Sunday, June 29, 2008

Wacana: Regionalisme Sastra Indonesia
-- Sudarmoko*

PEMBICARAAN mengenai regionalisme sastra dapat ditemui secara implisit dalam sejumlah kritik sastra Indonesia. Nilai positif dari pembicaraan ini memberikan kemungkinan baru dalam melakukan kajian terhadap sastra Indonesia. Untuk beberapa hasil penelitian yang telah dilakukan, baik secara tematik maupun geografis, sebenarnya tema seperti ini menjadi lokus-lokus yang dapat dirangkai menjadi kajian yang komprehensif atau setidaknya sebagian besar peluang penelitian atau penulisan kritik sastra Indonesia dapat diidentifikasi.

Para sastrawan Indonesia telah melampaui batasan-batasan latar belakang budaya dan geografis. Mereka berkarya dalam sebuah ranah yang bernama Indonesia, baik dalam artian bahasa, pemikiran, maupun semangat penjelajahan sumber penciptaannya. Meski demikian, memang dapat ditemui sejumlah kesan dan ciri budaya yang melekat dan hingga saat ini dijadikan acuan dalam penulisan sejumlah leksikon sastra Indonesia.

Beberapa buku leksikon dan bibliografi memuat sejumlah sastrawan yang hidup dan berkarya di wilayah tertentu, seperti di Jabodetabek, Kalimantan, atau Sumatera Barat. Meski demikian, data base yang dimiliki masing-masing daerah belum selengkap yang diharapkan banyak pihak. Karya-karya yang pernah dihasilkan banyak yang belum didata. Persoalan yang juga menjadi kendala adalah bagaimana kita dapat mengakses informasi dan menemukan karya-karya yang pernah dihasilkan dalam perjalanan sastra Indonesia. Saya menduga banyak kritikus yang menyimpan karya-karya para penulis sastra, baik dari penelusuran di berbagai tempat, kiriman penerbit, maupun hadiah dari para penulisnya sendiri.

Selain itu juga masih ada sejumlah perpustakaan, koleksi, dan taman bacaan yang menyimpan karya-karya sastra. Hanya saja, sistem kataloginya masih sederhana, belum bisa diakses secara umum, kecuali beberapa perpustakaan yang sudah melakukan perbaikan dalam sistem katalogi ini. Seandainya hal ini dapat diperbaiki, tentu akan memberikan angin segar dalam kajian sastra Indonesia.

Regionalisasi dan pusat penelitian

Mungkin kita dapat melakukan perbandingan dengan Perpustakaan KITLV Leiden yang menjadi rujukan penting dalam kajian Indonesia, termasuk sastranya. Selain program penelitian, penerbitan, dan seminar, perpustakaan ini menyediakan layanan perpustakaan yang lebih dari cukup. Dengan demikian, ia menjadi salah satu lokus penting bagi peminat kajian sastra Indonesia. Nilai pentingnya tak hanya dinikmati para pengkaji, tetapi juga para pengelolanya.

Berkaitan dengan hal ini, kajian yang dilakukan para peneliti kita masih terbatas dalam pergerakannya, baik karena masalah finansial dalam melakukan penelitian maupun karena alasan lain. Mereka lebih banyak melakukan penelitian dalam lingkung akademis dan wilayahnya masing-masing. Dilihat dari obyek kajian, memang teks karya sastra dapat dilepaskan dari batasan-batasan geografis. Namun, dalam kebutuhan yang lebih dari itu, seperti kondisi sosiologis dan perkembangan budaya, diperlukan adanya keleluasaan dalam penjelajahan yang lebih luas dan makro.

Dari kondisi seperti inilah diperlukan semacam regionalisasi dalam melakukan kajian sastra Indonesia, dalam kerangka yang lebih luas untuk kajian sastra Indonesia. Para pengkaji sastra Indonesia dapat memfokuskan diri menggali kekayaan sastra Indonesia dalam sebuah lingkungan tertentu, dengan tidak melupakan konstelasi sastra Indonesia secara umum. Selain kajian, pendokumentasian karya sastra dan sumber-sumber referensi penting dalam sebuah wilayah juga menjadi agenda penting, terutama dalam berbagi informasi mengenai referensi apa saja yang tersedia dan bagaimana melengkapi kekurangan yang ada.

Rumah Puisi Taufiq Ismail

Taufiq Ismail berencana untuk membangun Rumah Puisi di Aie Angek, Tanah Datar, Sumatera Barat. Dalam launching Rumah Puisi yang dilakukan berkaitan dengan acara 55 tahun Taufiq Ismail dalam sastra Indonesia, dugaan saya ada kaitan Rumah Puisi dengan program SBSB Horison, keberadaan majalah Horison, dan pilihan pembangunan ini yang berada di luar Jakarta serta penempatannya yang bukan di Padang sebagai pusat Sumatera Barat, tetapi di tempat yang relatif berada di tengah-tengah Sumatera Barat sehingga memberikan akses yang lebih bagi seluruh masyarakat di Sumatera Barat.

Di luar rencana dan inisiatif pilihan tempat, sebenarnya di Sumatera Barat ada beberapa lokasi yang sudah tersedia dan memadai untuk dijadikan kantong sastra ini. Sastrawan Indonesia tentu sudah mengenal INS Kayutanam yang pernah digunakan sebagai tempat Pertemuan Sastrawan Nusantara 1997. Selain itu juga ada Genta Budaya dan Taman Budaya di Kota Padang atau Perpustakaan Bung Hatta di Bukittinggi yang diobsesikan menjadi salah satu pusat intelektual di Sumatera Barat.

Sampai saat ini saya hanya membayangkan apakah nanti Rumah Puisi ini akan menjadi sebuah tempat yang hidup dengan berbagai aktivitas dan program sastra dan intelektualnya, tempat sastrawan tinggal beberapa bulan dan menulis karya, melakukan dialog dan seminar, tempat sastrawan dan peneliti sastra membaca buku-buku koleksi Taufiq Ismail yang akan dipindahkan ke sana, tempat kunjungan para guru dan siswa, sastrawan dan artis yang meramaikan SBSB akan datang dan menulis atau berlatih kesenian, para sastrawan mempertunjukkan karya, dan sebagainya.

Jika dulu STA menghibahkan uang asuransi kecelakaan pesawatnya untuk membangun Toyabungkah, maka sekarang Taufiq Ismail menghibahkan uang dari Habibie Award untuk Rumah Puisi ini. Apakah dari rencana ini kemudian juga akan membawa resonansi lain dalam kajian sastra Indonesia, dengan mengalihkan pandangan ke berbagai daerah lain, mendalami fenomena sastra di daerah, mengapresiasi kehidupan sastra di daerah, dan menjadikan daerah sebagai basis dalam kajian yang akan dilakukan. Regionalisasi sastra Indonesia, karena itu, menjadi sebuah wacana yang perlu diperhatikan.

* Sudarmoko, Peneliti di Pusat Penelitian Sastra Indonesia, Fakultas Sastra Universitas Andalas, Padang

Sumber: Kompas, Minggu, 29 Juni 2008

No comments: