Sunday, January 31, 2010

[Buku] Mahathir dan Pertaruhan Politik Malaysia

-- Alfitra Salamm*

Selama 22 tahun kepemimpinannya, Mahathir Mohamad telah mengubah wajah Malaysia. Namun, corak kepemimpinannya yang visioner itu belum mampu mewujudkan bangsa Malaysia yang besar tanpa dibayang-bayangi politik rasial.

KOMPAS/PRIYOMBODO

Kepemimpinan Mahathir diakui memang spektakuler. Dalam politik Asia Tenggara, Mahathir mendapat julukan ”Soekarno Kecil” yang mampu memberi corak bukan saja dalam kepemimpinan nasional Malaysia, tetapi juga sangat diperhitungkan dalam percaturan politik internasional.

Sejak terjun dalam politik tahun 1959, Mahathir memperlihatkan sikap ”kurang ajar” yang selama ini dianggap tabu dalam politik Malaysia. Melalui bukunya, The Malay Dilemma, yang kemudian dilarang oleh Tunku Abdul Rahman (hal 28), ia menjadi tonggak sejarah dalam pemikiran perubahan masyarakat Melayu. Dalam kajian politik Malaysia, buku tersebut dianggap sebagai pembuka jalan untuk mengetahui perjalanan politik Malaysia ke depan. Kekurangajarannya itu terlihat bahwa ia sering keluar dari pakem-pakem gaya kepemimpinan Melayu yang santun, sabar, dan hati-hati. Bahkan, beberapa kebijakannya dianggap sangat kontroversial dan ”tidak Melayu”. Ia biasa bicara blak-blakan, bahkan tidak jarang menyerang Barat (Amerika Serikat). Suatu hal yang hampir tidak pernah dilakukan pemimpin Indonesia, kecuali Soekarno.

Buku Barry Wain ini merupakan rekaman seorang jurnalis terhadap perjalanan kepemimpinan Mahathir. Ada tiga bagian yang semua membicarakan secara kritis peran Mahathir sebagai ”designer” Malaysia hingga menjelang perpecahan dalam politik UMNO yang ditandai dengan konflik antara Mahathir dan Anwar Ibrahim.

Konflik berkepanjangan ini menyisakan pertanyaan seberapa jauh sebenarnya keberhasilan Mahathir mewujudkan sebuah bangsa Malaysia. Buku ini mencatat secara detail peristiwa dan fakta politik sehingga bisa dikatakan sebagai ”grounded research”. Namun, bagi para pembaca yang haus akan teori-teori politik, di dalam buku ini tidak akan dijumpai. Sekalipun demikian, sebagai referensi kajian politik Malaysia, buku ini patut menjadi acuan penting.

Tokoh revolusioner

Mahathir memang dianggap sebagai tokoh revolusioner yang mampu mengubah mentalitas dan kultur masyarakat Malaysia. Keinginan menjadikan Malaysia nomor wahid merupakan obsesinya yang muncul dalam jargon sosial seperti ”Malaysia Boleh” (hal 183). Nasionalisme Malaysia tampaknya juga mulai tumbuh pada era Mahathir, meskipun dalam beberapa hal semangat ini sangat semu.

Meskipun dianggap ”relatif stabil”, selama kepemimpinan Mahathir sering terjadi gejolak politik, seolah Mahathir sedang mempertaruhkan jati diri ”ketuanan Melayu” yang menjadi dasar politik multirasial Malaysia. Bahkan, ada kesan ia ingin memformat ulang bentuk negara Malaysia menjadi sebuah negara bersatu, stabil, dan modern. Namun, pada era Mahathir pula benih-benih perpecahan UMNO mulai terlihat.

Terbentuknya puak-puak Melayu tampaknya merupakan gejala biasa pada era Mahathir sehingga UMNO hampir terancam hilang dalam politik Malaysia. Perlu dicatat bahwa kepemimpinan Mahathir di UMNO bukanlah tanpa cacat. Dalam politik Malaysia, ia dianggap telah ”mematikan” tiga generasi yang seharusnya ditandai dengan perubahan kepemimpinan nasional. Ini dapat dilihat ketika Musa Hitam, Gafar Baba, Anwar Ibrahim, yang ketika menjadi wakil perdana menteri, gagal menjadi orang nomor satu di Malaysia.

Di sisi lain, melalui Look East Policy, Mahathir menginginkan bukan saja berbagai proyek industri raksasa, industri otomotif Proton misalnya, tetapi juga menginginkan perubahan mentalitas birokrat Melayu. Kedisiplinan dan kemampuan bersaing baik dalam mengatasi ketertinggalan etnis Melayu dengan etnis lain maupun bertarung dalam dunia internasional menjadi perhatiannya.

Terbukti, Dasar Ekonomi Baru (New Economic Policy), dasar kebijakan ekonomi Malaysia sejak tahun 1971, berhasil membawa perubahan. Penguasaan ekonomi orang Melayu telah mendekati 30 persen. Meskipun hal ini juga diperkuat oleh kebijakan-kebijakan ekonomi Mahathir yang memprioritaskan orang Melayu, baik itu melalui perbankan, perlindungan bisnis orang Melayu maupun bentuk- bentuk kebijakan lainnya yang sebenarnya sangat rasialis (hal 124). Kini pengusaha Melayu yang sebelumnya tidak mendapat tempat sekarang sudah patut diperhitungkan.

Meskipun bukan murni ide Mahathir, karena sejalan dengan visi PBB, Visi 2020 sebagai kelanjutan dari Dasar Ekonomi Baru (DEB) memperkuat posisi ekonomi Malaysia. Perubahan besar dalam bidang ekonomi, pertanian, perbankan, dan pengembangan infrastruktur menjadikan Malaysia berbeda sama sekali. Kehadiran Putra Jaya sebagai pusat birokrasi Malaysia—dengan supermultimedianya—juga membuat Malaysia sebagai negara yang efisien dan efektif.

Terbentuknya kelas menengah sebagai keberhasilan DEB secara tidak langsung memang membawa dampak terhadap proses pertumbuhan politik Malaysia. Salah satu yang mencolok adalah munculnya politik uang dalam beberapa proses politik internal UMNO, terutama dalam suksesi kepemimpinan nasional. Tanpa disadari sejak era Mahathir-lah politik uang menjadi panglima dalam pergantian kepemimpinan nasional. Politik uang ini bukan saja merusak sendi-sendi demokrasi, tetapi telah mempertajam keretakan politik nasional. Dapat dikatakan hampir pada setiap kongres UMNO, perpecahan elite Melayu selalu membayangi. Mungkin tidak terlalu salah jika dikatakan Mahathir mampu bertahan dari kekuasaannya justru melalui politik uang tersebut.

Politisasi Islam

Keberhasilan Mahathir juga dapat dilihat dalam menjadikan Islam sebagai komoditas politik dalam melawan rivalitas politik dalam negeri. Kebijakan Islamisasi dalam perekonomian nasional dan penguatan simbol-simbol Islam meletakkan posisi Mahathir sangat kuat dalam politik nasional. Bahkan dalam beberapa isu yang berkaitan dengan Islam internasional, Mahathir dengan lantang membela kepentingan Islam.

Begitu juga dalam politik internasional, Mahathir dianggap suara yang mewakili negara-negara berkembang dan negara-negara Islam. Mahathir telah berhasil mengubah posisi Malaysia dalam percaturan internasional. Sikap perlawanan Mahathir terlihat ketika awal pemerintahannya ia mencoba menantang Amerika Serikat yang mengatakan Malaysia ingin sejajar dengan negara-negara besar lainnya. Itulah sebabnya, Mahathir menjadi tokoh yang sangat disegani dalam politik internasional. Perlawanannya terhadap negara-negara Barat menjadi ”indeks” dalam beberapa pernyataan politik Mahathir.

Bagi pihak oposisi, meskipun Mahathir selalu membela kepentingan Islam, tetap dianggap sebagai ”anti-Islam” (hal 218). Beberapa kebijakannya mengikis habis politik oposisi Islam. Seperti terjadi pada partai oposisi PAS. Di sisi lain, Mahathir memanfaatkan sosok Anwar Ibrahim sebagai upaya ”menjinakkan” sikap-sikap kritis Islam dalam negeri.

Buku ini menyisakan beberapa catatan yang mungkin mengganjal kepemimpinan Mahathir, di antaranya adalah apakah sebuah bangsa Malaysia yang terdiri dari multirasial sudah terwujud? Di samping itu, konflik antara Mahathir dan Anwar Ibrahim sebenarnya juga membuahkan pertanyaan apakah ketuanan Melayu dan politik multirasial akan menjadi paradigma yang signifikan di Malaysia?

Kepemimpinan politik nasional Malaysia ke depan masih menyisakan pekerjaan besar, yaitu mewujudkan bangsa Malaysia yang besar tanpa dibayang-bayangi politik rasial. Apa yang terjadi di Malaysia sekarang barulah pada taraf ”administratif”. Malaysia masih selalu rentan dalam berbagai isu rasial.

* Alfitra Salamm, Ahli Peneliti Utama LIPI

Sumber: Kompas, Minggu, 31 Januari 2010

Pantun Melayu: Keindahan dan Perlawanan

-- Seno Gumira Ajidarma*

KANON keindahan adalah mitos, yang dilahirkan oleh suatu konotasi ideologis, yang dari waktu ke waktu telah terus-menerus disempurnakan, sehingga menjadi tonggak dalam sejarah sastra yang tidak bisa dihapuskan lagi—dengan suatu dampak sosial, bahwa bentuknya kemudian menjadi standar keindahan. Bagi para penulis yang telanjur beriman kepada suatu keyakinan atas standar tertentu, di dalam standar itulah terdapat ”substansi” atawa ”esensi” sastra, yang secara metaforik sering disebut sebagai ”roh”.

Dampak sosial kepada para penulis ini kemudian berkonsekuensi dengan semakin canggih dan sempurnanya konstruksi estetik tertentu, yang sudah jelas mendapatkan kemuliaannya dalam kesepakatan sebagai apa yang disebut ”sastra”.

Sebagai ilustrasi perbincangan, izinkanlah saya mengambil contoh kasus pantun Melayu. Di Indonesia, cara menulis sajak yang bersanjak itu, yakni pola dua larik pertama sampiran, dua larik kedua ”isi”, dengan akhiran bunyi tiap larik yang ”harmonis” dalam berbagai variasinya (a-b-a-b, a-a-b-b, a-b-b-a) telah mengalami puncak kecanggihannya pula dalam sastra modern, seperti ditunjukkan oleh karya-karya Roestam Effendi dan kemudian Amir Hamzah. Bahwa pantun Melayu tradisional ini saya sebut modern dalam kasus Indonesia karena format sajak yang bersanjak, yakni yang bunyi dan iramanya ”sesuai aturan”, yang biasanya mengelus-elus sistem nilai komunal yang penuh ketundukan kepada ”peraturan” pula, mendadak jadi ungkapan protes sosial dari ”jiwa yang bebas”.

