Friday, June 27, 2008

Kebudayaan: Terima Kasih Dewa Laut

KOTA Bagan Siapi-api dibangun oleh perantau China pada era 1820-an. Bermula dari sekelompok orang dari Provinsi Fujian, China, bermarga Ang yang mencoba mengubah peruntungan nasib di negeri orang. Kelompok ini menyeberangi lautan untuk mencari tanah baru di negeri harapan dengan kapal kayu sederhana yang disebut wangkang atau tongkang.

Setelah terkatung-katung di lautan, kelompok Ang berdoa kepada Dewa Kie Ong Ya (Dewa Laut) yang patungnya dibawa dalam wangkang agar ditunjukkan arah menuju daratan. Pada keheningan malam tiba-tiba tampak cahaya yang samar-samar dari daratan. Dengan asumsi bahwa di mana ada api di situ ada kehidupan, kelompok Ang tiba di daratan di pinggir Selat Malaka itu.

Kisah lainnya mengatakan, warga China Bagan Siapi-api sebenarnya merupakan pelarian dari penguasa Siam pada tahun 1926. Ada tiga kelompok berangkat dari Siam dengan menggunakan tiga buah tongkang. Namun, dua kapal tenggelam di laut dan hanya kelompok Ang yang sampai di daratan.

Asal usul nama kota Bagan Siapi-api memiliki beberapa versi. Versi yang dipercaya banyak masyarakat adalah munculnya petunjuk Dewa Kie Ong Ya berupa cahaya api dari daratan ketika tongkang marga Ang kehilangan arah. Namun, ada pula versi yang mengatakan Bagan berasal dari kata tempat penangkapan ikan. Sementara api berasal dari pohon api-api yang banyak tumbuh di daerah pantai.

Semenanjung

Di semenanjung Malaka sebenarnya terdapat tiga kerajaan Melayu, yaitu Kerajaan Kubu, Tanah Putih, dan Batu Hampar. Hanya, etnis China ini lebih nyaman menetap di Bagan, di muara Sungai Rokan sekarang di pinggir pelabuhan. Di sana mereka membangun permukiman tradisional, termasuk membangun bang liau (gudang penampungan ikan).

Mereka juga membuat pelataran untuk menjemur ikan asin. Selain itu, mereka juga membuat dok kapal kayu, yaitu tempat pembuatan kapal yang digunakan untuk menangkap ikan. Kapal kayu terbuat dari jenis kayu leban. Selanjutnya, agak ke daratan mereka membangun Klenteng In Hok Kiong.

Belanda sempat membuka Pelabuhan Bagan Siapi-api sebagai salah satu kekuatan lautnya di Indonesia. Pada era 1900-1950 Bagan Siapi-api menjelma menjadi salah satu pelabuhan penting di Selat Malaka. Pelabuhan itu terkenal dengan hasil laut berupa ikan dan hasil bumi berupa karet alam. Di kota itu sempat bermunculan pabrik pengolahan karet untuk ban kendaraan perang. Namun, setelah perang dunia kedua, permintaan karet menurun tajam dan akhirnya beberapa pabrik karet di sana tutup.

Acara ritual bakar tongkang sendiri tidak langsung muncul ketika keluarga Ang mendaratkan kaki di Bagan Siapi-api. Acara itu diperkirakan baru dikenal pada tahun 1920-an atau sekitar 100 tahun setelah pendaratan pertama. Ketika itu pelabuhan Bagan Siapi-api telah menjadi pelabuhan yang sangat terkenal di Selat Malaka. Acara bakar tongkang merupakan wujud rasa terima kasih warga China perantau untuk rezeki yang berlimpah, terutama kepada Dewa Kie Ong Ya yang telah memberi petunjuk. Sumber lain menyebutkan, ritual bakar tongkang merupakan pemujaan untuk memperingati hari lahir Dewa Kie Ong Ya.

Pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, acara bakar tongkang sempat menghilang. Penguasa Orde Baru kurang suka dengan acara yang dibuat oleh masyarakat yang menganut agama Khonghucu. Bagan Siapi-api juga terisolasi dari dunia luar dan hanya memiliki akses jalan melalui laut. Baru sekitar delapan tahun ini Bagan Siapi-api dapat ditembus lewat jalan darat.

Amin Budiarjo, pengamat dan perancang arsitektur kota dari Institut Teknologi Bandung, dalam tulisannya di Kompas mengungkapkan, arsitektur kota Bagan Siapi-api mewarisi arsitektur China masa lalu. Material kayu dengan ukiran khas China dan struktur overstek yang bertumpang menunjukkan dominasi langgam arsitektur tersebut sejak awal berdirinya kota itu.

Pada kawasan komersial dijumpai keunikan morfologi bangunan berupa rumah toko (ruko) deret khas daerah pelantar. Bentuknya mirip rumah baba dari China, tapi materialnya didominasi oleh kayu yang merupakan kekhasan arsitektur Melayu. Ruko deret ini berlantai dua, merapat pada jalan.

Sejak era Presiden Abdurrahman Wahid, tradisi China dari agama Khonghucu kembali hidup. Acara bakar tongkang kembali diselenggarakan setiap tahun. Pada tahun 2008 ini acara bakar tongkang lebih meriah dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Seluruh kelenteng yang berjumlah 143 buah di Bagan Siapi-api ikut mengambil bagian.

Biaya yang dikeluarkan untuk menggelar acara ini tidak diketahui, tetapi kabarnya mencapai miliaran rupiah.

Buat warga China Bagan Siapi-api, ritual bakar tongkang lebih besar dibandingkan merayakan Tahun Baru Imlek. Saat Imlek banyak perantau yang tidak pulang, tetapi pada saat bakar tongkang keinginan mudik jauh lebih besar.

”Tadi saya baru bertemu dengan rombongan dari Jakarta. Mereka datang dengan mencarter sebuah pesawat Garuda hanya untuk melihat ritual bakar tongkang,” ujar Rusli Zainal, Gubernur Riau.

Tahun 2008 ini jumlah perantau yang kembali ke Bagan Siapi-api juga lebih besar. Menurut panitia, perantau berasal dari Singapura, Malaysia, China, Australia, Inggris, dan dari Tanah Air. Jumlah pengunjung yang hadir pada puncak bakar tongkang diperkirakan mencapai 30.000 orang. (SAH)

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Juni 2008

No comments: