Friday, June 27, 2008

Teropong: Cendekiawan Berdedikasi

Pengantar Redaksi

Intelektual sejati tak mungkin bisa melepaskan diri dari berbagai realitas sosial yang menjadi persoalan masyarakat. Melalui kontribusi pemikiran, ia menawarkan alternatif, ia mencoba menyampaikan solusi, bahkan ia menjadi pendamping bagi masyarakat yang sedang kebingungan. Cendekiawan bukanlah mereka yang terbenam dalam menara gading.

Lima cendekiawan yang semuanya berusia di atas 70 tahun dipilih ”Kompas” sebagai Cendekiawan Berdedikasi. Salah satu aktivitas yang tak pernah mereka tinggalkan adalah menulis, menyebarkan gagasan kepada khalayak. Gagasan untuk mencari jawaban atas fenomena keseharian atas perjalanan sejarah masyarakat dan bangsa Indonesia. Dan, salah satu kanal untuk menyebarkan gagasan adalah rubrik Opini Harian ”Kompas”.

Penghargaan kepada lima cendekiawan itu diserahkan Pemimpin Umum Harian ”Kompas” Jakob Oetama Jumat (27/6) pagi ini, di Jakarta. Penghargaan diberikan berkaitan dengan ulang tahun ke-43 Harian ”Kompas”. Berikut gambaran singkat profil mereka, pekerja yang sepi, asketis, namun produktif.

***

Soetandyo Wignyosoebroto
Terinspirasi Khalil Gibran

Nama Soetandyo Wignyosoebroto tak bisa dilepaskan dari belantara intelektual Indonesia. Meski usianya sudah menjelang 76 tahun, ia tak pernah loyo. Guru besar emeritus Universitas Airlangga Surabaya itu seakan mematahkan cap tentang ”orang sepuh”. Bukan hanya kondisi fisiknya yang masih terlihat bugar, tetapi yang lebih penting adalah semangatnya yang energik serta gagasannya tentang demokrasi, keadilan, dan hukum terus bergulir. Keberpihakannya pada mereka yang lemah begitu jelas.

Maret lalu, misalnya, ia memberikan ”kuliah umum” bagi korban lumpur Lapindo di tempat pengungsian di Pasar Baru Porong, Sidoarjo. Ia menyoroti Peraturan Presiden Nomor 14 Tahun 2007 yang dinilai melanggar hukum karena memaksakan kehendak kepada warga untuk menjual tanah mereka kepada Lapindo Brantas Inc. Kuliah itu dimaksudkan untuk menyadarkan pengungsi akan hak mereka dan cara memperjuangkannya.

Keberpihakannya membela orang kecil juga dilakukan terhadap pedagang kaki lima (PKL) yang mangkal di dekat rumahnya di kawasan Kampus Unair, Jalan Dharmawangsa, Surabaya. Ketika PKL digusur, ia malah membela PKL yang sebetulnya mengganggu lingkungan rumahnya itu. Sebaliknya, ia melarang petugas yang melakukan penertiban. Buat Soetandyo, gangguan PKL yang diterimanya itu belumlah apa-apa dibandingkan dengan perjuangan PKL mencari makan demi hidup. Rasa kemanusiaannya mengalahkan gangguan yang dialaminya.

Bagi anggota Komnas HAM 1993-2002 itu, pensiun sejak 10 tahun silam tak lantas ”berhenti berpikir”. ”Kegiatan saya tidak ada, kecuali menyibukkan diri sendiri,” canda pria kelahiran 19 November 1932 ini. Tetapi faktanya, ketika banyak orang berpikir istirahat pada masa pensiun, guru besar sosiologi ini malah disibukkan banyak kegiatan.

Di tengah aktivitas yang padat, ia menjaga agar kondisi fisiknya tetap fit. Hingga kini, Soetandyo konsisten menggenjot sepeda, baik ke kampus, ke bank, atau belanja ke mal. ”Saya enggak punya mobil lagi, sudah diambil anak-anak. Saya suka bersepeda, saya, kan, sudah hidup sendiri, istri sudah pamit duluan (meninggal), anak-anak sudah mandiri semua, jadi apa pun saya kerjakan sendirian,” katanya.

Ia prihatin dengan karut-marutnya negeri ini. Karut-marut di negeri ini akibat terlalu banyak yang mengurusi hal besar saja. Mereka melupakan memperbaiki hal kecil, padahal hal kecil itulah yang bisa membangun hal-hal besar. Kuat-rapuhnya fondasi bangsa ini tak lepas dari fondasi yang ada di rumah setiap warga. ”Bagi saya, kita harus mulai dari yang kecil. Demokrasi, misalnya, harus dimulai dari family, democracy on the heart of the family. Apa yang saya lakukan adalah menyelamatkan negaraku sendiri, negaraku itu bukan negaranya Susilo Bambang Yudhoyono dan Jusuf Kalla, tapi ’negaraku’ itu keluargaku,” katanya.

Karena itulah, ia mengajarkan, kalau kita tidak bisa memperbaiki pada tataran tinggi, bisa dilakukan pada tataran di mana kita memiliki otoritas. Katakanlah soal peredaran narkoba. Jika tidak bisa mengendalikan peredaran sabu-sabu, maka yang bisa dilakukan adalah menjaga agar orang-orang yang disayangi tidak terkena. ”Kalau Anda bisa mengelola sesuatu yang kecil, maka akan bisa mengelola yang besar. Saya diilhami syair Khalil Gibran, ketika melihat dunia saat malam. Tuhan menciptakan malam, tapi saya bisa menyalakan lilin. Dunia boleh gelap, tapi lingkungan sekitar saya tetap terang. Dunia saya yang kecil tetap terselamatkan,” katanya.

Thee Kian Wie
Kecintaan pada Ilmu

Sudah 49 tahun Thee Kian Wie menjadi peneliti dan pengajar dengan bidang keahlian utama pada sejarah ekonomi dan perkembangan industri. Pensiun sebagai pegawai negeri sipil di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) tahun 2000 silam tak menghentikan minatnya berkarya.

Thee (73) masih aktif sebagai staf ahli Pusat Penelitian Ekonomi LIPI, peneliti tamu di sejumlah institusi, antara lain Australian National University dan Bank Pembangunan Asia. Ia juga tetap sibuk menulis dan mengedit beragam buku dan jurnal ilmiah. ”Saya sangat menikmati pekerjaan saya,” ujar Thee. Kesabaran dan wajah yang cerah saat membimbing peneliti muda atau mahasiswa, ia menyebut kegiatan ini dengan istilah ”bertukar pikiran”, mencerminkan kecintaan Thee pada profesi keilmuan itu.

Sikap Thee yang rendah hati membuat jarak antargenerasi tak terasakan saat berbincang dengan peraih doktor honoris causa dari Australian National University ini. ”Bergaul dengan orang-orang tua itu membosankan, yang dibicarakan hanya penyakit, sedangkan orang muda masih bicara tentang masa depan,” ujarnya.

Tentang kerendahan hati ekonom senior itu, Direktur Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia M Chatib Basri bertutur, Thee kerap mengaku lemah dalam penguasaan model kuantitatif untuk analisa ekonomi. Meski begitu, ia bisa memperkirakan dengan tepat hasil analisa kuantitatif yang dengan susah payah diolah para ekonom muda.

”Kami sibuk dengan perhitungan matematis yang rumit untuk sampai ke analisa itu, sementara Pak Thee begitu saja memperkirakan hasilnya. Sense-nya luar biasa karena jam terbang yang sangat panjang,” ujar Chatib.

Sebagai peneliti, Thee jatuh hati pada sejarah ekonomi. Topik disertasi doktoral Thee di University of Wisconsin, AS, tergolong kajian langka di Asia Tenggara. ”Kita mempelajari sumber-sumber pertumbuhan ekonomi pada suatu masyarakat di masa lalu, sekaligus memahami apa yang terjadi pada kelompok-kelompok penduduk di dalamnya melalui sejarah ekonomi. Pengetahuan itu sangat berguna untuk memahami apa yang terjadi pada perekonomian masyarakat itu sekarang,” ujarnya.

Thee menilai, kini justru terdapat kegamangan dalam menarik dan mengelola modal asing di Indonesia. ”Sikap antiasing itu mungkin cerminan dari kecurigaan kita pada diri sendiri bahwa di negeri ini semua gampang disogok. Padahal, di China dan Singapura yang lebih pandai memanfaatkan modal asing, misalnya, tidak lantas pemerintahnya bisa dikendalikan pemodal asing,” ungkapnya.