Dalam hal ”ilmu a-b-a-b” ini, meskipun Chairil Anwar yang (pernah) mengabaikan bentuknya, Sutardji Calzoum Bachri yang juga (pernah) bahkan melepaskan kata dari makna, dan Afrizal Malna yang ”memprosakan” bahkan ”me-nonfiksi-kan” puisi, boleh dibilang mengobrak-abrik dan menghancurkan pantun Melayu; tetap saja para penyair yang mengimaninya berhasil menjaga dan menyempurnakan ”pedoman” a-b-a-b ini, meski sudah tidak setia pada ”rumus” sampiran dan isi lagi.

Sajak-sajak yang ditulis Sitor Situmorang, Sapardi Djoko Damono, sampai Nirwan Dewanto, meski tidak dalam keseluruhan karyanya, pada dasarnya (masih) mengukuhkan standar estetik pantun Melayu yang mengutamakan tertib bentuk maupun bunyi itu.

Musikalitas

Pada akhirnya sastra adalah (tetap) masalah permainan atas musikalitasnya (baca: struktur dan bunyi) juga; karena jika tidak, mengapa sastra harus bisa disebut sastra, dan bukannya pengumuman atau berita? Namun selama ini hanyalah konstruksi para tukang kibul, dan bukan firman Tuhan, segenap standar estetik tidaklah akan pernah menjurus kepada suatu substansi maupun esensi.

Persoalannya, meskipun memang benar ”roh” dalam sastra dan seni apa pun hanyalah takhayul; tetapi adalah benar pula bahwa kecanggihan dan kesempurnaan pada presentasi dalam standar estetik tertentu, bagi siapa pun yang (terlalu) mengenal wacananya, akan terlihat seolah-olah sebagai pencapaian ”telah menangkap roh” Dewa Keindahan yang dipujanya itu.

Jadi memang tiada makna yang akan selalu berlaku tetap, universal dan abadi; yang ada hanyalah konstruksi standar estetik dalam konsensus sosial yang pada dasarnya akan terus-menerus selalu berubah. Bahkan makna adalah medan perjuangan berbagai konotasi ideologis, baik dalam penulisan maupun pembacaan atas tulisan tersebut. Bukankah kata yang sama akan mendapat makna berbeda dalam artikulasi wacana, konteks sosial historis, dan kepentingan politik kelompok yang berbeda pula? Jika artikulasi kata yang sama pun membuat makna bukan hanya berbeda, melainkan dimungkinkan bertentangan, maka apatah lagi jika seluruh gaya dan konstruksinya kemudian saling menjungkirbalikkan pula.

Bukan standar estetik, melainkan penafsiran atas makna yang membuat salah satu baris puisi Rendra dalam ”Sajak SLA” ini (masih) diterima sebagai ”sastra”.

Mengikuti peta bumi bahasa ”resmi”, baris seperti ini tempatnya adalah buku porno stensilan, yang bersama kata-kata seperti berak dan mengangkang, oleh pengamat sastra Indonesia, A Teeuw, disebut sebagai antipuisi; tetapi adalah konteks sosial historis, wacana, dan kepentingan politik berbeda yang justru menempatkan kalimat itu sahih sebagai bagian dari buku Potret Pembangunan dalam Puisi, yang merupakan ujung tombak ”sastra perlawanan”.

Sejak tahun 1978, sampai dua puluh tahun kemudian, ketika Wiji Thukul yang masih hilang sampai sekarang, ikut menyumbang dalam pergerakan reformasi dengan satu baris bertuah: hanya ada satu kata: lawan!, sebenarnyalah estetika atawa filsafat keindahan yang mendasari sajak-sajak Rendra maupun Wiji Thukul itu masih selalu dipertanyakan. Orang mempertanyakan bukan karena tidak mengerti, melainkan tidak sepakat, bahwa sastra ternyata juga bisa dan perlu melayani kebutuhan praktis, seperti pengumuman dan berita, sehingga tidak menjadi sastra yang ”murni” lagi.

Masalahnya, hari gini, siapa itu yang belum melihat terangnya matahari, masih bicara tentang murni dan asli, substansi dan esensi?

* Seno Gumira Ajidarma, Wartawan

Sumber: Kompas, Minggu, 31 Januari 2010

Monolog: Cerita tentang Kesetiaan dan Kekalahan

-- Ardus M Sawega

JADI seniman jangan cuma jadi tontonan/Kalau bisa jadi tuntunan/Jadi pejabat, jadilah pejabat/Jangan cuma menghabiskan uang rakyat/Kalau bisa semua diangkat/Jangan sampai rakyat ini melarat.

Fatimah, seniman ketoprak dari Surabaya mementaskan lakon "Sri Tanjung" dalam Gelar Monolog di Teater Arena, Taman Budaya, Jawa Tengah, Rabu (27/1) malam. Gelar Monolog selama dua hari ini menampilkan seniman ketoprak, ludruk, dan Srimulat dari Surabaya (Jawa Timur), Purbalingga, dan Purworejo (Jawa Tengah). (KOMPAS/HERU SRI KUMORO)

Tembang jula-juli yang menjadi ciri khas pertunjukan ludruk mewarnai repertoar ”Mak Satona” yang dibawakan Suliswanto. Monolog bergaya ludrukan—dengan media bahasa Jawa—terasa menyegarkan sekaligus menunjukkan kekuatan teater tradisional dalam menyampaikan suatu pesan.

Pentas ini sekaligus menutup Gelar Monolog di Teater Arena Taman Budaya Jawa Tengah, Solo, 27-28 Januari 2010, yang menyajikan pusparagam gaya monolog dari sejumlah daerah. Para pemain monolog yang tampil antara lain Suroto S Toto (Purworejo), Thomas Haryanto Soekiran (Purbalingga), serta Fatimah, Mastohir, Multato, dan Suliswanto dari Jawa Timur.

Dari mulut Suliswanto (56), ”Mak Satona” meluncur sebagai tuturan tentang tragedi yang dialami perempuan tua bernama Mak Satona. Ia janda pemain ludruk yang kemudian jadi dukun, lalu meninggal dalam kesepian. Tetapi, dalam gaya ludrukan yang penuh guyon, tuturan kisah yang melodramatik pun menjadi sarana memancing tawa.

Improvisasi Suliswanto dalam monolog yang berdurasi 35 menit, hanya dengan iringan gender, siter, dan kendang, mampu menebarkan daya pikatnya. Ini mengingatkan kita pada Cak Durasim atau Cak Markeso, seniman jalanan yang pernah melegenda di masyarakat Surabaya. Keduanya menjadi ikon seni tutur yang merefleksikan nilai-nilai sosio-kultural masyarakat setempat di masa lalu, tetapi sekarang tampaknya hanya tinggal bayang-bayang tipis.

Bayangan itu diungkapkan Suliswanto dalam intro pertunjukan, yang menyebut tentang sandyakala kesenian ludruk, sambil menyebut kesalahan pejabat serta masyarakat yang tak mau lagi nanggap ludruk. Namun, usai pentas, ia menyebutkan sebuah grup di Mojokerto sampai sekarang masih naik panggung 185 kali dalam setahun.

Seni rakyat

Tiga penampil dalam parade monolog ini sama-sama mengeluh tentang ”kekalahan” yang dialami seni pertunjukan rakyat di Jawa Timur. Fatimah (60), dalam intro lakon ”Sri Tanjung” mengudarasa (mengungkapkan perasaan) tentang nasib ketoprak—tempat dia selama 30 tahunan menjalani profesi—yang kini mengalami antiklimaks. Sementara Mastohir (64), yang pada 1966-2000 bergabung dalam Aneka Ria Srimulat, menjadi saksi kejayaan sekaligus ambruknya kelompok humor yang melahirkan banyak pelawak nasional ini.

Kalau Fatimah menampilkan ”Sri Tanjung” dengan gaya ketoprak konvensional, Mastohir lewat ”Jokasmo” mengangkat naskah karya Anton Chekov, ”Nyanyian Angsa,” yang modern. Begitu pun, pendekatan Mastohir lebih pada ”gaya Srimulat”.

Lakon ini mengisahkan tentang seorang pemain gaek sebuah grup sandiwara, yang dianalogikan sebagai perjalanan kelompok Srimulat. Mastohir, yang di panggung Srimulat dikenal sebagai pemeran Drakula, menirukan tingkah polah beberapa pemain Srimulat yang pernah terkenal di panggung nasional.

Sementara Multato (62), lewat ”Maling”, memilih pada pendekatan teks. Repertoar karya Julius Syiramanual ini mengisahkan riwayat seorang mantan maling. Pemeran maling mengibaratkan hidup sekarang juga penuh oleh ”maling”. Multato tampil dengan akting ”realis” yang terjaga, setting dekor, denting gitar, dan alunan vokal ”Love Story” yang romantis.

Gelar Monolog ini menyadarkan kita tentang keberadaan teater, terutama yang mengandalkan pada kekuatan akting. Monolog adalah media yang mewadahi kesetiaan sekaligus pertaruhan pemain pada akting, karena di dalamnya ia menjadi titik pusat pertunjukan. Suroto S Toto dalam ”Suami” memperlihatkan ketidakmatangan, baik naskah maupun aktingnya. Sementara Thomas Haryanto Soekiran tampil kelewat bersemangat dalam ”Semar”, dan aktingnya mengingatkan kita pada gaya Rendra.

Monolog niscaya juga menjadi saksi zaman. Suliswanto di ujung repertoarnya menggugat ketidakadilan yang menimpa kesenian ludruk. Kehancuran ludruk, kata dia, ketika kepadanya dicapkan stigma ”PKI”. Sementara, Mastohir secara arif melihat masyarakat telah berubah. Zaman modern menawarkan lebih banyak pilihan hiburan sehingga masyarakat tak bisa ”digiring” harus datang ke THR Surabaya untuk menonton Srimulat.

”Saya menyaksikan satu per satu pertunjukan tradisional—Srimulat, wayang, ludruk—di THR rontok. Hanya tinggal saya sendirian, jadi mbaureksa (penjaga) di sana,” kata Mastohir yang kini memilih bergiat dalam pertunjukan teater modern.

Sumber: Kompas, Minggu, 31 Januari 2010

Doktor "Honoris Causa" untuk Habibie

Depok, KOMPAS - Universitas Indonesia memberikan gelar doktor kehormatan atau doktor honoris causa dalam bidang Filsafat Teknologi kepada mantan Presiden RI Prof Dr Ing Bachruddin Jusuf Habibie di Balairung Universitas Indonesia, Depok, Jawa Barat, Sabtu (30/1).

Presiden ke-3 RI, BJ Habibie, menerima gelar Doktor Kehormatan (honoris causa) dalam bidang Filsafat Teknologi yang diserahkan Rektor Universitas Indonesia (UI) Prof Dr der Soz Gumilar R Somantri (kiri) di Balairung UI, Depok, Jawa Barat, Sabtu (30/1). (KOMPAS/ALIF ICHWAN)

Rektor UI Prof Dr der Soz Gumilar Rusliwa Somantri mengatakan, Habibie pantas mendapat gelar kehormatan ini karena rekam jejaknya sebagai teknokrat yang mengembangkan teknologi dengan mempertimbangkan aspek etis dan budaya demi kemajuan bangsa.

Habibie, tutur Gumilar, mengingatkan betapa pentingnya menerapkan aspek etis dan budaya dalam penerapan teknologi karena dampaknya yang luar biasa terhadap kehidupan masyarakat.

Habibie, lanjut Gumilar, juga melakukan lompatan besar dalam penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi untuk industrialisasi, terutama dalam industri dirgantara, perkapalan, informasi dan teknologi, serta nuklir. Meski demikian, ilmu pengetahuan dan teknologi yang diaplikasikan, dalam pandangan Habibie, tidak boleh mengorbankan kebudayaan.

”Filosofi teknologi berbasis budaya ini patut diacungi jempol,” kata Gumilar.

Gumilar juga mencatat ada tiga hal yang menjadi refleksi pengembangan teknologi Habibie, yaitu teknologi tidak bebas nilai, teknologi tidak boleh tercerabut dari kebudayaan, serta infrastruktur etis harus disiapkan dalam pengembangan teknologi.

Sementara itu, Habibie dalam sambutannya mengatakan, penghargaan ini bukan hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk anak-anak intelektualnya dan para cendekiawan.

Habibie juga mempersembahkan penghargaan ini untuk ayahnya, Alwi Abdul Djalil Habibie, dan ibunya, RA Tuti Marini binti Puspowardoyo, yang memberi semangat kejuangan luar biasa bagi dirinya dalam meraih serta menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi, serta bagi istrinya dr Hasri Ainun Besari, anak-anak, serta cucu-cucunya.

Habibie yang dilahirkan di Pare-Pare, Sulawesi Selatan, 25 Juni 1936, sebelumnya pernah menerima dua penghargaan doktor honoris causa. Masing-masing dari Cranfield Institute of Technology, Bedford, Inggris (1993), serta dari Universitas Hasanuddin, Makassar (2006).

Habibie mendapat gelar doktor Ingenieur Bagian Mesin Jurusan Konstruksi Pesawat Terbang dari Technische Hochschule, Aachen, Jerman (1965). Adapun Profesor Konstruksi Pesawat Terbang dari ITB pada tahun 1977. (NAL/THY)

Sumber: Kompas, Minggu, 31 Januari 2010

[Buku] Denyut Integrasi dalam Sepak Bola

Judul Buku: Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola 1915-1942
Penulis: RN Bayu Aji
Penerbit: Ombak Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xx + 141 halaman

SEMENJAK kuliah, sahabat saya, R.N. Bayu Aji, kerap beride nyeleneh. Pernah menulis di harian ini tentang ''adu doro'' sebelum akhirnya dikembangkan dalam kumpulan artikel di buku Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal (2007). Kini dia menulis buku tentang sejarah sepak bola Tionghoa di Surabaya tahun 1915-1942. Dilihat dari judul tampak sepele. Tapi, jika dibaca hubungannya dengan sepak terjang etnis Tionghoa di Indonesia, tak lengkap rasanya jika buku ini tidak disimak.

Sepak bola menjadi salah satu tren hiburan bagi kebanyakan masyarakat pada masa penjajahan. Olahraga ini dibawa masuk dari Eropa melalui Belanda ke Indonesia pada awal abad ke-20, yang saat itu masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Tidak sekadar memberikan tontonan an sich melainkan menyimpan dinamika identitas kultural dan kepentingan ideologi.

Agen penyebar budaya mulanya tak sadar bahwa sepak bola mendapat perhatian dari masyarakat golongan timur asing (termasuk Tionghoa) dan pribumi. Kebiasaan masyarakat kelas atas Belanda yang memainkan sepak bola di lapangan dan tangsi berhasil mencuri ketertarikan dari kelas menengah dan bawah. Mulanya, sekadar dicoba, lalu ketagihan, dan pada gilirannya membentuk tim untuk pertandingan.

Pada awal abad ke-20 tumbuh perkumpulan sepak bola Tionghoa di Hindia Belanda. Seperti Donar (Tjie Ying Hwee), Asiatik, Eeviol (Peng Ho Sia), Tiong Un Tong. Union Semarang, Solosche Voetbal club, UMS Batavia, YMC Bandung, dan Tionghoa Surabaya. Kelompok Tionghoa paling siap mengadopsi olahraga orang Barat tersebut. Sebab, ketika politik etis tahun 1901 dilaksanakan, mereka memanfaatkan ranah pendidikan sebagai alat pelembagaan sepak bola. Pada 1915, saat tim sepak bola Tionghoa di Surabaya --Bond Tionghoa Surabaya-- dibentuk, dalam beberapa tahun memiliki pengelolaan manajemen, sarana, dan prasarana klub serta regenerasi pemain yang baik.

Pada 1927 Tionghoa Surabaya bergabung ke dalam Commite Kampionwedstrijden Tiong Hoa (CKTH), sebagai tandingan NIVB yang menjadi representasi sepak bola Belanda. Lalu pada 1930 CKTH diubah menjadi Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB). Sejak itulah PSSI (Persatuan Sepak Raga Indonesia) sebagai representasi golongan pribumi dalam sepak bola, NIVB dan HNVB, bersaing.

Pemicu persaingan antartim tidak lepas dari identitas dan kultur kelompok masyarakat. Eksistensi mereka tersihir dengan keberadaan sepak bola. Trikotomi dalam sepak bola itu menjadikan Tionghoa Surabaya terus berbenah agar lebih hebat. Bond Tionghoa Surabaya menunjukkan perkembangan dengan memulai kompetisi antar-bond Tionghoa di Hindia Belanda dan masuk menjadi anggota SVB (Soerabajasche Voetbal Bond). Dalam kejuaraan SVB, Tionghoa bersaing dengan THOR (Tot Heil Onzer Ribben), HBS (Houd Braef Standt), Exelcior, Ajax, RKS, Zeemacht, Gie Hoo, Mena Moeria, dan Annasher.

Sejak awal Bond Tionghoa Surabaya berhasil duduk sebagai bond elite di Hindia Belanda. Sejumlah kejuaraan diraih seperti juara piala Hoo Bie (1921-1922), piala Tjoa Toan Hoen (1925), piala CKTH (1927-1929), piala HNVB (1930-1932), juara steden wedstrijden, dan kompetisi lokal di SVB. Puncaknya, pada 1939 saat Tionghoa Surabaya meraih juara kompetisi SVB, juara piala HNVB, dan juara Java Club Kampion. Sederet prestasi tersebut tidak mampu diungguli oleh bond mana pun, termasuk dari kalangan Belanda maupun Bumiputera.

Bond Tionghoa Surabaya berhasil merakit peran tidak hanya dalam olahraga. Sisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya diramu, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alat perjuangan bangsa dan membangkitkan semangat nasionalisme, meski sekadar simbolik. Meski begitu, penggalangan dana untuk menyumbang kesengsaraan sesama bangsa Tionghoa kerap digelar. Pertandingan amal yang diselenggarakan dengan beberapa bond di Hindia Belanda dan dari luar Hindia Belanda, misalnya.

Nasionalisme Tionghoa Surabaya saat itu dekat dengan negara Tiongkok karena pengaruh Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) dan perkumpulan Soe Poe Sia. Melalui semangat nasionalisme THHK, hasil dari pengumpulan dana pertandingan amal diberikan kepada sesama warga Tionghoa yang mengalami kesusahan di Tiongkok Utara akibat perang dan kesulitan ekonomi.

Saat terjadi pemboikotan pemberitaan pers Melayu Tionghoa, pada 1932, kalangan Tionghoa peranakan menggencarkan ide indonesierschaap. Perselisihan antara wartawan kulit berwarna dan pertandingan NIVB pada 1932 di Surabaya membuat Tionghoa Surabaya menjadi lebih hati-hati dalam menyikapi perselisihan antar- bond dan pers Melayu Tionghoa. Seiring memburuknya hubungan antara PSSI dan NIVB, sepak bola Tionghoa tetap memiliki hubungan baik. Hasilnya, Tionghoa Surabaya diberi kesempatan untuk menyumbangkan pemain dalam pentas Piala Dunia 1938 di Prancis atas nama Dutch East Indies.

Buku ini menarik dibaca saat banyak buku sejarah Tionghoa lebih fokus mengkaji perbedaan masyarakat Tiongkok dan masyarakat pribumi. Buku ini justru menekankan bagaimana sebenarnya masyarakat Tiongkok terintegrasi dalam denyut perkotaan Surabaya. Sejarah olahraga terkadang tidak tampak sebagai isu penting dibandingkan wacana kebangkitan nasional, perkembangan ekonomi masa kolonial, Perang Dunia II, dan tema-tema besar lain. Namun sepak bola adalah bagian penting dalam keseharian masyarakat, yang merepresentasikan kondisi yang lebih besar di masa kolonial. (*)

Arya W. Wirayuda
, Mahasiswa pascasarjana program studi Sejarah Universitas Gadjah Mada

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 31 Januari 2010

[Buku] Membedah Ulang Gurita Cikeas


Judul Buku: George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas
Penulis : Komunitas Tanah Air
Editor : S.G. Artha
Penerbit : Tanah Air, Jogjakarta
Cetakan : Pertama, Januari 2010
Tebal : xvi + 174 halaman

SEJAK diperkenalkan Galang Press pada acara pre-launching (23/12/2009) di Jogjakarta, buku Membongkar Gurita Cikeas (MGC), Di Balik Skandal Bank Century yang ditulis George Junus Aditjondro (GJA) menimbulkan kontroversi. Tak kurang, Presiden SBY dalam beberapa kesempatan perlu memberikan sanggahan dan menyebutnya ''fitnah''. Para pendukung SBY pun, baik yang berlatar belakang akademikus maupun politikus, ikut menghujat MGC sebagai ''sampah''.

