-- Ahmadun Yosi Herfanda*
SEBENARNYA, materi cerpen-cerpen Helvy umumnya adalah materi cerpen realistik, dengan latar (setting) peristiwa yang kerap benar-benar terjadi. Dan, banyak di antaranya adalah peristiwa kekerasan bersenjata yang mengakibatkan tragedi kemanusiaan yang pahit dan mencekam. Di tengah tragedi itu Helvy menghadirkan sosok perempuan yang menjadi korban sekaligus melakukan perlawanan terhadap penindasan dan ketidakadilan.
Cerpen Jaring-Jaring Merah, misalnya, berlatar konflik bersenjata di Aceh, mengisahkan nasib perempuan Aceh yang mengalami depresi berat karena jadi korban kekerasan itu. Sedangkan cerpen Kivu Bukavu berlatar konflik bersenjata (perang saudara antara suku Hutu dan Tutsi) di Rwanda, dan Lelaki, Kabut dan Boneka berlatar tragedi bom Bali.
Tetapi, karena dorongan untuk bermajas dalam gaya penuturan yang puitis, realitas itu tidak tampil secara telanjang. Mirip puisi, maknanya, inti ceritanya, jadi tersamar dalam gaya bertutur yang lincah dan prismatis. Bahkan, jati diri sang tokoh cerita pun sering ikut tersamar.
Pembaca, misalnya, hanya dapat meraba siapa tokoh 'aku' dalam Jaring-Jaring Merah, siapa Kivu dalam Kivu Bukavu, atau siapa lelaki yang tak punya wajah tetap (juga sosok perempuan Sunyi) dalam Lelaki Kabut dan Boneka, dan baru tertebak setelah dibaca dengan seksama bahwa lelaki itu adalah simbolisasi dari sekelompok manusia yang memilih kekerasan (teror) sebagai penyelesaian, dan Sunyi adalah representasi dari suara hati nurani yang mencoba melawan kekerasan itu.
Menurut peneliti sastra dari Universitas Passau Jerman, Dr Monika Arnez, kebanyakan cerpen Helvy dalam Bukavu adalah representasi fiksional dari beberapa konflik nasional dan internasional yang konkrit. Dalam konteks Indonesia, dia antara lain menggambarkan konflik bersenjata antara GAM dan TNI di Aceh, konflik antara suku Dayak dan Madura di Kalimantan dan pembantahan orang Muslim di Ambon, serta tragedi kemanusiaan dalam kasus bom Bali tahun 2002.
Di luar Indonesia, Helvy mengangkat konflik di Timor Timur, pembantaian yang dilakukan suku Hutu terhadap suku Tutsi di Rwanda, konflik Palestina akibat penjajahan Israel, dan pembunuhan besar-besaran di Srebrenica pada tahun 1995. Dalam cerpen Bukavu dia mengisahkan nasib tragis minoritas suku Tutsi yang dibantah oleh suku Hutu. Helvy memotret kematian, kemiskinan, kekotoran dan kondisi yang sangat menyedihkan di Rwanda.
Di tengah tragedi-tragedi itu, secara khusus Helvy menyorot bagaimana akibat konflik tersebut terhadap kaum perempuan dan anak, sehingga yang lebih tergambar adalah nasib perempuan di tengah kekerasan dan tragedi kemanusiaan. Menurut Arnez, Helvy memang tidak hanya membicarakan konflik secara abstrak, tetapi berfokus pada pengalaman-pengalaman pribadi tokoh-tokohnya, khususnya perempuan dan anak.
Lebih dari itu, Helvy juga mencoba menggambarkan perjuangan perempuan dalam menghadapi kekerasan, baik yang dilakukan oleh lelaki maupun budaya patriarki dan kekuatan politik tertentu. Dalam cerpen Pertemuan di Taman Hening, misalnya, seorang istri bernama Sih harus menghadapi dan melawan kekerasan yang dilakukan oleh suaminya.
Dari sini, terlihat bahwa sebagai tokoh Forum Lingkar Pena (FLP), Helvy bukanlah penulis yang membela budaya patriarki, tapi justru sering menghadirkan 'perempuan perkasa' yang melawan penindasan terhadap kaum perempuan.
Dalam tema-tema besar yang dipilihnya, gaya bertutur yang puitis tetap menjadi kekuatan utama cerpen-cerpen Helvy. Gaya bertutur semacam itu pernah menguat sebagai gaya bertutur beberapa cerpenis Indonesia sejak 1990-an. Setidaknya, pernah dicoba oleh Azhari, Maroeli Simbolon, Ucu Agustin, Abidah el-Khalieqy, Raudal Tanjung Banua, Oka Rusmini, dan beberapa cerpenis lain yang umumnya merangkap sebagai penyair.
Cerpen-cerpen bergaya puitis selama ini rata-rata tidak begitu mengandalkan kekuatan unsur-unsur cerita, seperti plot dan karakterisasi. Memang ada karakter, tapi umumnya tersamar. Sedangkan plotnya dibiarkan cair, mengalir dengan lincah ke manapun imajinasi pergi. Sebab, andalan utamanya memang gaya bertuturnya itu sendiri.
Dengan gaya bertutur seperti itu, Helvy membongkar pakem fiksi realistik yang lazim yang umumnya mengandalkan pada kekuatan unsur-unsur cerita, dan menggantikannya dengan gaya bertutur yang puitis. Membaca cerpen-cerpen seperti itu, pembaca pun sering keasyikan menikmati citarasa tuturan yang puitis, tanpa berpikir bagaimana alurnya, plotnya, konfliknya, klimaksnya, dan endingnya. Mereka akan ikut mengalir saja dalam keindahan citarasa bahasa sastranya.
* Ahmadun Yosi Herfanda, Red Sastra Republika
** Tulisan ini merupakan prasaran untuk diskusi peluncuran buku kumpulan cerpen Bukavu karya Helvy Tiana Rosa, di Auditorium S Universitas Negeri Jakarta, Jumat 9 Mei 2008. Pembicara lain yang tampil dalam diskusi itu adalah DR Monika Arnez dan Zulfahnur ZF. Acara juga dimeriahkan baca cerpen oleh Helvy Tiana Rosa. red
Sumber: Republika, Minggu, 01 Juni 2008
No comments:
Post a Comment