Prof Bungaran Saragih
Pemikir Pembangunan

Tidak berlebihan kiranya Prof Bungaran Saragih, mantan Menteri Pertanian yang juga guru besar di Institut Pertanian Bogor, menyebut Prof Dr Ir Sajogyo sebagai bapak ilmuwan Indonesia. Ungkapan kekaguman itu merujuk pada peran Sajogyo dalam meletakkan dasar pemikiran pembangunan pertanian dan pedesaan serta membina kader peneliti untuk memperkuat pembangunan di awal pemerintah Orde Baru serta sikap hidupnya.

Konsep penentuan batas garis kemiskinan dengan menghitung pendapatan setara beras, usaha perbaikan gizi keluarga (UPGK), serta program Inpres Desa Tertinggal (IDT) merupakan beberapa kebijakan pemerintah yang mengadopsi gagasan Sajogyo terkait pembangunan masyarakat Indonesia.

Boleh dikatakan Sajogyo adalah pelopor pengembangan aktivitas penelitian sosial ekonomi pertanian dan pedesaan di Indonesia. Ia mendidik kader peneliti di bidang sosial ekonomi, baik lewat kiprahnya sebagai pengajar di Institut Pertanian Bogor (IPB) maupun lewat pelbagai institusi, antara lain Survei Agro Ekonomi, Perhimpunan Ekonomi Pertanian Indonesia, juga Yayasan Agro Ekonomika.

Sajogyo lahir 21 Mei 1926 di Karanganyar, Kabupaten Kebumen, Jawa Tengah. Dalam percakapan dengan Kompas, Selasa (24/6), Sajogyo bicara tentang kemiskinan. Ia menyatakan, kemiskinan yang berlangsung sejak lama sampai kini belum kelihatan selesai.

Sajogyo juga mengungkapkan perlunya menyederhanakan indikator kemiskinan. Jika sudah muncul angka bagaimana menafsirkan dalam bahasa yang dimengerti orang dinas di kabupaten, jangan hanya dimengerti oleh orang Badan Pusat Statistik (BPS).

Ia menyayangkan keterlibatan BPS dalam pendataan orang miskin calon penerima bantuan langsung tunai (BLT) sampai di tingkat RT. ”Tugas BPS adalah mengukur berbagai hal yang sesuai keperluan pemerintah untuk definisi yang umum, untuk perencanaan makro. Menghitung orang miskin di tingkat RT bukan tugas BPS, tapi Departemen Sosial dan dinas sosial. Datanya pun harus up to date,” katanya.

Sajogyo tidak setuju dengan pemberian BLT yang dinilai tidak memandirikan. Ia memberi contoh, orang-orang Minang merantau untuk memperbaiki hidupnya. Mereka berusaha secara mandiri dan tolong-menolong, misalnya dengan mendirikan rumah makan Padang. Hasilnya untuk membangun kampung. ”Kalau orang Minang di kampungnya diberi BLT itu malah merusak,” katanya.

Seharusnya pemerintah melakukan program seperti Inpres Desa Tertinggal (IDT), yaitu memberikan modal kerja agar penduduk miskin mampu meningkatkan pendapatan dari pencarian nafkah.

Bungaran Saragih menuturkan, selain meneliti, Sajogyo juga terlibat langsung dalam aplikasinya di masyarakat. Tahun 1960-an Sajogyo menganjurkan adanya badan perencanaan pembangunan di tingkat kabupaten. Ia membuat proyek percontohan di Sukabumi. Hasilnya diadopsi oleh sejumlah kabupaten lain, kemudian dijadikan kebijakan nasional. Sajogyo juga melakukan penelitian terkait pangan dan gizi. Pada masa itu ia sudah menyatakan bahwa masalah pokok pembangunan adalah kemiskinan.

Perhatiannya membuahkan konsep garis kemiskinan. Juga upaya untuk mengatasi kemiskinan yang kemudian diadopsi pemerintah dengan program IDT.

Dalam menjalani hidup, demikian Bungaran Saragih, Sajogyo satu kata dan perbuatan. Ia berjuang memberantas kemiskinan dan tidak menggunakan kemiskinan untuk mencari kekayaan atau kedudukan. ”Hidupnya sangat sederhana walau sebenarnya dengan pengetahuan, pengalaman, pengaruh, dan wibawanya bisa dengan mudah mendapatkan banyak materi,” kata Saragih menggambarkan gurunya itu.

