-- Khaerul Anwar
RUANGAN berukuran 4 meter x 6 meter di pojok depan halaman rumahnya itu dijadikan perpustakaan pribadi sekaligus ruang kerja. Dari ruangan itulah, H Muhammad Tahir Alwi membangun proses kreatifnya. Ketimbang selaku pensiunan pegawai negeri sipil, ia justru lebih dikenal sebagai penulis dan pemerhati budaya Bima (Mbojo—yang mendiami Kabupaten Bima dan Dompu).
Pria berusia 68 tahun itu tinggal di Kelurahan Rabangodu, Kota Bima, Pulau Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB). ”Baru 2.000 judul buku yang saya koleksi di sini dan akan bertambah sepanjang ada uang untuk membeli buku,” ujar pria yang biasa dipanggil Tahir itu sambil terkekeh.
Buku-buku itu dibeli dari gaji pensiunnya sebagai karyawan Sekolah Perawat Kesehatan Bima, ada juga oleh-oleh dari anak dan rekannya. Sebagian buku lagi dibeli dari uang hasil menyewakan pakaian adat Bima dan rias pengantin yang dikelola istrinya, Hj Sri Nurhayati (50).
Tahir dikenal dengan karyanya seperti Kamus Bahasa Bima-Indonesia-Inggris dan Kamus Peribahasa Bima-Indonesia. Dia juga menerjemahkan cerita-cerita rakyat Bima, yang kemudian diterbitkan dalam bentuk buku. Hasil proses kreatifnya itu dijual di pasaran lokal Kota Bima dan Mataram, ibu kota NTB.
”Kelemahan kita pada budaya tulis. Umumnya ungkapan dan cerita rakyat hanya didengar, beredar dari mulut ke mulut, namun nyaris tak ada inisiatif untuk mencatatnya. Padahal, cerita dan ungkapan itu bernilai filosofis, juga cermin suatu puak,” tutur Tahir.
Jika kondisi itu dibiarkan, lambat laun bahasa Bima akan kehilangan penutur meski bahasa Mbojo termasuk bahasa dari tujuh daerah yang penuturnya lebih dari satu juta orang.
Hilangnya sebuah bahasa berarti kerugian besar bagi kebudayaan. Hilangnya bahasa Tambora, misalnya. Kepunahan itu akibat letusan Gunung Tambora (1815) di Pulau Sumbawa yang dahsyat dan memusnahkan hampir semua warganya.
”Kita tidak tahu apakah struktur sosial masyarakat saat itu sama dengan etnis Mbojo saat ini karena kita tidak sempat merekamnya,” katanya.
Berdasarkan telusur pustaka, penduduk Tambora memiliki bahasa tutur berbeda dengan etnis Mbojo, Samawa (Sumbawa), tetapi mirip dengan kelompok bahasa Monk Khmer di Kamboja.
Penduduk Tambora saat itu menyebut tiga sebagai nih, sedangkan pengguna bahasa Mbojo mengatakan tolu. Angka lima, enam, dan tujuh oleh warga Tambora dikatakan kutelin, batam, dan kumba, etnis Mbojo mengatakan lima, ini, dan pidu. Warga Tambora menyebut onayut, honori, dan sangkome untuk gadis, bapak, dan hidung, sementara hal sama oleh etnis Mbojo dikatakan dou siwe, ama, dan ilu.
Tahir tak ingin budaya itu hilang, apalagi di tengah fenomena sosial dewasa ini, di mana bahasa Mbojo ”bersaing” dengan bahasa Indonesia. ”Anak-anak umumnya menggunakan bahasa Indonesia sebagai bahasa pengantar karena lingkungan pergaulan menuntut demikian. Ataukah mungkin mereka (anak-anak) tidak diajarkan berbahasa Bima oleh orangtuanya,” ungkap Tahir.
Kalaupun orangtua mengajarkan, terkadang kosakata bahasa Bima itu ”salah tempat” bila dipraktikkan. Misalnya, ”saya naik sepeda”, yang dalam bahasa Mbojo terbiasa dikatakan oleh anak-anak sebagai nami ranente mu sapeda kepada kalangan yang lebih tua usianya. Kata nami mestinya diganti kata yang lebih pas: madadoho, meski juga berarti saya.
