransi kecelakaan pesawatnya untuk membangun Toyabungkah, maka sekarang Taufiq Ismail menghibahkan uang dari Habibie Award untuk Rumah Puisi ini. Apakah dari rencana ini kemudian juga akan membawa resonansi lain dalam kajian sastra Indonesia, dengan mengalihkan pandangan ke berbagai daerah lain, mendalami fenomena sastra di daerah, mengapresiasi kehidupan sastra di daerah, dan menjadikan daerah sebagai basis dalam kajian yang akan dilakukan. Regionalisasi sastra Indonesia, karena itu, menjadi sebuah wacana yang perlu diperhatikan.

* Sudarmoko, Peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang

Sumber: Kompas, Minggu, 29 Juni 2008

Saturday, June 28, 2008

Sutardji Calzoum Bachri: Apresiasi dari Riau

ULANG tahun ke-67 Sutardji Calzoum Bachri, Selasa (24/6) malam, diperingati di Pekanbaru, Riau. Dia mendapat apresiasi dan kejutan dari rekan-rekan di Dewan Kesenian Riau berupa penerbitan kumpulan puisi Atau Ngit Cari Agar dan buku ...Dan, Menghidu Pucuk Mawar Hujan yang berisi kumpulan tulisan mengupas perjalanan sastranya.

Kata Sutardji, Atau Ngit Cari Agar adalah kumpulan puisi yang dia buat dalam kurun 1970-an hingga 2000-an. Puisi-puisi itu tak ada dalam buku kumpulan puisinya, Amuk (1977) dan Amuk Kapak (1981).

Kejutan tak terduganya ialah ia menerima uang Rp 100 juta dari seorang pencinta seni Riau yang tak disebutkan namanya. Namun, wajah lelaki kelahiran Rengat, Indragiri Hulu, Riau, 24 Juni 1941 itu tampak biasa. Katanya, sehebat-hebat karya sastra yang dihasilkan seniman tak berarti jika tidak mendapat apresiasi masyarakat.

”Saya termasuk beruntung karena mendapat apresiasi,” katanya.

Eddy Akhmad RM, Ketua Dewan Kesenian Riau, mengatakan, menabalkan Juni sebagai bulan Sutardji tak bermaksud mengultuskan Sutardji. ”Ini pengakuan seniman Riau terhadap kemampuannya menjadi rajawali di langit, menjadi paus di laut yang bergelombang, menjadi kucing yang mencabik-cabik dalam dunia sastra Indonesia yang sempat membeku dan membisu setelah Chairil Anwar pergi,” ujarnya. (SAH)

Sumber: Kompas, Sabtu, 28 Juni 2008

Djenar Mahesa Ayu: Novel dan Biografi

INDUK ayam kehilangan anak-anaknya. Begitulah yang dirasakan novelis Djenar Mahesa Ayu (35) ketika melepas kedua anaknya berlibur ke Bali, 11-18 Juni. Namun, dia telanjur bersepakat dengan mantan suaminya untuk tidak menghubungi anak-anak selama mereka berlibur, kecuali dalam keadaan darurat.

Djenar pun lalu menghabiskan sebagian waktunya di depan komputer. Tetapi, godaan untuk menghubungi anak-anak guna sekadar menyapa, ”Apa kabar”, tak surut.

Kalau rasa rindu itu belum juga hilang, Djenar memilih menghibur diri dengan bertemu teman-teman dekatnya.

”Di sini aku biasanya bisa menemukan hal baru. Kan harus ada keseimbangan antara kerja dan bersenang-senang,” tuturnya.

Selepas itu, Djenar bisa kembali duduk nyaman di depan komputer. Selain menyiapkan novel, dia juga sedang sibuk menyiapkan biografi band Slank bersama dua penulis lain. Buku biografi itu dibuat untuk merayakan ulang tahun Slank yang ke-25.

”Bulan Agustus nanti aku harus mulai menulis karena bulan November (buku itu) harus selesai,” kata Djenar tentang biografi yang dia kebagian menulis tentang seks, narkoba, dan rock 'n roll grup Slank itu. (WIN)

Sumber: Kompas, Sabtu, 28 Juni 2008

Opini: Kesalehan Lingual

-- P Ari Subagyo*

TIDAK ada realitas di luar bahasa. Karena itu, semua peristiwa kekerasan—termasuk ”Tragedi Monas” 1 Juni 2008—pasti melibatkan bahasa.

Bermula dari hasutan kata-kata, lalu terbakarlah amarah massa. Nalar menjadi pudar, budi tersungkur mati. Yang tinggal hanya gelegak emosi. Setiap kali kekerasan terjadi, setiap kali pula terbukti, kata-kata lebih tajam daripada pedang. Words are mightier than swords.

Sebagai buah evolusi fisiologis dan peradaban manusia, bahasa menjadi pembeda manusia dari satwa. Dengan bahasa, manusia mewujudkan kemanusiaannya. Tak heran Sudaryanto (Menguak Fungsi Hakiki Bahasa, 1990) menyimpulkan, fungsi hakiki bahasa adalah pengembang akal budi dan pemelihara kerja sama. Simpulan itu merupakan hasil perasan kritis-reflektif berbagai ide tentang fungsi bahasa dari Bühler, Révész, Jakobson, Sapir, Pei, Leech, Hymes, Malinowsky, Ogden & Richards, Halliday, hingga Wood.

Masalahnya, mengapa bahasa terus menjadi pemicu kekerasan? Mengapa bahasa justru mencederai kemanusiaan yang dilekati, diabdi, dan menjadi alasan meng-ada-nya?

Kekerasan verbal

Menurut Bourdieu (Language and Symbolic Power, 1992), bahasa menjadi sarana perwujudan kuasa simbolik (symbolic power). Bahasa lalu memungkinkan terjadinya kekerasan verbal (verbal violence) melalui kata-kata yang merendahkan, mengancam, atau menyudutkan. Pihak lain tercitrakan sebagai ancaman atau sosok menjijikkan yang wajib dibinasakan. Kekerasan verbal lalu memicu kekerasan fisik (physical violence) dan anarkisme.

Namun, kekerasan verbal tak melulu akibat manifestasi kuasa simbolik. Secara natural atau kultural, sejumlah kata berasosiasi dengan kekerasan. Kata-kata seperti membunuh, menyerbu, menyerang, menendang, dan menghantam dalam dirinya telah bermakna kekerasan.

Begitu pun lembaga dan jabatan semacam front, laskar, milisi, komando, komandan, dan panglima berasosiasi dengan kekerasan sebab menghadirkan nuansa perang. Maka, nama ormas yang berasosiasi dengan kekerasan atau berpotensi menimbulkan kekerasan seyogianya ditinjau ulang. Apalagi ormas-ormas semacam itu—apa pun motif pembentukannya—telah menjadi kelompok bersenjata yang tak segan mengambil alih fungsi aparat keamanan dan penegak hukum.

Kekerasan verbal sebenarnya hadir amat lembut dalam pronomina aku-kamu dan kita-mereka yang ada nyaris di semua bahasa. Pronomina itu diam-diam membentuk paradigma ”aku-kamu” dan ”kita-mereka” yang asimetris. Bahasa memang dapat membangun solidaritas sekaligus permusuhan, seperti kata Jay (The Psychology of Language, 2003), ”Language brings us together, and it separates us from others. Language establishes who we and who we are not”.

Paradigma ”aku-kamu” dan ”kita-mereka” gamblang terpampang terutama dalam nama-nama ormas atau tim ad hoc yang beridentitas agama. Paradigma itu tak tersadari telah menjadi kerangka berpikir dalam memandang sesama: si A bagian kita, sedangkan si B bagian mereka!

Harap maklum, nama agama dan segala kata yang bersangkutan dengan agama begitu gampang menyulut sentimen pengikutnya. Sentimen itu tentu melulu bermuatan emosi, bukan nalar dan kearifan.

Pengawafungsian

Tidak selamanya bahasa berfungsi mulia. Sesekali bahasa justru sengaja untuk mengerdilkan akal budi dan memecah kerja sama. Saat kebencian dan kemarahan tidak tertahan, kata-kata menjadi sarana pelampiasan. Jelas itu bukan fungsi bahasa yang diharapkan karena fungsinya telah diselewengkan, bahkan digerogoti atau dienyahkan. Penggerogotan atau pengenyahan fungsi hakiki itulah yang disebut ”pengawafungsian” bahasa (Sudaryanto, 1990).

Padahal, begitu pengawafungsian bahasa terjadi, saat itu juga kebudayaan gagal dikreasi. Roda peradaban terhenti. Bahkan, kebudayaan yang sudah ada dapat dihancur-musnahkan. Rumah, gedung, kemitraan, dan mutiara peradaban, yang dibangun bertahun-tahun, dalam sekejap binasa akibat pengawafungsian bahasa.

Lagi-lagi, kata dan idiom yang membawa identitas agama harus disebut karena begitu rentan diawafungsikan. Tak hanya karena sarat paradigma ”aku-kamu” dan ”kita-mereka”, tetapi kata-kata berbau agama juga akrab dengan penalaran totem pro pars. Menyebut keseluruhan, tetapi sebenarnya hanya mewakili sebagian. Praktik pengatas-namaan agama dengan berbagai dalih pun marak, lengkap dengan sesat pikirnya. Padahal, tidak ada realitas tunggal, termasuk dalam agama dan keyakinan.