Kehadiran buku MGC yang sebagian besar menyingkap skandal korupsi atau ''perampokan'' Bank Century dan keterlibatan yayasan-yayasan Cikeas binaan SBY seakan menjadi momok yang menakutkan. Sebab, itu mengganggu kekuasaan pemerintahan SBY. Ketakutan tersebut tecermin dari reaksi keras pemerintah yang menilai buku tersebut berisi pelanggaran terhadap SARA, pencemaran nama baik, hingga berakhir pada pelarangan buku. Kita pun bertanya, apa jadinya kalau sebuah buku dibakar, dilarang beredar, dan penulisnya ''dihukum''? Apa bedanya dengan zaman Orde Baru yang membungkam dan melarang buku, yang sudah dikecam habis-habisan oleh gerakan reformasi? Apa bedanya dengan rezim antidemokrasi yang mengadili seorang penulis? Apa bedanya dengan praktik inkuisisi di zaman lalu?

Berlatar belakang pertanyaan itulah, Komunitas Tanah Air ikut andil dalam menanggapi buku kontroversial yang saat ini sudah ditarik dari pasaran itu. Yakni, menerbitkan buku George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas. Komunitas Tanah Air adalah komunitas yang sebagian besar anggotanya merupakan mantan aktivis '98 yang merasakan pahit-getir perjuangan melawan rezim Orde Baru hingga melahirkan reformasi. Mereka juga anak muda NU di Jogjakarta yang concern untuk mempertemukan antara ide-ide ke-NU-an/pesantren dengan ide-ide marhaenisme, ide-ide sosio-ekonomi, dan kerakyatan. Di bawah kepemimpinan Nur Khalik Ridwan, komunitas itu terus berada di barisan terdepan dalam mengontrol bangsa, menentang praktik KKN, dan ketimpangan sosial-ekonomi.

Hingga kini, atau lebih tepatnya hingga buku ini terbit, belum ada buku atau kajian yang coba merespons terbitnya MGC secara serius. Hanya, saat buku ini memasuki naik cetak, telah muncul dua buku lain yang menanggapi buku yang ditulis GJA tersebut. Yaitu, buku Hanya Fitnah dan Cari Sensasi, George Revisi Buku (ditulis Setiardi Negara, Jakarta) dan Cikeas Menjawab (ditulis Garda Maheswara, Jogjakarta). Meski demikian, nada dua buku tersebut tampak terkesan reaktif dan bukan mengapresiasi secara kritis (hlm. vi-vii).

Berbeda dengan dua buku di atas, buku George Junus Aditjondro Vis a Vis Gurita Cikeas

memiliki model dan cara pandang yang berbeda sama sekali. ''Kami menulis buku karena ingin menyikapi buku. Bagi kami, membakar dan melarang buku adalah pekerjaan yang menunjukkan belum menjadi manusia yang beradab, yang akan semakin memperlama penemuan tentang arti menjadi Indonesia yang berwawasan luas, dan tegak berdiri secara terhormat di mata dunia, semakin tergerus mundur. Kami belajar dari masa lalu, bahwa pelarangan dan pembakaran buku tidak bisa melarang dan menghentikan gagasan,'' (hlm. 11-12).

Cara pandang yang ditawarkan Nur Khalik Ridwan dkk melampaui buku-buku sebelumnya; bukan sekadar membebek dan "mengamini tanpa reserve" buku MGC. Banyak kelemahan yang dapat ditemukan dalam buku MGC. Bahkan, jika dibandingkan dengan buku George sebelumnya, yaitu Korupsi Kepresidenan, Reproduksi Oligarki Berkaki Tiga: Istana, Tangsi dan Partai Penguasa (diterbitkan LKiS Jogjakarta, 2006), penggarapan buku MGC terkesan tidak serius, seperti penulisannya yang kurang sistematis, tanpa pendahuluan, dan kurang mendalam, baik dari segi analisis maupun keragaman datanya.

Namun demikian, Komunitas Tanah Air juga tidak setuju dengan upaya kelompok-kelompok "yang disebut dalam buku" (termasuk para pendukungnya) melarang, apalagi memberedel, dan menyebutnya buku itu sebagai ''sampah''. Penyebutan ''sampah'' muncul karena dilatarbelakangi ketidakpahaman pihak yang menanggapi. Arianto Sangaji mengungkapkan, banyak di antara komentator Gurita Cikeas terjebak debat kusir karena tidak memahami teori ''jejaring korupsi'' yang mendasari buku MGC. Bisa ''dimaklumi'' bila pelakunya adalah para politikus karena kekuasaannya terganggu.

Salah satu solusi yang ditawarkan para mantan aktivis '98 dalam buku ini adalah mendorong bangsa Indonesia untuk bersikap bijak, yakni menghidupkan iklim adu argumentasi yang proporsional; buku dibalas buku, penelitian hendaknya juga dibalas penelitian, bukan malah diintimidasi dengan segala bentuknya.

Bagi mantan aktivis '98 itu, menulis buku adalah kegiatan manusiawi dan kegiatan membangun peradaban. Banyak peradaban yang dapat berkembang dan jaya karena menghargai buku, mencetak buku-buku, dan membuat iklim yang baik agar perdebatan dan diskursus dalam sebuah buku dan wilayah sosial bisa berkembang. Fungsi buku ialah dibaca, baik untuk memperkaya perspektif maupun memperdalam kritik. Buku adalah gizi rohani umat manusia. Karena itu, juga gizi rohani bagi bangsa Indonesia.

Lihatlah founding father's Indonesia: Soekarno, Hatta, Tan Malaka, Sjahrir, Wahid Hasyim, dan banyak lagi yang berbeda dari segi ideologi. Mereka membaca semua buku dari berbagai referensi, mulai yang ''kanan'' sampai yang ''kiri''. Mereka juga menuangkan pikiran-pikirannya dalam bentuk buku. Tradisi seperti itulah yang tidak lagi kita temukan pada pemimpin-pemimpin bangsa ini, belakangan. Jangankan membaca dan menulis buku, pemimpin kita justru sibuk ''memberedel'' buku.