Kini Sajogyo tinggal di Jalan Malabar 22 Bogor yang sekaligus menjadi kantor Sajogyo Institute. Lembaga yang didirikan tahun 2004 untuk melakukan penelitian dan pendampingan penduduk miskin di Indonesia dalam peningkatan keterampilan serta permodalan melalui kredit mikro.

Mudaham Taufick Zen
Khawatirkan Negara Gagal

Usia sepuh (77) tidak menghalangi geolog kawakan Mudaham Taufick Zen beraktivitas. Selain mengajar, anggota majelis guru besar Institut Teknologi Bandung (ITB) ini juga bekerja di sebuah perusahaan asuransi di Jakarta. Tugasnya memperkirakan dampak gempa terhadap infrastruktur suatu kota.

Setiap akhir pekan, barulah ia dapat menikmati waktu senggang di rumahnya yang di asri dan banyak pepohonan di kawasan Bandung Utara. Di rumah ini pula, MT Zen produktif menulis. ”Di Jakarta, saya tidak bisa menulis…,” ujarnya. ”Di kawasan Bandung Utara, karena udaranya segar, gagasan mengalir lancar,” kata pendiri Jurusan Teknik Geofisika ITB ini.

Meski latar belakang pendidikannya geologi dan geofosika, MT Zen kelahiran Mentok, Bangka 14 Agustus 1931, ini, mahir menulis berbagai masalah sosial dan sastra. Maklum, minatnya memang sangat luas.

Selain mendalami geologi khususnya kegempaan, dia juga menyukai sastra, filsafat, musik klasik, bahasa, dan olahraga. Di bidang musik, misalnya, penyandang Bintang Mahaputra ini paham betul karya-karya Bach, Mozart, dan Beethoven.

Di bidang olahraga, dia masih aktif naik gunung, bela diri aikido, menyelam, dan renang 7 kilometer seminggu dua kali. Soal bahasa, jangan ditanya. Ia menguasai lima bahasa asing, yakni Inggris, Belanda, Jerman, Perancis, dan Jepang. Enam buku dan ratusan karya ilmiah di jurnal-jurnal ilmiah juga telah lahir dari tangannya. ”Menulis itu menjadi kebutuhan,” kata guru besar di perguruan tinggi terkemuka di Amerika Serikat dan Wina, Austria, ini.

Satu hal yang mencemaskan MT Zen adalah kekhawatiran Indonesia menjadi negara yang gagal seperti halnya Somalia dan Dharfur Sudan, di sana orang saling membunuh. Tidak ada aturan. ”Indonesia bisa menjadi negara yang gagal jika tidak bisa survive di tengah kultur baru abad ke-21,” ujarnya. Menurut dia, abad ke-21 memiliki kultur tersendiri karena segala sesuatu akan bersifat maya, misalnya modal maya dan industri maya.

Mempersiapkan Indonesia menghadapi abad ke-21, dalam pandangan MT Zen, tidak bisa ditunda-tunda lagi. Arus globalisasi dengan segala dampaknya terus bergulir. Di sisi lain, Indonesia dihadapkan pada berbagai masalah internal yang sangat berat, terutama kesalahan dalam pengelolaan lingkungan alam dan kegagalan sumber daya insani.

Di bidang sumber daya insani, misalnya, sistem pendidikan Indonesia gagal menciptakan manusia berkarakter, yaitu yang punya harga diri, kebanggaan diri, berani bertanggung jawab, dan punya etika.

Kondisi ini diperparah dengan merebaknya korupsi dengan cara yang tidak konvensional serta dalam jumlah yang besar, bahkan mencapai triliunan. ”Karena itu, pemberantasannya pun harus dengan cara yang tidak konvensional. Jika perlu, dengan potong ’lehernya’ sebagai shock therapy,” kata anggota Akademi Ilmu Pengetahuan New York ini.

Meski Indonesia sudah dalam kondisi parah, MT Zen tetap keyakin Indonesia masih punya masa depan yang cerah. Langkah yang paling utama adalah Indonesia harus dipimpin oleh orang yang berkarakter, punya keberanian mengambil tindakan, punya inisiatif dalam pembangunan serta memiliki visi jauh ke depan. ”Kalau tidak, Indonesia akan celaka,” ujarnya. Berkebalikan dari kondisi di atas yang serba muram, MT Zen menegaskan, Indonesia sebenarnya memiliki semuanya yang dapat membuatnya menjadi bangsa yang besar, negara adidaya. Sayangnya, semua modal positif itu saat ini diurus secara keliru.