Menyangkut Jakarta, menarik ditengok kesaksian Lubis (2008) dalam Jakarta 1950-an. Sebagai pusat pemerintahan, pusat perekonomian, dan ajang pertarungan aneka kepentingan, Jakarta sejak awal republik telah diriuhkan berbagai laskar rakyat, yang disebut Lubis ”the militia of Jakarta”. Siapa pun dapat mendirikan laskar asal memiliki keberanian dan karisma seorang warlord. Anggota direkrut begitu saja dari masyarakat. Untuk membangkitkan sentimen, digunakan atribut khususnya agama dan kedaerahan. Mereka tidak segan merampok, memerkosa, mengancam, dan meresahkan warga yang tergolong ”bukan kita”. Jadi, Jakarta memang lahan subur pengawafungsian bahasa.

Kesalehan lingual

Bangsa ini perlu mengupayakan kesalehan lingual, yakni kearifan berbahasa agar memendam kata-kata yang menebar permusuhan dan memicu kekerasan. Chapman (dalam The Five Love Languages: How to Express Heartfelt Commitment to Your Mate) menawarkan lima ”bahasa kasih”, salah satunya words of affirmation (kata-kata penguatan) guna memampukan pasangan membangun kepercayaan dan citra diri.

Tawaran Chapman memang untuk relasi interpersonal suami-istri. Situasinya jauh lebih sederhana dibandingkan dengan ”rumah tangga” Indonesia yang rumit penuh silang-sengketa kepentingan. Tawaran itu dapat dijadikan inspirasi mengelola lidah dan kata-kata demi menghasilkan bahasa kasih. Apalagi genderang ”perang” kampanye Pemilu 2009 segera berdentang. Repotnya, lidah dan kata-kata digerakkan pikiran, perasaan, keinginan, juga kepentingan. Kesalehan lingual memang menuntut kerelaan dan kedewasaan kita sebagai bangsa.

* P Ari Subagyo, Penggulat Linguistik di Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta

Sumber: Kompas, Sabtu, 28 Juni 2008

Penghargaan: Tugas Cendekiawan Mencari Kebenaran

Jakarta, Kompas - Dalam perkembangan reformasi menuju negara demokrasi, di Indonesia muncul kecenderungan adanya kesimpangsiuran tujuan dari kalangan ilmuwan, politisi, dan pengusaha.

Pemimpin Umum Harian Kompas Jakob Oetama bersama para penerima penghargaan cendekiawan berdedikasi di Jakarta, Jumat (27/6). Penghargaaan diberikan kepada Sajogyo, Satjipto Rahardjo, MT Zen, Soetandyo Wignyosoebroto, dan Thee Kian Wie (kiri ke kanan). (KOMPAS/YUNIADHI AGUNG)

Tugas utama cendekiawan yang seharusnya adalah mencari kebenaran (search for truth) telah bercampur aduk dengan tujuan politisi, yaitu mencari kekuasaan (search for power).

Kecenderungan tersebut diungkapkan cendekiawan Thee Kian Wie saat memberikan kesan dan pesan di tengah acara penyampaian Penghargaan Kompas untuk Cendekiawan Berdedikasi yang berlangsung di Yan Palace Hotel Santika, Jakarta, Jumat (27/6).

Dalam rangka ulang tahunnya yang ke-43, Kompas memberikan apresiasi melalui penghargaan tersebut untuk pertama kalinya kepada lima cendekiawan yang dinilai memiliki komitmen tinggi dan memiliki asketisisme intelektual. Para penerima penghargaan tersebut adalah Prof Dr MT Zen, Prof Dr Sayogyo, Prof Dr Soetandyo Wignyosoebroto, Prof Dr Satjipto Rahardjo, dan Dr Thee Kian Wie.

Penghargaan diserahkan langsung oleh Pemimpin Umum Kompas Jakob Oetama. Dari jajaran redaksi Kompas hadir Pemimpin Redaksi Bambang Sukartiono dan Redaktur Pelaksana Budiman Tanuredjo bersama unsur pimpinan redaksi lainnya.

Thee Kian Wie dalam pesannya mengingatkan, ”Sekarang ini ada kesimpangsiuran. Ilmuwan yang merupakan cendekiawan tujuan utamanya adalah mencari kebenaran. Politisi tujuan utamanya adalah mencari kekuasaan dan pengusaha adalah mencari keuntungan. Kalau peranannya ini dikaburkan dan diputarbalikkan, bisa berbahaya sekali (bagi bangsa).” Ia menunjukkan indikasi banyaknya penguasa yang masih menggunakan gelar profesor.

Ia mencontohkan keputusan Pemerintah Amerika Serikat pada tahun 1960-an untuk melibatkan diri pada Perang Vietnam tanpa mendengarkan suara ilmuwan. Kebijakan Perang Vietnam tersebut kemudian memakan korban jiwa hingga 50.000-an pemuda Amerika dan tiga jutaan orang Vietnam tanpa ada perlunya. ”Search for truth dan search for power itu adalah dua tujuan yang pada dasarnya tidak compatible (cocok),” katanya.

Sementara itu, Sayogyo menegaskan bahwa masa depan bangsa ini sekarang berada di tangan generasi muda. Sejalan dengan itu, ia telah menyiapkan Sayogyo Center yang dimaksudkan sebagai tempat generasi muda menggodok pemikiran untuk kemajuan bangsa Indonesia.

Kelima cendekiawan yang selama ini aktif menuangkan pemikiran intelektualnya untuk membangun demokrasi tersebut mengharapkan tugas kecendekiawanan mereka dapat diteruskan oleh generasi muda dan mereka pun berharap tetap bisa mengawal ide tersebut bersama Kompas.

Bagi Satjipto Rahardjo, ”Cendekiawan adalah orang yang berpikir dengan tangannya sehingga menulis adalah pekerjaan cendekiawan.” Satjipto yang aktif menulis di bidang hukum dan kemasyarakatan mengharapkan Kompas tetap bisa menjalankan tugasnya mencerahkan bangsa.

Sementara MT Zen dengan singkat menyebutkan, kompas adalah alat penunjuk arah utara, dan di sana ada pepatah, ”The King goes north....”

Asketisisme kekuasaan

Dalam sambutannya, Jakob Oetama menekankan pentingnya asketisisme dalam berbagai bidang kehidupan. Untuk menggarisbawahi hal itulah, Kompas memberikan penghargaan kepada lima cendekiawan yang memiliki komitmen tinggi tersebut.

Selanjutnya, Jakob menyatakan, ”Tak ada yang meragukan komitmen kaum cendekiawan. Istilah almarhum Sartono Kartodirdjo. Komitmen yang menjadi kebajikan dan sikap hidup yang beliau rumuskan sebagai asketisisme intelektual. Ini luar biasa karena bapak-bapaklah yang turut membangun dan mengembangkan tradisi ini.”

Asketisisme, tambah Jakob, adalah kunci untuk kemajuan bangsa ini. ”Intelektual asketik mengembangkan dan mengontribusikan keahliannya dan (sekarang) terlebih lagi semakin diperlukan asketisisme kekuasaan,” ujarnya.

”Ini masih langka dan harus ada yang merintis,” katanya. Ia menyebut tokoh Mahatma Gandhi, Jawaharlal Nehru (PM India), dan Manmohan Singh (PM India) sebagai tokoh yang asketis.

Indonesia, lanjut Jakob, sebenarnya telah memiliki Bung Hatta, tokoh Masyumi Moh Natsir, serta sosok IJ Kasimo. ”Ada beberapa, tetapi tidak menjadi warisan,” kata Jakob.

Jika kondisi seperti ini berlanjut, maka dalam perjalanan menuju demokrasi ini, akan berlanjut situasi saat ini yang memberi kesan tak pasti, tak menentu, serta tak menggerakkan kebersamaan dan kemauan untuk bangkit bersama.

Karena itu, lanjutnya, komitmen, pencerahan, dan kontribusi para cendekiawan itu melalui berbagai bidang tetap diperlukan. Jakob menyatakan syukur, harian ini dapat turut memperkenalkan kontribusi sosok panutan tersebut kepada masyarakat, yang memang sangat membutuhkan teladan dari para pemimpin di segala bidang. (isw)

Sumber: Kompas, Sabtu, 28 Juni 2008

Bahasa Sunda di Tapal Batas

Kalaupun masih tersisa perbedaan, hanya terletak pada dialek (cara pengucapan bahasa tersebut). Contohnya, penutur bahasa Sunda asal Amerika tentu akan berbeda dengan penutur bahasa Sunda asal Kuningan. Ada "lentong" yang membedakan di antara keduanya.

BAHASA Sunda sebagai bagian dari budaya suatu masyarakat tidak dapat mengelak dari batasan-batasan wilayah administratif. Di sisi lain, pertumbuhan dan perkembangan bahasa Sunda juga sangat ditentukan oleh kebijakan pusat (dalam hal ini pemerintah provinsi) dan daerah (pemerintah daerah). Akibatnya, keberadaan bahasa Sunda di suatu wilayah tertentu yang berbeda secara administrasi politik nyaris mati atau justru "dimatikan".

Persoalan-persoalan bahasa Sunda di tapal batas administrasi politik ini menjadi topik yang dibicarakan Paguyuban Panglawungan Sastra Sunda (PPSS) pada saat mengadakan "Saba Sastra" dan menggelar "Gundem Catur Sastra jeung Pangajaran Sunda" di Kab. Kuningan. Kegiatan yang merupakan hasil kerja bersama antara PPSS, Balai Pengembangan Bahasa Daerah (BPBD) Jawa Barat, Pemkab Kuningan, Dinas Pendidikan Kuningan, Dinas Pariwisata Kuningan, Tim Penggerak PKK Kuningan, PWI Cabang Kuningan, Daya Mahasiswa Sunda (Damas) Kuningan, dan Koran Sunda "Midang" ini diikuti berbagai unsur seperti guru, seniman, budayawan, pemerhati pendidikan, mahasiswa, dan pelajar.