Tahir menunjuk perubahan sosial kini sangat jauh dari apa yang dicerminkan kalangan orang tua. ”Orangtua kami dulu sangat memegang kata-kata yang diucapkan. Kata-kata itu dibawanya sampai meninggal,” ucapnya menunjuk ungkapan nggahi rawi pahu (sejalannya kata dengan perbuatan).
Ia tak sepaham dengan argumentasi yang mengatakan, budaya seperti itu ”dekat” dengan feodalisme, nepotisme, dan kolusi. Katanya, dulu di Bima pun ada aturan hukum yang disebut Bandar Bima. Dalam aturan itu, pelanggaran hukum yang dilakukan kalangan bangsawan lebih tinggi sanksinya dibanding bila hal sama dilakukan rakyat biasa.
”Bila bangsawan dan rakyat biasa sama-sama terbukti mencuri ayam, kalangan bangsawan dihukum dua kali lebih berat dibanding rakyat biasa,” ungkap Tahir.
Namun, sekarang, kalangan pejabat dan kerabatnya yang terlibat kasus hukum justru diberi ”keringanan”. ”Lalu, siapa yang feodal, nepotis, dan kolutif? Kita sekarang ini ataukah orang tua kita dulu?” katanya.
Mendatangi kampung
Untuk mewujudkan niatnya itu, ia rajin mendatangi orang tua di kampung-kampung. Tahir memburu kata dan ungkapan yang jarang diucapkan banyak orang. Apalagi waktu itu dia menjadi ”orang lapangan” sebagai karyawan Dinas Pembasmian Malaria (kini Dinas Kesehatan) Bima.
Kegemarannya pada sastra kian membuka jalan bagi Tahir untuk mewujudkan obsesi. Tak jarang ia memperbaiki kata dan ungkapan yang sudah dihimpun sebab kata yang ditulis dalam catatan itu kurang tepat ejaannya. Ia pun telaten mengubah nomor urut kata-kata, disesuaikan urutan alfabetnya.
Meski perbendaharaan kata sudah terhimpun, dia belum bisa menyusun dan menerbitkannya menjadi kamus karena waktunya tersita untuk tugasnya sebagai pegawai negeri sipil.
”Saya mulai fokus menyusun kamus tahun 1996, setelah pensiun,” tuturnya menunjuk tiga bundel naskah asli berisi kata dan ungkapan bahasa Bima yang dia kumpulkan.
Tahir tak punya pengetahuan menyusun kamus. Ia hanya berpedoman pada pola penyusunan Kamus Inggris-Indonesia karya John M Echols dan Hassan Shadily. Hari-harinya kemudian diisi dengan mengoreksi dan menyusun kata dan ungkapan. Ketika bosan menyerang, ia mengalihkannya dengan menulis cerita pendek dan puisi.
Walhasil, tahun 2003, atas bantuan penerbit di Yogyakarta, Tahir menerbitkan Kamus Bahasa Bima-Indonesia-Inggris berisi 12.339 kata, termasuk 4.747 kata ungkapan. Sementara Kamus Peribahasa Bima- Indonesia diterbitkan pada tahun 2008.
Dari proses kreatifnya, lahir pula cerita pendek seperti La Paramau sebanyak tiga seri, yang dimuat bersambung pada koran lokal di Bima. Lewat tulisan, ia berharap khalayak, terutama generasi muda, bisa dan mau mengenal akar budaya sendiri.
Dunia sastra sebenarnya sudah akrab dengannya, sejak ia masih anak-anak. Tahir begitu terkesan dengan buku Tenggelamnya Kapal Van Der Wijck karya Buya Hamka. Ketika merantau ke Yogyakarta, dia rajin berkunjung ke perpustakaan untuk memenuhi rasa dahaganya atas bacaan sastra. Pengalaman itu, dalam bentuk berbeda, ingin dia tularkan kepada generasi muda.
Sumber: Kompas, Senin, 30 Juni 2008
No comments:
Post a Comment