JAKARTA, KOMPAS - Sebuah perkembangan penting dalam kesusastraan Indonesia terjadi pada dasawarsa 1970-an. Tidak hanya sekadar heboh sebagai sebuah wacana konseptual, melainkan diikuti dengan sejumlah karya yang dilandasi oleh kesadaran dan semangat membangun gerakan estetik.
Hal itu ditandai dengan lahirnya berbagai karya eksperimental, polemik, dan perdebatan mengenai konsep-konsep kesastraan, serta derasnya semangat melakukan perubahan. Salah satu konsep yang menonjol ketika itu adalah sastra sufistik yang diusung sastrawan Abdul Hadi WM bersama Danarto, Leon Agusta, Sutardji Calzoum Bachri, dan sejumlah sastrawan lainnya. Gerakan kembali ke akar, kembali ke sumber, menjadikan sastra Islam dan sufisme sebagai sumber ilham dalam bersastra.
Demikian benang merah diskusi kebudayaan bertajuk ”Paradigma Abdul Hadi WM dalam Kebudayaan Indonesia” di Universitas Paramadina, Jakarta, Senin (9/6). Pengamat Sastra dari Universitas Indonesia, Maman S Mahayana, mengatakan, Abdul Hadi WM dan sejumlah sastrawan lainnya di tahun 1970-an dalam wawasan estetiknya menggali nilai-nilai tradisi masa lalu budaya leluhur.
Menurut Abdul Hadi WM, corak pendekatan dan sikap terhadap tradisi itu dapat dibagi ke dalam tiga kelompok kecenderungan, yaitu pertama, mereka yang mengambil unsur budaya tradisional untuk keperluan inovasi dalam pengucapan.
Kedua, mereka yang mengklaim menumpukan perhatian hanya terhadap satu budaya daerah saja, seperti Jawa, Minangkabau, Melayu Riau, dan Sunda. Adapun ketiga, mereka yang mengambil tradisi langsung dari bentuk spiritualitas dan agama tertentu dengan kesadaran bahwa tradisi dan budaya masyarakat Indonesia terbentuk berkat masuknya beberapa agama besar, seperti Hindu, Buddha, dan Islam.
Menurut Maman, mencermati karya-karya Abdul Hadi WM, ia cenderung menghubungkan diri dengan sumber-sumber agama dan bentuk-bentuk spiritualitas agama. (NAL)
Sumber: Kompas, Selasa, 10 Juni 2008
No comments:
Post a Comment