Hadir sebagai keynote speaker pada pertemuan tersebut Ketua PPSS, Etti R.S., M.Hum., dan empat pembicara lain, yakni Dadan Sutisna (pengarang/pengasuh website), Safrina Noor (Dosen UPI Bandung), Asep Ruhimat (guru/pengarang), dan Holisoh M.E. (guru/pengarang) dipandu Dian Hendraya (pengarang/presenter TV).

Dari hasil pertemuan itu terungkap bahasa Sunda yang berada di wilayah-wilayah perbatasan atau berada di suatu wilayah yang berbeda secara administrasi politik sering kali pada akhirnya menjadi bahasa minoritas. Parahnya, indikasi tersebut didukung pola kebijakan Pemrov Jabar dalam hal ini Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Jabar yang mengadakan kegiatan "Workshop Sastra" setiap tahun di setiap wilayah.

Dalam workshop tersebut, pemerintah mengotak-ngotakkan bahasa Sunda sesuai kedudukannya per wilayah administratif. Pada tahun 2006 "Workshop Sastra Sunda" diselenggarakan di Wilayah Priangan (Tasik), 2007 di Wilayah Purwakarta (Subang), dan 2008 di Wilayah Bogor (Cianjur).

Bila pemerintah kembali mengadakan kegiatan tersebut untuk wilayah Cirebon, kemungkinan besar Kab. Kuningan akan masuk menjadi bagian dari wilayah Cirebon. Dari segi kewilayahan, Kuningan merupakan bagian dari kota-kota kecil yang berada di wilayah Pantai Utara (Pantura) dan berdekatan dengan Cirebon. Walaupun secara bahasa dan budaya, Kuningan berbeda dengan Cirebon.

Pada kondisi ini, keberadaan bahasa Sunda di Kuningan sangat mungkin menjadi bahasa minoritas. Pola pendidikan kebahasaan yang digunakan harus mengikuti kebijakan kebahasaan wilayah tersebut, seperti juga yang terjadi di daerah Brebes dan Majenang. Kebaradaan bahasa Sunda pada akhirnya menjadi bahasa minoritas.

Padahal secara budaya, masyarakat Brebes dan masyarakat Majenang adalah pemakai bahasa Sunda. Namun secara administratif, wilayah itu berada di daerah Jawa. Masyarakat Brebes dan Majenang akhirnya menggunakan bahasa daerah Jawa Brebes dan Majenang.

Kekhawatiran Etti ini lebih gamblang terkuak manakala Ketua Musyawarah Guru Mata Pelajaran (MGMP) Bahasa Sunda Kuningan, Yayat Ruhiyatun, membeberkan tentang sulitnya mendapatkan buku bahan ajar maupun buku pendukung bahan ajar. Guru hanya mengandalkan Lembar Kerja Siswa (LKS) yang dibuat guru sendiri yang tergabung dalam MGMP.

Selain tidak banyak penerbit yang masuk ke daerah ini, toko buku yang tersedia pun hanya tiga tempat, sedangkan perpustakaan daerah baru sedang (akan) dibangun. Sementara dana bantuan operasional (BOS) yang diberikan pemerintah pusat untuk pengadaan buku-buku gratis di sekolah, terbatas untuk buku-buku mata pelajaran ujian nasional (UN). Alhasil, pendidikan dan pengajaran bahasa Sunda sangat terbatas.

Lebih parah lagi, ketersediaan guru bahasa Sunda yang berlatar pendidikan bahasa Sunda pun sangat sedikit. Akibatnya, berdampak pada sistem pengajaran yang diberikan. Sementara di sisi lain, dalam tataran pendidikan nasional maupun global, guru sudah bersentuhan dengan kemajuan teknologi informasi sehingga guru yang kreatif merupakan kebutuhan yang sangat mutlak.

Dari beberapa pertanyaan yang disampaikan peserta tergambar bahwa guru mengalami kesulitan pada saat harus menyampaikan pendidikan dan pengajaran bahasa Sunda. Beberapa di antaranya adalah apa dan bagaimana cara mengemas pendidikan bahasa Sunda yang selaras dengan kebutuhan global.

**

KETERBATASAN bahasa Sunda di daerah tapal batas seperti itu seharusnya memang tidak perlu terjadi. Keberadaan suatu bahasa dan masyarakat pengguna bahasa tersebut seharusnya memang tidak perlu dibatasi secara wilayah administratif. Apalagi, dengan terus bergulirnya kemajuan internet ke setiap lini kehidupan di mana pun sudah memupus kepentingan persoalan batasan wilayah tersebut.

Dadan Sutisna memaparkan, perkembangan dan kemajuan suatu bahasa tidak diukur batasan-batasan wilayah administratif di mana bahasa tersebut berada. Perkembangan dan kemajuan bahasa sangat ditentukan kebiasaan budaya baca tulis masyarakat pemakai bahasa tersebut. Semakin banyak masyarakat tersebut membaca dan menulis karya-karya yang dibuat para pengarang dalam bahasa tersebut, bahasa itu pun akan tumbuh dan berkembang dengan baik.

Sebaliknya, semakin rendah tingkat budaya baca dan tulis masyarakat, tunggulah kepunahan bahasa tersebut. Meski demikian, kebiasaan baca tulis masyarakat tersebut secara langsung ataupun tidak akan sangat bergantung kepada bahan bacaan yang tersedia. Namun sayangnya, di sebagian besar daerah apalagi daerah perbatasan, ketersediaan buku dan sumber-sumber bacaan Sunda sangat terbatas.

Lebih parahnya lagi, masyarakat yang sudah melek media juga sangat terbatas. Sumber-sumber bahan ajar masih dipandang harus berasal dari buku. Kalaupun sarana multimedia seperti internet sudah masuk sekolah, terkendala kemampuan guru dalam menguasai teknologi perangkat tersebut.

Saat ini saja, menurut Dadan, terdapat enam website kesundaan, yakni daluang.com, cupumanik.com, galuh-purba.com, ppss.or.id, sunda.web.id., dan urang-sunda.net. Semua website berisi berbagai informasi berkenaan dengan bahasa, sastra, dan budaya Sunda, serta dikelola oleh orang-orang yang mumpuni di bidang bahasa dan sastra Sunda.

Cuma persoalannya, keterampilan guru di bidang teknologi informasi masih sangat terbatas. Selain itu, daya beli masyarakat (daerah) selaku pengguna ruang maya pun berbeda jauh dengan masyarakat perkotaan. Mereka cenderung lebih mengandalkan buku yang diberikan pemerintah pusat.

Pada kondisi seperti ini, guru dapat menghidupkan dan menambah variasi bahan ajar maupun pendukung bahan ajar, tidak harus terpaku pada buku, tetapi dapat menggunakan majalah dan media dalam bentuk cetak ataupun maya (internet) yang tersedia di sekolah sehingga pendidikan dan pengajaran bahasa Sunda tidak harus terkendala persoalan wilayah administratif.

Pada tataran yang lebih global, Safrina Noorman mendedahkan bahwa perkembangan suatu bahasa nantinya akan mengarah pada bahasa hibrida, di mana setiap bahasa akan saling memengaruhi satu sama lain sehingga identitas itu sudah tidak ada. Persoalan batasan wilayah administratif pun ambruk dan tidak ada lagi bahasa minoritas atau "diminoritaskan".

Kalaupun masih tersisa perbedaan, hanya terletak pada dialek (cara pengucapan bahasa tersebut). Contohnya, penutur bahasa Sunda asal Amerika tentu akan berbeda dengan penutur bahasa Sunda asal Kuningan. Ada "lentong" yang membedakan di antara keduanya.

Bahasa hibrida seperti ini, menurut Safrina, tidak perlu dikhawatirkan karena sesuai sifatnya, bahasa selalu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Begitu juga dari sisi perubahan mental dan moral pemakai bahasa tersebut, Safrina merasa tidak perlu mencemaskannya. Meskipun sifat bahasa selalu berubah dan beradaptasi dengan perubahan tersebut, nilai-nilai budaya masyarakat yang terkandung dalam bahasa tersebut tidak akan pupus.

Kini, persoalannya adalah bagaimana pemerintah selaku pemegang regulasi pendidikan dan masyarakat yang peduli dengan keberadaan bahasa Sunda di perbatasan memberi wawasan kepada masyarakat terutama kalangan terdidik dalam memahami keberadaan bahasa Sunda di daerah tersebut agar lebih tercerahkan.

PPSS selaku komunitas yang notabene hanya mengandalkan semangat dan urunan "receh" dari para simpatisannya sudah memulai pencerahan itu. Bagaimana dengan pemerintah dan unsur terkait lainnya? (Eriyanti/"PR")

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 28 Juni 2008

Esai: Siluman dalam Sastra Sunda

-- Atep Kurnia*

DALAM cerita-cerita Ambri, gambaran siluman masih sebatas yang tampak dari realitas kehidupan orang-orang lembur. Dan pada cerita-cerita siluman Ki Umbara, walau sudah dikaitkan dengan agama Islam, gambaran siluman masih terasa samar, karena masih terkesan bertarik ulur dengan kepercayaan tradisional.

Siluman ternyata bukan saja milik orang Timur, seperti yang dituduhkan orang Barat. Dalam kesusastraan Inggris, misalnya, Shakespeare menyodorkan tokoh siluman gentayangan ayah Hamlet untuk memberi tahu siapa yang telah membunuhnya. Atau dalam kesusastraan Jerman, Goethe memberi jawaban mengapa Faust bisa menguasai berbagai ilmu yang sangat dahsyat, karena Faust telah menggadaikan jiwanya kepada sang Memphistopeles.

Memang. Cerita seputar siluman juga sama-sama telah mentradisi dalam kehidupan budaya orang Barat. Apalagi di akhir abad ke-18 cerita-cerita siluman itu mewujud suatu genre sastra, yaitu gotik. Istilah gotik mulanya menggambarkan bangunan-bangunan di Eropa pada abad ke-18. Cerita-cerita gotik yang penuh horor itu pun umumnya berlatarkan bangunan-bangunan gotik yang serbabesar, kokoh, tetapi penuh dengan kesunyian dan kengerian. Drakula, siluman yang suka mengisap darah manusia karya Bram Stoker, misalnya tinggal di suatu kastil yang sangat besar dan kokoh namun juga penuh kengerian.

Akan tetapi, bagaimana dengan cerita siluman dalam khazanah budaya orang Sunda? Umumnya orang Sunda, dari dahulu hingga sekarang, memercayai adanya makhluk-makhluk gaib yang mendiami alam gaib. Dengan demikian, tidak aneh bila dari dahulu orang Sunda sangat mengenal cerita-cerita siluman.

Dari dulu misalnya kita diingatkan kepada cerita Sangkuriang yang ngotot mau menikahi ibunya sendiri, Dayang Sumbi. Untuk memenuhi permintaan Dayang Sumbi membendung Sungai Citarum dan membuat perahu untuk melayarinya, Sangkuriang dibantu sepasukan siluman taklukannya. Atau dari daerah Priangan Timur kita mengenal cerita "Onom" yang konon menguasai Rawa Lakbok. Demikianlah yang terbaca dari buku susunan R.A. Danadibrata, Onom jeung Rawa Lakbok (1979).

Moh. Ambri

Dalam jagat sastra Sunda modern, Moh. Ambri (1892-1936) adalah sastrawan yang mulai menulis novel siluman. Beberapa karyanya dapat disebutkan di antaranya Burak Siluman (1932), Ngawadalkeun Nyawa (1933), dan Munjung (1933), dan satu lagi dia timba dari kebudayaan India, Pusaka Ratu Teluh (1932).

Melalui Munjung dan Burak Siluman, misalnya, dengan jelas Ambri menggambarkan kepercayaan orang Sunda terhadap adanya makhluk-makhluk gaib. Munjung menceritakan kepercayaan orang Sunda akan cara-cara menjadi kaya dengan memuja siluman.

Jalan-jalan menjadi seperti ini, antara lain memuja siluman monyet (nyupang), siluman ular (ngipri), siluman babi hutan (nyegik), memuja tuyul (kecit), dll. Yang menarik, cerita Munjung dituturkan melalui percakapan orang-orang kampung yang sedang meronda di gardu.

Penggambaran realistis ini, diulanginya dalam Burak Siluman. Kisahnya dituturkan orang yang bertamu kepada kawannya untuk meminta benih jagung. Dalam percakapan itulah cerita tentang siluman itu dituturkan.

Kisahnya mengenai Nyi Asmanah yang kagembang oleh Arjuna dalam wayang golek. Padahal Arjuna tersebut adalah "burak siluman". Ia pun tergoda lalu tersesat ke alam siluman, hingga mempunyai anak. Ketika ia rindu kepada orang tuanya, ia pun kembali. Namun malang, fajar sudah menjelang. Dengan demikian, ia tak dapat kembali baik ke alam manusia maupun ke alam siluman.

Tentang asal-usul mengapa Ambri mengarang cerita siluman, saya membaca "Surat-surat Moh. Ambri" yang dimuat dalam Pancakaki: Kumpulan Esey (1996). Dari delapan surat Ambri yang diumumkan Ajip Rosidi itu terbaca bahwa Moh. Ambri menganut ilmu kebatinan yang disebut "Ajian Kasumedangan".

Ambri mulai belajar kebatinan karena Nyi Oneng Karnasih, istrinya, sakit keras dan tidak sembuh ketika berobat ke dokter. Atas saran seorang kumitir di Sumedang, ia membawa istrinya berobat ke seorang dukun dan ternyata sembuh. Kejadian tersebut berpengaruh besar kepada Ambri.

Mulai saat itulah ia belajar kebatinan dan hal-hal lain yang bersifat gaib. Ia mulai belajar tirakat, bertapa, berziarah ke tempat-tempat keramat. Oleh karena itu, kepercayaannya akan hal-hal yang mistis dan gaib inilah yang berpengaruh terhadap karya-karyanya yang bertemakan siluman.

Ki Umbara

Selain Ambri, sastrawan Ki Umbara (1914-2005) pun termasuk pengarang yang menulis cerpen siluman. Pengarang yang lahir di Desa Bendungan, Kuningan itu, konon sedari kecil sudah menyukai hal-hal yang berbau gaib. Misalnya, ia sering tidur di kuburan, padahal menurut anggapan orang di kampungnya tempat itu merupakan sarang bangsa siluman. Selain itu, ia pun suka bertanya kepada ajengan, ahli jin, atau dukun beranak. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bila di dalam karya-karyanya suka dijumpai jampi-jampi atau jangjawokan yang hidup di lingkungan masyarakatnya.

Ki Umbara mulai mengarang cerpen siluman pada tahun 1963. Yaitu cerpen berjudul "Kasilib" yang dimuat dalam majalah Mangle. Kemudian karyanya tersebut dianugerahi Hadiah Sastra Mangle tahun 1964. Dari sana cerita silumannya kemudian banyak bermunculan. Cerita-cerita silumannya telah dibukukan dalam beberapa antologi. Di antaranya: Diwadalkeun Nyawa (1965), Teu Tulus Paeh Nundutan (1966), Jurig Gedong Setan (2003), dan satu lagi Harewos nu Gaib (2005).

Menurut Ajip Rosidi dalam Eundeuk-eundeukan (1998), Ki Umbara pernah menerangkan bahwa niat mengarang cerita siluman antara lain untuk menghilangkan ketakhayulan di kalangan orang Sunda. Selain itu, ingin menanamkan keyakinan bahwa menjalankan syariat agama seperti salat, puasa, dan lain-lain merupakan kewajiban yang tidak boleh ditinggalkan orang Islam.

Oleh karena itu, karya-karya Ki Umbara sangat kaya dengan nilai-nilai keislaman serta mengandung amanat dakwah islamiah. Maksudnya, tentu saja mengingatkan para pembacanya bahwa manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang paling mulia. Lebih mulia daripada makhluk lainnya, baik jin maupun malaikat. Oleh karena itu, manusia jangan sampai terpengaruh siluman.

Bagaimana gambaran siluman pada cerpen-cerpen Ki Umbara? Dalam antologi Jurig Gedong Setan, misalnya, kita dapat membaca cerpen-cerpen yang mencerminkan kepercayaan orang Sunda bahwa orang yang telah meninggal dengan tidak sempurna sebab mati penasaran atau meninggalnya tidak umum, bila belum disempurnakan suka menjadi ririwa yang bergentayangan, menakut-nakuti, dan menuntaskan rasa penasarannya. Cerpen yang dimaksud antara lain, "Jurig Gedong Sétan", "Ngabedegel", "Kunti," dan "Jurigna Datang".

Bila demikian, bagaimana posisi agama Islam dalam cerpen-cerpen Ki Umbara? Tampaknya nilai-nilai keislaman dijadikan benteng untuk menolak setan, seperti yang dapat kita baca dari "Digusuran Jurig".

Anasir Islam lainnya seperti doa dipakai sebagai jampi untuk mengusir siluman gentayangan, atau yang merasuki manusa. Dan tokoh-tokoh Islam seperti ajengan, kiai, dan merebot diminta untuk mengusir bangsa lelembut yang mengganggu, seperti dalam cerita "Ngabedegel" dan "Kunti".

Rais Purwacarita

Salah seorang pengarang yang meneruskan tradisi cerita siluman dalam sastra Sunda, di antaranya bisa disebut Rais Purwacarita. Setidaknya ini dapat dibuktikan dengan terbitnya buku Dedemit Kiarapait (2004). Buku ini, seakan-akan mengokohkan kembali tradisi cerita siluman Sunda yang telah dirintis para pendahulunya.

Hal pertama yang patut kita cermati dari antologi ini adalah, bergesernya identifikasi siluman. Dalam cerita-cerita Ambri, gambaran siluman masih sebatas yang tampak dari realitas kehidupan orang-orang lembur. Dan pada cerita-cerita siluman Ki Umbara, walau sudah dikaitkan dengan agama Islam, gambaran siluman masih terasa samar, karena masih terkesan bertarik ulur dengan kepercayaan tradisional. Rais dalam hal ini mengidentifikasi siluman sebagai jin yang suka nyiliwuri, mancala putra mancala putri.

Selain itu, melalui cerita-cerita silumannya, Rais telah membawa pandangan baru dalam memandang eksistensi makhluk gaib. Makhluk-makhluk gaib tidak hanya dipandang dalam kerangka berpikir tradisional orang Sunda, melainkan dibawa ke area yang lebih luas, seperti sains.

Umpamanya cerita "Nyi Rambut Kasih" dan "Kalangkang Riwan". Tokoh "Kuring" dalam "Nyi Rambut Kasih" serta sebuah tim dalam "Kalangkang Riwan" dapat mendeteksi sekaligus menangkap eksistensi makhluk gaib, melalui peralatan komputer yang ultramodern. Ya, seperti yang terjadi dalam film "Ghostbuster" saja layaknya.