Prof Dr Satjipto Rahardjo SH
Tahun Menulis Artikel

Prof Dr Satjipto Rahardjo SH (78), guru besar emeritus sosiologi hukum Fakultas Hukum Universitas Diponegoro Semarang itu, salah satu akademisi yang percaya bahwa menulis karya ilmiah populer di surat kabar tidak kalah pentingnya dengan menulis di jurnal ilmiah atau buku. Ia pun membuktikannya dengan kesetiaan mendalam selama 33 tahun menulis artikel di berbagai surat kabar, termasuk harian Kompas.

Pak Tjip, sapaan akrab Prof Dr Satjipto Rahardjo, mengenang ketika koleganya dari Amerika Serikat, yaitu ahli hukum Indonesia almarhum Prof Dr Daniel S Lev, dilarang masuk ke Indonesia pada masa kekuasaan Presiden Soeharto tahun 1980-an. Selaku ahli Indonesia, Prof Lev membutuhkan bahan-bahan dari Indonesia untuk kajiannya. Salah satunya adalah artikel-artikel Pak Tjip di surat kabar.

”Saya tidak bisa menulis lagi soal hukum Indonesia karena tidak bisa mencium aromanya. Aroma itu saya baca dari tulisan-tulisan Anda,” tutur Pak Tjip, mengutip Prof Lev. ”Aroma” itulah, kata Pak Tjip, yang membedakan tulisan ilmiah populer dengan tulisan ilmiah murni di jurnal atau buku. Pokok pikiran yang hanya tiga-empat baris di tulisan ilmiah murni bisa menjadi 10 baris di tulisan ilmiah populer. Dengan menulis di surat kabar, akademisi bisa membagi pengetahuannya ke publik yang luas, tidak terbatas seperti pada jurnal ilmiah.

Ia masih menyimpan dengan rapi tulisan artikelnya yang dimuat di harian ini. Ketika ditanya artikel pertamanya di Kompas, ia langsung menunjukkannya. Selaku Ketua Pusat Studi Hukum dan Masyarakat FH Undip ia menulis artikel ”Menyongsong Simposium Hukum dalam Masa Transisi”, yang dimuat 11 Januari 1975. Honor tulisan waktu itu Rp 5.000.

Sejak itu, tulisan demi tulisan meluncur dari pikiran dan ketikan tangannya sendiri. Tahun 1975 itu ia menulis 34 artikel. Namun, jumlahnya agak menurun pada tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 1979, misalnya, hanya lima artikel yang ditulisnya untuk Kompas. ”Tahun 1975 itu saya lagi seneng-seneng-nya,” ujar alumnus FH UI tahun 1960 dan doktor hukum Undip tahun 1979 itu.

Hingga sekarang, paling tidak yang tercatat di database Pusat Informasi Kompas dan catatan Pak Tjip, sudah 367 artikel yang ditulisnya. Artikel yang terakhir dimuat Kompas adalah ”Kini Saatnya Memunculkan Ketertiban” pada 23 Juni 2008.

Pak Tjip juga tenang saja ketika tahun 2005 ruang untuk penulisan artikel dipersingkat karena terjadi redesain surat kabar. Sebelumnya artikel itu bisa panjang-panjang, bahkan bisa berseri. ”Saya menikmati saja. Dengan adanya batasan kolom itu, kita juga bisa memadatkan pikiran kita,” ujarnya.

Di antara tumpukan buku itu, termasuk sejumlah buku karyanya sendiri. Selain buku kumpulan tulisan artikel, beberapa buku memang khusus dibuat dengan ide orisinal. Buku Ilmu Hukum, terbitan Penerbit Alumni, misalnya, yang menjadi buku teks mahasiswa hukum, telah dicetak enam kali. Buku terbarunya akhir tahun 2007 Biarkan Hukum Mengalir terbitan Penerbit Buku Kompas. Buku itu juga sudah dicetak ulang. (Mohammad Subhan/Subur Tjahjono/Nur Hidayati/ Try Haryono/Brigitta Isworo Laksmi/Atika Walujani)

Sumber: Kompas, Jumat, 27 Juni 2008

No comments: