Jakarta, kompas - Kebijakan perbukuan dinilai belum kondusif dan belum menguntungkan bagi penerbit, penulis, masyarakat, dan masa depan perbukuan Indonesia. Karena itu, pemerintah diminta bersedia duduk bersama dengan penerbit untuk mencari solusi yang menghasilkan kebijakan perbukuan yang lebih kondusif bagi semua pihak.
Penjaga stan menunggu pengunjung pada pameran buku untuk merayakan Hari Buku Sedunia di Plaza Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta, Kamis (5/6). Sejumlah lembaga, mulai dari perpustakaan, kelompok baca, hingga penerbit, ikut dalam acara ini. (KOMPAS/LASTI KURNIA)
”Secara umum belum ada kebijakan yang mengarah pada pembuatan buku murah namun berkualitas dan mendorong kegairahan berkarya,” kata Ketua Umum Ikatan Penerbit Indonesia (Ikapi) Setia Dharma Madjid dalam diskusi mengenai ”Reformasi Perbukuan untuk Peradaban dan Daya Saing Bangsa”, yang digelar Departemen Pendidikan Nasional di Jakarta, Kamis (5/6).
Menurut Setia, perkembangan buku di Indonesia belum menggembirakan karena selain dinilai mahal juga terkendala daya beli masyarakat yang masih rendah.
Fira Basuki, penulis, mengatakan, pajak penghasilan yang dikenakan kepada penulis sebesar 15 persen dari harga buku dirasakan memberatkan penulis. Padahal, royalti yang diberikan kepada penulis saat ini umumnya 10 persen, paling besar 12,5 persen dari harga buku. ”Tingginya pajak tidak merangsang kegairahan masyarakat untuk menulis,” ujarnya.
Dia pun menyayangkan sikap sejumlah penerbit yang lebih suka menerjemahkan buku-buku asing.
Secara terpisah, Kepala Pusat Informasi dan Humas Depdiknas M Muhadjir mengatakan, kebijakan Depdiknas soal buku murah dengan membeli hak cipta naskah buku bukan dimaksudkan untuk membunuh usaha penerbitan buku. (ELN/NAL)
Sumber: Kompas, Jumat, 6 Juni 2008
No comments:
Post a Comment