* Atep Kurnia, Penulis Lepas tinggal di Bandung

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Sabtu, 28 Juni 2008

Pengukuhan Prof Dr Abdul Hadi WM Diwarnai Diskusi Kebudayaan dan Musikalisasi Puisi

HUJAN baru saja reda. Sehingga acara Pembacaan dan Musikalisasi Puisi Abdul Hadi: Kado untuk Maestro berjalan lancar yang digelar di halaman kampus Universitas Paramadina, Jl Gatot Subroto, Jakarta Selatan, Rabu malam lalu.

Malam itu merupakan hari kedua acara Tapak Budaya Paramadina: Tiga Hari Bersama Prof Dr Abdul Hadi WM, menjelang pengukuhan penyair Dr.Abdul Hadi Wiji Muthari sebagai guru besar dalam bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, pekan lalu.

Sejumlah penyair membacakan puisi-puisi karya Abdul Hadi yaitu Sutardji Calzoum Bahri membacakan puisi Sarangan dan Tanya, Slamet Sukirnanto.membacakan puisi Tuhan, Kita Begitu Dekat, Diah Hadaning memilih puisi Surat Atas Hidup. Kemudian tampil beberapa penyair lainnya seperti Leon Agusta, Wowok Hesti Prabowo, Adri Darmadji Woko, Ahmadun Yosi Herfanda, Jamal D Rahman, Endang Supriadi, dan Wanda Leopolda. Tak ketinggalan cerpenis Hamsad Rangkuti setelah membaca puisi Abdul Hadi juga membaca cerpen sendiri Ayahku Seorang Guru Mengaji.

Pembacaan puisi diawali Ayusha Ayutthaya - putri bungsu Abdul Hadi yang membacakan puisi ayahnya Akhirnya Kita Bertemu Lagi terjemahan dalam bahasa Mandarin.

Acara malam itu diisi dengan orasi budaya Paradigma Abdul Hadi WM Dalam Kebudayaan Indonesia oleh Rektor Universitas Paramadina Anies Rasyid Baswedan, Ph.D.

Sehari sebelumnya diselenggarakan diskusi kebudayaan menampilkan pembicara Sukron Kamil mengusung topik Sastra Islam Dalam Perspektif Abdul Hadi WM. Sementara Sutedjo mengetengahkan masalah Menimbang Paradigma Sastra Profetik Abdul Hadi Dalam Pembelajaran Sastra, dan Ahmadun Yosi Herfanda mengemukakan isu Paradigma Abdul Hadi WM Dalam Sastra Indonesia.

Abdul Hadi, kelahiran Sumenep, Madura, 24 Juni 1946, menerbitkan 12 antoloji puisi, di antaranya Arjuna in Meditation bersama Darmanto Jt dan Sutardji Calzoum Bachri, dan antoloji puisi dalam bahasa Inggris (At Last We Meet Again). Sejumlah puisi Abdul Hadi diterjemahkan dalam 14 bahasa yaitu Belanda, Jerman, Inggris, Prancis, Jepang, Mandarin, Thailand, Spanyol,Urdu, Arab, Rusia, Korea, Bengali dan Turki.

Penerima berbagai penghargaan dalam dan luar negeri ini juga menulis sebanyak 7 buah buku fiksi, beberapa kajian sastra dunia dan terjemahan karya, serta lebih dari 500 artikel, esai, dan karangan ilmiah di berbagai media tentang sastra Indonesia, sastra dunia, kebudayaan, dan falsafah. Lebih dari 35 tahun ia menggeluti kesusasteraan, sufisme dan khazanah intelektual nusantara.

Mantan Ketua Dewan Kesenian Jakarta dan mantan redaktur berbagai media cetak ini meraih gelar MA dan Ph.D di Universitas Sains Malaysia (1992-1996). Beberapa tahun sebelumnya kakek dari 3 cucu dan ayah dari 3 putri ini menimba ilmu di Universitas Gajah Mada, Yogyakarta Fakultas Sastra (1964-1967) dan Fakultas Filsafat (1968-1971).

Pengukuhan sebagai Guru Besar Dalam Bidang Ilmu Falsafah dan Agama Universitas Paramadina, Abdul Hadi WM menyampaikan orasi bertajuk Paradoks Globalisasi : Memikirkan Kembali Arah Kebudayaan Kita dalam sidang terbuka Senat Universitas Paramadina, dihadiri sejumlah undangan, di Auditorium Nurcholish Madjid, Rabu lalu. Dengan pengukuhan Abdul Hadi, perguruan tinggi yang didirikan oleh Prof. Dr.Nurcholish Madjid (almarhum) ini memiliki tiga orang Guru Besar.

Dalam orasinya Abdul Hadi mengemukakan, bidang yang ditekuninya adalah sejarah falsafah dan kesusastraan. Namun disiplim ilmu seperti ini tidak dituntut sekadar sistematis dalam menelaah sesuatu. Tetapi lebih dituntut. sifat reflektif.

Menurut Abdul Hadi bahasa adalah media komunikasi dan ekspresi terpenting bagi manusia dan tidak bisa digantikan oleh media lain. Bahasa adalah perwujudan kebudayaan yang merangkum di dalamnya khazanah pemikiran, gagasan, dan ingatan kolektif sesuatu masyarakat termasuk pengalaman sejarahnya. Tanpa bahasa, manusia tidak akan berpikir dan menanggapi dunia sekitarnya dengan baik. Karena, tidak ada manusia yang dapat berpikir di luar bahasa.

Berbicara kebudayaan dalam pengertiannya bersifat memelihara, baik kebersamaan maupun kebebasan individu yang terkendali. Kebersamaan ada jika ada solidaritas atau apa yang disebut gotong royong oleh Bung Karno dan koletivisme oleh Bung Hatta. Kebersamaan membuat hidup menyenangkan.

Selain itu kebudayaan dapat memulihkan kesatuan apabila masyarakat terancam perpecahan. Kebudayaan juga mengembalikan apa yang sering hilang pada manusia, yaitu cinta dan rasa persaudaraan dengan sesamanya. Karena, tujuan kebudayaan ialah menciptakan kesatuan dan kebersamaan maka yang menjadi ancaman utama bagi kebudayaan ialah politik praktis dan anarkis.

Kebudayaan dimaksudkan untuk mengangkat martabat atau harkat manusia sebagai makhluk spritual. Simbol dan tingginya martabat manusia terletak pada kebajikan, kecerdasan dan kreativitasnya. Kebudayaan yang sejati adalah milik bersama anggota sebuah komunitas yang disebut bangsa atau etnik. Karena itu, kebudayaan selalu dikaitkan dengan komunitas. Dan kebudayaan tidak pernah dikaitkan dengan orang seorang atau suatu kelompok kecil manusia, seperti kelompok aliran keagamaan tertentu. (Susianna)

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 28 Juni 2008

Mengemas Ulang Pesan Moral Lagu Daerah

[JAKARTA] Lagu daerah anak mengandung banyak nasihat, pantun dan sindiran lucu. Meskipun kerap terlupakan, lagu-lagu itu memiliki pesan moral yang baik mengenai pedoman hidup. Sebut saja, lagu Tokecang yang berpesan agar anak-anak tidak membuang-membuang makanan.

Paduan Suara Anak Indonesia (Repro)

Lagu daerah yang berasal dari Jawa Barat yang sudah familiar ini, menjadi hits andalan dalam album Lagu Daerah Anak-Anak Nusantara yang diluncurkan PT Gema Nada Pertiwi (GNP) pada Rabu (25/6) di Jakarta. Pembuatan album ini melibatkan enam artis cilik GNP yang memenangi perlombaan yang diselenggarakan GNP pada tahun 2007. Selain itu, pemain biola cilik Clarissa Tamara dan musisi Batak Tarzan Simamora terlibat dalam album ini.

Maman Piul, seorang pemusik dan arranger album ini mengatakan, sekitar 20 lagu daerah dan nasional ditampilkan dalam album ini. Sekitar 60 persen lagu daerah lebih mendominasi daripada lagu nasional.

Maman yang juga pernah menggarap album milik Iwan Fals mengungkapkan, lagu daerah penuh dengan petuah dan nilai filosofi yang berguna tentang pandangan hidup dan fenomenanya. Dipilihnya lagu Tokecang sebagai menu utama dalam album ini Tokecang adalah lagu daerah yang sudah nasional, siapa pun tahu lagu ini, mulai dari orang dewasa sampai dengan anak kecil.

Selain itu, lagu ini juga memuat sebuah pesan yang sangat berarti, yaitu tentang orang yang suka makan banyak sampai melampaui batas. Hal ini mengatakan bahwa tidak baik untuk menjadi serakah, makan banyak merepresentasikan orang yang rakus dan hanya mementingkan diri sendiri dan tidak peduli pada sekitarnya.

Maksud tersirat dalam lagu ini, bahwa sebaiknya manusia hidup untuk saling berbagi karena manusia merupakan makhluk sosial yang tidak bisa terlepas dari lingkungannya.

Selain Tokecang, lagu asal tanah Betawi Ondel-Ondel juga menjadi jawara dalam album ini.

Dalam lirik ini, diceritakan bahwa boneka ondel-ondel dapat menari jingkrak-jingkrak dan hal ini dapat mengundang gelak tawa siapa saja, khususnya anak-anak. Kehadiran ondel-ondel diharapkan agar si pengantin sunat dapat melupakan kesakitannya. Kepedulian terhadap teman menjadi nilai yang esensial sebagai pesan moral dalam lagu ini selain fungsi utama ondel-ondel sebagai leluhur yang melindungi anak cucunya.

Maman mengatakan, keberadaan lagu tidak terlepas dari konteks budaya. Kedatangan Tionghoa dan bangsa Arab di Batavia dalam melakukan perdagangan di jalur sutera, termasuk di tanah Batavia. Konon, masyarakat Betawi merupakan keturunan dari percampuran Tiongkok dan Arab. Karena itu, dalam lagu pun Betawi masih terkait erat pada nuansa Mandarin.

Itulah sebabnya, musik disebut bagian dari peradaban. Lagu anak-anak tradisional mulai kehilangan pamor. Hal inilah yang dikhawatirkan Maman sebagai musisi yang peduli terhadap lagu-lagu Tanah Air.

"Banyak anak-anak sekarang lebih hafal menyanyikan lagu-lagu remaja yang topiknya seputar kisah percintaan. Anak-anak itu belum cukup umur untuk menyanyikannya. Kemunculan band-band remaja yang marak di pertelevisian Tanah Air membuat anak-anak lebih suka menyanyikan lagu-lagu yang lebih modern," tuturnya. [DGT/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 28 Juni 2008

Kraton Yogyakarta Bangun Dialog Budaya

DIALOG antarmasyarakat etnik sangat diperlukan bangsa Indonesia, sehingga dapat memberikan warna peradaban. Dialog membuat rasa kebersamaan untuk saling menghargai satu sama lain, sehingga tercipta transformasi dan akulturasi budaya. Sampai kini, Kraton Yogyakarta terus membuka ruang dialog budaya untuk membangun peradaban bangsa.

Menurut Sri Sultan Hamengku Buwono X, dengan transformasi budaya, bisa mengugat kesadaran setiap orang, apakah merasa identitas etnik di provinsi-provinsi lain. Rasa kehilangan bisa tumbuh kembali melalui pemahaman budaya. Kearifan-kearifan lokal ternyata tidak sekedar hanya tradisi yang dirasakan sebagai suatu kebiasaan dalam perilaku pola pikir, tetapi sebetulnya adalah hakekat peradaban sebagai suatu bangsa.

"Kiranya khazanah budaya, kearifan tradisi dan simbol-simbol filosofi dapat mewarnai Kraton Yogya yang bisa dikontribusikan dengan masyarakat etnik di republik ini. Harapan saya, ada buku-buku yang bisa memberikan pemahaman kepada kita bersama, terhadap tradisi-tradisi budaya masyarakat etnik," ujar Gubernur Daerah Istimewa Yogyakarta saat peluncuran buku Kraton Jogja-Sejarah dan Warisan Budaya di Gandaria City, Jakarta, baru-baru ini.

Sultan menambahkan dengan membaca buku Kraton Jogja, minimal ada dialog budaya dan terjadi transformasi budaya di antara masyarakat etnik yang belum saling kenal serta menghargai kebudayaan masing-masing. Bagi sebagian orang, merasa kehilangan sesuatu, karena selama ini membicarakan aspek-aspek yang bersifat ekonomi, tetapi lupa akan pendekatan-pendekatan budaya sebagai kearifan-kearifan lokal.

"Sebelum republik ini ada, sudah terbentuk segenap masyarakat terdiri dari berbagai etnik yang ada sebagai bentuk tradisi dan tercipta suatu dialog. Dialog budaya didalam konteks mereka, mempunyai kebersamaan yang erat sebagai bangsa," jelas Sultan.

Sultan berharap suatu saat akan ada ensiklopedia menyangkut Kraton Yogyakarta. Dengan terbitnya buku budaya, bisa memberikan motivasi pada masyarakat etnik yang lain, agar mau menerbitkan buku yang sama, supaya dapat terjadi dialog budaya dan transformasi bersama. Sesama nantinya akan dapat menghargai, walaupun pun lewat buku dan saling memberi informasi. Nantinya setiap tamu negara maupun duta besar yang hadir di Yogya, akan diberikan kenang-kenangan berupa buku budaya Indonesia.

Sementara itu, Presiden Direktur PT Indonesia Kebanggaanku, Rudy Pesik, menyatakan peluncuran buku Kraton Yogyakarta merupakan wujud kepedulian atas warisan sejarah dan budaya yang besar nilainya. Selain untuk menghargai budaya sendiri, juga bertujuan mempromosikan budaya asli Indonesia.

"Melalui buku ini, diharapkan masyarakat dunia dapat lebih memahami betapa besarnya kekayaan budaya bangsa Indonesia, terutama yang ada di Yogyakarta. Tantangan kita sebagai masyarakat adalah bagaimana memanfaatkan kekayaan budaya tersebut, menjadi salah satu kekuatan kita, dalam menghadapi berbagai tantangan yang yang berat dewasa ini. Saya yakin nilai-nilai yang ada di Kraton Yogyakarta, masih relevan di era modern," kata Rudy yang juga menulis buku Keris Jawa.

Senada dengan itu, Presiden Indonesia Marketing Association (IMA), YW Junardy melihat potensi Kraton Yogyakarta sebagai salah satu diferensiasi yang kuat. Kraton Yogyakarta merupakan aspek sentral dalam upaya mengembangkan Trade, Tourism dan Investment (TTI). Pada bidang pariwisata,Yogyakarta mempunyai potensi untuk menjadi salah satu wisata dunia.

Pemahaman akan budaya setiap generasi kadarnya otomatis akan lebih longgar dan hal itu bisa dipahami, tetapi bagaimanapun sebagai manusia akan membentuk budaya baru. Nantinya akan terjadi suatu gradasi kualitatif terhadap aspek-aspek yang sudah ada, karena setiap generasi akan terbarui. Yogya memprioritas 80 persen untuk lokal dan 20 persen untuk asing, berbeda dengan provinsi Bali yang lebih memprioritaskan wisata asing.

Sebelumnya, buku Kraton Jogja telah diterbitkan dalam versi bahasa Inggris oleh IMA dengan judul Kraton Jogja - The History and Cultural Heritage, dan diluncurkan bersamaan dengan logo Yogya - Never Ending Asia. [HDS/U-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Sabtu, 28 Juni 2008

Friday, June 27, 2008

Teropong: Cendekiawan Berdedikasi

Pengantar Redaksi

Intelektual sejati tak mungkin bisa melepaskan diri dari berbagai realitas sosial yang menjadi persoalan masyarakat. Melalui kontribusi pemikiran, ia menawarkan alternatif, ia mencoba menyampaikan solusi, bahkan ia menjadi pendamping bagi masyarakat yang sedang kebingungan. Cendekiawan bukanlah mereka yang terbenam dalam menara gading.

Lima cendekiawan yang semuanya berusia di atas 70 tahun dipilih ”Kompas” sebagai Cendekiawan Berdedikasi. Salah satu aktivitas yang tak pernah mereka tinggalkan adalah menulis, menyebarkan gagasan kepada khalayak. Gagasan untuk mencari jawaban atas fenomena keseharian atas perjalanan sejarah masyarakat dan bangsa Indonesia. Dan, salah satu kanal untuk menyebarkan gagasan adalah rubrik Opini Harian ”Kompas”.

Penghargaan kepada lima cendekiawan itu diserahkan Pemimpin Umum Harian ”Kompas” Jakob Oetama Jumat (27/6) pagi ini, di Jakarta. Penghargaan diberikan berkaitan dengan ulang tahun ke-43 Harian ”Kompas”. Berikut gambaran singkat profil mereka, pekerja yang sepi, asketis, namun produktif.

***

Soetandyo Wignyosoebroto
Terinspirasi Khalil Gibran

Nama Soetandyo Wignyosoebroto tak bisa dilepaskan dari belantara intelektual Indonesia. Meski usianya sudah menjelang 76 tahun, ia tak pernah loyo. Guru besar emeritus Universitas Airlangga Surabaya itu seakan mematahkan cap tentang ”orang sepuh”. Bukan hanya kondisi fisiknya yang masih terlihat bugar, tetapi yang lebih penting adalah semangatnya yang energik serta gagasannya tentang demokrasi, keadilan, dan hukum terus bergulir. Keberpihakannya pada mereka yang lemah begitu jelas.

Maret lalu, misalnya, ia memberikan ”kuliah umum” bagi korban lumpur Lapindo di tempat pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Ia menyoroti Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang dinilai melanggar hukum karena memaksakan kehendak kepada warga untuk menjual tanah mereka kepada Lapindo Brantas Inc. Kuliah itu dimaksudkan untuk menyadarkan pengungsi akan hak mereka dan cara memperjuangkannya.

Keberpihakannya membela orang kecil juga dilakukan terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di dekat rumahnya di kawasan Kampus Unair, Jalan Dharmawangsa, Surabaya. Ketika PKL digusur, ia malah membela PKL yang sebetulnya mengganggu lingkungan rumahnya itu. Sebaliknya, ia melarang petugas yang melakukan penertiban. Buat Soetandyo, gangguan PKL yang diterimanya itu belumlah apa-apa dibandingkan dengan perjuangan PKL mencari makan demi hidup. Rasa kemanusiaannya mengalahkan gangguan yang dialaminya.

Bagi anggota Komnas HAM 1993-2002 itu, pensiun sejak 10 tahun silam tak lantas ”berhenti berpikir”. ”Kegiatan saya tidak ada, kecuali menyibukkan diri sendiri,” canda pria kelahiran 19 November 1932 ini. Tetapi faktanya, ketika banyak orang berpikir istirahat pada masa pensiun, guru besar sosiologi ini malah disibukkan banyak kegiatan.

Di tengah aktivitas yang padat, ia menjaga agar kondisi fisiknya tetap fit. Hingga kini, Soetandyo konsisten menggenjot sepeda, baik ke kampus, ke bank, atau belanja ke mal. ”Saya enggak punya mobil lagi, sudah diambil anak-anak. Saya suka bersepeda, saya, kan, sudah hidup sendiri, istri sudah pamit duluan (meninggal), anak-anak sudah mandiri semua, jadi apa pun saya kerjakan sendirian,” katanya.

Ia prihatin dengan karut-marutnya negeri ini. Karut-marut di negeri ini akibat terlalu banyak yang mengurusi hal besar saja. Mereka melupakan memperbaiki hal kecil, padahal hal kecil itulah yang bisa membangun hal-hal besar. Kuat-rapuhnya fondasi bangsa ini tak lepas dari fondasi yang ada di rumah setiap warga. ”Bagi saya, kita harus mulai dari yang kecil. Demokrasi, misalnya, harus dimulai dari family, democracy on the heart of the family. Apa yang saya lakukan adalah menyelamatkan negaraku sendiri, negaraku itu bukan negaranya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tapi ’negaraku’ itu keluargaku,” katanya.

Karena itulah, ia mengajarkan, kalau kita tidak bisa memperbaiki pada tataran tinggi, bisa dilakukan pada tataran di mana kita memiliki otoritas. Katakanlah soal peredaran narkoba. Jika tidak bisa mengendalikan peredaran sabu-sabu, maka yang bisa dilakukan adalah menjaga agar orang-orang yang disayangi tidak terkena. ”Kalau Anda bisa mengelola sesuatu yang kecil, maka akan bisa mengelola yang besar. Saya diilhami syair Khalil Gibran, ketika melihat dunia saat malam. Tuhan menciptakan malam, tapi saya bisa menyalakan lilin. Dunia boleh gelap, tapi lingkungan sekitar saya tetap terang. Dunia saya yang kecil tetap terselamatkan,” katanya.

Thee Kian Wie
Kecintaan pada Ilmu

Sudah 49 tahun Thee Kian Wie menjadi peneliti dan pengajar dengan bidang keahlian utama pada sejarah ekonomi dan perkembangan industri. Pensiun sebagai pegawai negeri sipil di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2000 silam tak menghentikan minatnya berkarya.

Thee (73) masih aktif sebagai staf ahli Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, peneliti tamu di sejumlah institusi, antara lain Australian National University dan Bank Pembangunan Asia. Ia juga tetap sibuk menulis dan mengedit beragam buku dan jurnal ilmiah. ”Saya sangat menikmati pekerjaan saya,” ujar Thee. Kesabaran dan wajah yang cerah saat membimbing peneliti muda atau mahasiswa, ia menyebut kegiatan ini dengan istilah ”bertukar pikiran”, mencerminkan kecintaan Thee pada profesi keilmuan itu.

Sikap Thee yang rendah hati membuat jarak antargenerasi tak terasakan saat berbincang dengan peraih doktor honoris causa dari Australian National University ini. ”Bergaul dengan orang-orang tua itu membosankan, yang dibicarakan hanya penyakit, sedangkan orang muda masih bicara tentang masa depan,” ujarnya.

Tentang kerendahan hati ekonom senior itu, Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia M Chatib Basri bertutur, Thee kerap mengaku lemah dalam penguasaan model kuantitatif untuk analisa ekonomi. Meski begitu, ia bisa memperkirakan dengan tepat hasil analisa kuantitatif yang dengan susah payah diolah para ekonom muda.

”Kami sibuk dengan perhitungan matematis yang rumit untuk sampai ke analisa itu, sementara Pak Thee begitu saja memperkirakan hasilnya. Sense-nya luar biasa karena jam terbang yang sangat panjang,” ujar Chatib.

Sebagai peneliti, Thee jatuh hati pada sejarah ekonomi. Topik disertasi doktoral Thee di University of Wisconsin, AS, tergolong kajian langka di Asia Tenggara. ”Kita mempelajari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi pada suatu masyarakat di masa lalu, sekaligus memahami apa yang terjadi pada kelompok-kelompok penduduk di dalamnya melalui sejarah ekonomi. Pengetahuan itu sangat berguna untuk memahami apa yang terjadi pada perekonomian masyarakat itu sekarang,” ujarnya.

Thee menilai, kini justru terdapat kegamangan dalam menarik dan mengelola modal asing di Indonesia. ”Sikap antiasing itu mungkin cerminan dari kecurigaan kita pada diri sendiri bahwa di negeri ini semua gampang disogok. Padahal, di China dan Singapura yang lebih pandai memanfaatkan modal asing, misalnya, tidak lantas pemerintahnya bisa dikendalikan pemodal asing,” ungkapnya.

Prof Bungaran Saragih
Pemikir Pembangunan

Tidak berlebihan kiranya Prof Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian yang juga guru besar di Institut Pertanian Bogor, menyebut Prof Dr Ir Sajogyo sebagai bapak ilmuwan Indonesia. Ungkapan kekaguman itu merujuk pada peran Sajogyo dalam meletakkan dasar pemikiran pembangunan pertanian dan pedesaan serta membina kader peneliti untuk memperkuat pembangunan di awal pemerintah Orde Baru serta sikap hidupnya.

Konsep penentuan batas garis kemiskinan dengan menghitung pendapatan setara beras, usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), serta program Inpres Desa Tertinggal (IDT) merupakan beberapa kebijakan pemerintah yang mengadopsi gagasan Sajogyo terkait pembangunan masyarakat Indonesia.

Boleh dikatakan Sajogyo adalah pelopor pengembangan aktivitas penelitian sosial ekonomi pertanian dan pedesaan di Indonesia. Ia mendidik kader peneliti di bidang sosial ekonomi, baik lewat kiprahnya sebagai pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB) maupun lewat pelbagai institusi, antara lain Survei Agro Ekonomi, Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, juga Yayasan Agro Ekonomika.

Sajogyo lahir 21 Mei 1926 di Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Dalam percakapan dengan Kompas, Selasa (24/6), Sajogyo bicara tentang kemiskinan. Ia menyatakan, kemiskinan yang berlangsung sejak lama sampai kini belum kelihatan selesai.

Sajogyo juga mengungkapkan perlunya menyederhanakan indikator kemiskinan. Jika sudah muncul angka bagaimana menafsirkan dalam bahasa yang dimengerti orang dinas di kabupaten, jangan hanya dimengerti oleh orang Badan Pusat Statistik (BPS).

Ia menyayangkan keterlibatan BPS dalam pendataan orang miskin calon penerima bantuan langsung tunai (BLT) sampai di tingkat RT. ”Tugas BPS adalah mengukur berbagai hal yang sesuai keperluan pemerintah untuk definisi yang umum, untuk perencanaan makro. Menghitung orang miskin di tingkat RT bukan tugas BPS, tapi Departemen Sosial dan dinas sosial. Datanya pun harus up to date,” katanya.

Sajogyo tidak setuju dengan pemberian BLT yang dinilai tidak memandirikan. Ia memberi contoh, orang-orang Minang merantau untuk memperbaiki hidupnya. Mereka berusaha secara mandiri dan tolong-menolong, misalnya dengan mendirikan rumah makan Padang. Hasilnya untuk membangun kampung. ”Kalau orang Minang di kampungnya diberi BLT itu malah merusak,” katanya.

Seharusnya pemerintah melakukan program seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), yaitu memberikan modal kerja agar penduduk miskin mampu meningkatkan pendapatan dari pencarian nafkah.

Bungaran Saragih menuturkan, selain meneliti, Sajogyo juga terlibat langsung dalam aplikasinya di masyarakat. Tahun 1960-an Sajogyo menganjurkan adanya badan perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten. Ia membuat proyek percontohan di Sukabumi. Hasilnya diadopsi oleh sejumlah kabupaten lain, kemudian dijadikan kebijakan nasional. Sajogyo juga melakukan penelitian terkait pangan dan gizi. Pada masa itu ia sudah menyatakan bahwa masalah pokok pembangunan adalah kemiskinan.

Perhatiannya membuahkan konsep garis kemiskinan. Juga upaya untuk mengatasi kemiskinan yang kemudian diadopsi pemerintah dengan program IDT.

Dalam menjalani hidup, demikian Bungaran Saragih, Sajogyo satu kata dan perbuatan. Ia berjuang memberantas kemiskinan dan tidak menggunakan kemiskinan untuk mencari kekayaan atau kedudukan. ”Hidupnya sangat sederhana walau sebenarnya dengan pengetahuan, pengalaman, pengaruh, dan wibawanya bisa dengan mudah mendapatkan banyak materi,” kata Saragih menggambarkan gurunya itu.

Kini Sajogyo tinggal di Jalan Malabar 22 Bogor yang sekaligus menjadi kantor Sajogyo Institute. Lembaga yang didirikan tahun 2004 untuk melakukan penelitian dan pendampingan penduduk miskin di Indonesia dalam peningkatan keterampilan serta permodalan melalui kredit mikro.

Mudaham Taufick Zen
Khawatirkan Negara Gagal

Usia sepuh (77) tidak menghalangi geolog kawakan Mudaham Taufick Zen beraktivitas. Selain mengajar, anggota majelis guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) ini juga bekerja di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta. Tugasnya memperkirakan dampak gempa terhadap infrastruktur suatu kota.

Setiap akhir pekan, barulah ia dapat menikmati waktu senggang di rumahnya yang di asri dan banyak pepohonan di kawasan Bandung Utara. Di rumah ini pula, MT Zen produktif menulis. ”Di Jakarta, saya tidak bisa menulis…,” ujarnya. ”Di kawasan Bandung Utara, karena udaranya segar, gagasan mengalir lancar,” kata pendiri Jurusan Teknik Geofisika ITB ini.

Meski latar belakang pendidikannya geologi dan geofosika, MT Zen kelahiran Mentok, Bangka 14 Agustus 1931, ini, mahir menulis berbagai masalah sosial dan sastra. Maklum, minatnya memang sangat luas.

Selain mendalami geologi khususnya kegempaan, dia juga menyukai sastra, filsafat, musik klasik, bahasa, dan olahraga. Di bidang musik, misalnya, penyandang Bintang Mahaputra ini paham betul karya-karya Bach, Mozart, dan Beethoven.

Di bidang olahraga, dia masih aktif naik gunung, bela diri aikido, menyelam, dan renang 7 kilometer seminggu dua kali. Soal bahasa, jangan ditanya. Ia menguasai lima bahasa asing, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, dan Jepang. Enam buku dan ratusan karya ilmiah di jurnal-jurnal ilmiah juga telah lahir dari tangannya. ”Menulis itu menjadi kebutuhan,” kata guru besar di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat dan Wina, Austria, ini.

Satu hal yang mencemaskan MT Zen adalah kekhawatiran Indonesia menjadi negara yang gagal seperti halnya Somalia dan Dharfur Sudan, di sana orang saling membunuh. Tidak ada aturan. ”Indonesia bisa menjadi negara yang gagal jika tidak bisa survive di tengah kultur baru abad ke-21,” ujarnya. Menurut dia, abad ke-21 memiliki kultur tersendiri karena segala sesuatu akan bersifat maya, misalnya modal maya dan industri maya.

Mempersiapkan Indonesia menghadapi abad ke-21, dalam pandangan MT Zen, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Arus globalisasi dengan segala dampaknya terus bergulir. Di sisi lain, Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah internal yang sangat berat, terutama kesalahan dalam pengelolaan lingkungan alam dan kegagalan sumber daya insani.

Di bidang sumber daya insani, misalnya, sistem pendidikan Indonesia gagal menciptakan manusia berkarakter, yaitu yang punya harga diri, kebanggaan diri, berani bertanggung jawab, dan punya etika.

Kondisi ini diperparah dengan merebaknya korupsi dengan cara yang tidak konvensional serta dalam jumlah yang besar, bahkan mencapai triliunan. ”Karena itu, pemberantasannya pun harus dengan cara yang tidak konvensional. Jika perlu, dengan potong ’lehernya’ sebagai shock therapy,” kata anggota Akademi Ilmu Pengetahuan New York ini.

Meski Indonesia sudah dalam kondisi parah, MT Zen tetap keyakin Indonesia masih punya masa depan yang cerah. Langkah yang paling utama adalah Indonesia harus dipimpin oleh orang yang berkarakter, punya keberanian mengambil tindakan, punya inisiatif dalam pembangunan serta memiliki visi jauh ke depan. ”Kalau tidak, Indonesia akan celaka,” ujarnya. Berkebalikan dari kondisi di atas yang serba muram, MT Zen menegaskan, Indonesia sebenarnya memiliki semuanya yang dapat membuatnya menjadi bangsa yang besar, negara adidaya. Sayangnya, semua modal positif itu saat ini diurus secara keliru.

Prof Dr Satjipto Rahardjo SH
Tahun Menulis Artikel

Prof Dr Satjipto Rahardjo SH (78), guru besar emeritus sosiologi hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang itu, salah satu akademisi yang percaya bahwa menulis karya ilmiah populer di surat kabar tidak kalah pentingnya dengan menulis di jurnal ilmiah atau buku. Ia pun membuktikannya dengan kesetiaan mendalam selama 33 tahun menulis artikel di berbagai surat kabar, termasuk harian Kompas.

Pak Tjip, sapaan akrab Prof Dr Satjipto Rahardjo, mengenang ketika koleganya dari Amerika Serikat, yaitu ahli hukum Indonesia almarhum Prof Dr Daniel S Lev, dilarang masuk ke Indonesia pada masa kekuasaan Presiden Soeharto tahun 1980-an. Selaku ahli Indonesia, Prof Lev membutuhkan bahan-bahan dari Indonesia untuk kajiannya. Salah satunya adalah artikel-artikel Pak Tjip di surat kabar.

”Saya tidak bisa menulis lagi soal hukum Indonesia karena tidak bisa mencium aromanya. Aroma itu saya baca dari tulisan-tulisan Anda,” tutur Pak Tjip, mengutip Prof Lev. ”Aroma” itulah, kata Pak Tjip, yang membedakan tulisan ilmiah populer dengan tulisan ilmiah murni di jurnal atau buku. Pokok pikiran yang hanya tiga-empat baris di tulisan ilmiah murni bisa menjadi 10 baris di tulisan ilmiah populer. Dengan menulis di surat kabar, akademisi bisa membagi pengetahuannya ke publik yang luas, tidak terbatas seperti pada jurnal ilmiah.

Ia masih menyimpan dengan rapi tulisan artikelnya yang dimuat di harian ini. Ketika ditanya artikel pertamanya di Kompas, ia langsung menunjukkannya. Selaku Ketua Pusat Studi Hukum dan Masyarakat FH Undip ia menulis artikel ”Menyongsong Simposium Hukum dalam Masa Transisi”, yang dimuat 11 Januari 1975. Honor tulisan waktu itu Rp 5.000.

Sejak itu, tulisan demi tulisan meluncur dari pikiran dan ketikan tangannya sendiri. Tahun 1975 itu ia menulis 34 artikel. Namun, jumlahnya agak menurun pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1979, misalnya, hanya lima artikel yang ditulisnya untuk Kompas. ”Tahun 1975 itu saya lagi seneng-seneng-nya,” ujar alumnus FH UI tahun 1960 dan doktor hukum Undip tahun 1979 itu.

Hingga sekarang, paling tidak yang tercatat di database Pusat Informasi Kompas dan catatan Pak Tjip, sudah 367 artikel yang ditulisnya. Artikel yang terakhir dimuat Kompas adalah ”Kini Saatnya Memunculkan Ketertiban” pada 23 Juni 2008.

Pak Tjip juga tenang saja ketika tahun 2005 ruang untuk penulisan artikel dipersingkat karena terjadi redesain surat kabar. Sebelumnya artikel itu bisa panjang-panjang, bahkan bisa berseri. ”Saya menikmati saja. Dengan adanya batasan kolom itu, kita juga bisa memadatkan pikiran kita,” ujarnya.

Di antara tumpukan buku itu, termasuk sejumlah buku karyanya sendiri. Selain buku kumpulan tulisan artikel, beberapa buku memang khusus dibuat dengan ide orisinal. Buku Ilmu Hukum, terbitan Penerbit Alumni, misalnya, yang menjadi buku teks mahasiswa hukum, telah dicetak enam kali. Buku terbarunya akhir tahun 2007 Biarkan Hukum Mengalir terbitan Penerbit Buku Kompas. Buku itu juga sudah dicetak ulang. (Mohammad Subhan/Subur Tjahjono/Nur Hidayati/ Try Haryono/Brigitta Isworo Laksmi/Atika Walujani)

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Juni 2008

Bahari: Kora-kora Warisan Budaya dari Banda

SELAT sempit antara Pulau Naira dan Banda Besar di Kepulauan Banda, Maluku Tengah, Provinsi Maluku, siang itu, pertengahan Mei, dipadati perahu motor. Penumpang membeludak hingga berdesakan di atap kapal kayu tradisional itu. Mereka berarakan membelah laut mengiringi perahu kora-kora yang meluncur cepat membelah gelombang.

Siap Bertanding (Agung Setyahadi/Kompas Images)

Teriakan para penonton dan komandan kora-kora serta genderang perang memecah kesunyian pulau di tengah Laut Banda itu. Semangat 30 pendayung di setiap kora-kora membuncah bersamaan dengan cipratan air ke udara. Kora-kora melesat dari kampung Salamon di Banda Besar menuju titik akhir di Pelabuhan Naira.

Semangat para pendayung mengingatkan pada perlawanan pejuang Banda terhadap kolonial Belanda yang ingin memonopoli pala. Pada awal abad ke-17, kora-kora merupakan perahu perang yang dilengkapi dengan meriam kecil untuk menghancurkan kapal-kapal Belanda. Perahu ini sempit tetapi panjang, mampu meluncur cepat tetapi rawan terbalik.

Kora-kora telah menuntaskan tugas utama sebagai perahu perang. Namun, kebanggaan atas kora-kora tetap langgeng di hati masyarakat Banda. Setiap kampung adat di Kepulauan Banda memiliki perahu kora-kora lengkap dengan ”pasukan” dayung. Upacara ritual dalam pembuatan perahu hingga persiapan turun ke laut juga masih dipegang teguh.

Warisan budaya bahari kora-kora kini berevolusi menjadi atraksi wisata di Banda, melengkapi keindahan alam bawah lautnya. Bagi wisatawan, balap kora-kora menjadi hiburan yang menyenangkan.

Namun, bagi masyarakat Banda kemenangan dalam balapan kora-kora merupakan kebanggaan luar biasa yang tak bisa dibandingkan dengan nilai hadiah perlombaan. Kora-kora adalah akar budaya bahari masyarakat Banda.

Foto dan teks: Agung Setyahadi

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Juni 2008