Seorang pemimpin yang baik mestinya memberikan teladan dalam menyikapi suatu masalah. Pelarangan buku adalah tindakan fatal karena buku perlu dibaca sebagai informasi dan pendidikan. Lekra (saja) Tidak Membakar Buku, kata Muhiddin M. Dahlan. Dalam hal ini, pemimpin memiliki tanggung jawab kepada masyarakat untuk memberikan teladan agar menyikapi buku dengan tidak membakar buku; dan rakyat memiliki kewajiban dan hak untuk mengoreksi sebuah kepemimpinan dan pemimpin suatu zaman, agar roda bangsa berjalan lebih bersih, sebagaimana dicita-citakan era reformasi.

Buku Membongkar Gurita Cikeas kiranya termasuk salah satu koreksi terhadap kepemimpinan SBY periode kedua ini. Sebagaimana diungkapkan peneliti ICW Febri Diansyah, buku yang ditulis GJA itu menjadi penting sebagai warning terhadap bangsa ini agar jangan sampai apa yang terjadi di zaman Orba kembali terulang di zaman reformasi. Bahkan, Ray Rangkuti, direktur eksekutif Lingkar Madani Indonesia, berharap agar KPU harus menindaklanjuti data-data yang diungkap GJA dalam bukunya itu. Lalu, kenapa buku tersebut dilarang? Siapa yang tiran dan siapa yang sebaliknya? (*)

Imam S. Arizal, staf Riset HumaniusH Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Jogjakarta

Sumber: Jawa Pos, Minggu, 31 Januari 2010

[Buku] Memanfaatkan Momentum Krisis Global

Judul : Momentum untuk Bangkit
Penulis : A. Muhaimin Iskandar
Penerbit : Pustaka Tokoh Bangsa, Yogyakarta
Cetakan : I, Oktober 2009
Tebal : 216 hlm.

SEJARAH krisis geopolitik Indonesia dahulu menunjukkan sketsa sejarah baik. Yang ditandai dengan kekalahan imprealisme Jepang terhadap para sekutu, dengan ditandai hancurnya dua pusat peradaban Jepang, yakni Nagasaki dan Hirosima. Dari sini pemimpin nasional menyadari momen itu merupakan waktu baik untuk dimanfaatkan dalam memperjuangkan kemerdekaannya.

Kecerdasan dan kejelian dalam mengambil dan membaca situasi geopolitik merupakan kebanggaan tersendiri bagi bangsa Indonesia dan menunjukkan terhadap dunia pemimpin nasionalis cerdas, berani terhadap tekanan penjajah. Mentalitas semacam itu hanya untuk memperjuangkan hak-hak rakyat dan negara supaya menjadi negara yang berdaulat.

Keberhasilan dalam meraih kemerdekaan merupakan anugerah terbesar bagi rakyat Indonesia; bisa mengatur dirinya sendiri tanpa intervensi pihak imprealisme yang hanya mengeksploitasi kekayaannya. Harapan sebagai negara merdeka supaya negara mampu mengangkat kodratnya menjadi maju.

Setelah negara Indonesia menjalani kemerdekaannya, para founding father kita belum manpu menberikan yang terbaik buat negara. Akibatnya, kharismatik negara kita terhadap dunia belum ada. Persoalannya, negara kita sering ditimpa berbagai krisis dari dalam negeri. Mengakibatkan ketahanan politik, ekonomi, pendidikan, sosial, dan lainnya sering rapuh.

Di tengah-tengah krisis yang melibas negara, ditambah dengan krisis global, menjadikan negara hiruk pikuk. Tidak memiliki ketahanan apa pun untuk menyangkalnya. Apa pun alasannya, globalisasi merupakan hal yang perlu diperhatikan secara seksama. Karena berdampak terhadap tatanan sebuah negara. Persoalannya, apabila hal itu tidak kita disiasati dengan baik, negara Indonesia akan tergilas oleh roda-roda globalisasi.

Melalui buku ini, Muhaimin Iskandar memberikan pemikiran cerdas untuk solusi efektif terhadap krisis yang terjadi. Penulis manpu menbaca celah-celah krisis yang terjadi.

Berdasarkan pengamatan penulis, krisis global kini merupakan momentum penting untuk bangkit setelah sekian lama menjadi korban pencaturan politik dunia. Karena politik internasional bila tidak dicermati secara langsung akan tidak memihak terhadap negara berkembang, termasuk Indonesia.

Berkaca pada negara luar negeri, krisis global kini disikapi secara cerdas oleh para pemimpin negara-negara luar negeri, seperti Amerika Latin, Rusia, China, India, dan juga Iran. Akibatnya, mereka manpu mengendalikannya.

Sementara itu, di Indonesia, kini sedang berada pada masa transisi dari sistem lama menuju sistem baru yang lebih demokratis menuju sitem yang berkeadilan. Menjadikan perhatian terhadap wacana global terpecah belah. Kondisi demikian patut dimaklumi, karena negara kita ingin mencari jati dirinya.

Sedikit menelaah buku tersebut, momentum transisi politik pascareformasi. Hal ini telah berlangsung dari tiap dekade selalu berorientasi terhadap sistem baru dan kebijakan-kebijakan yang mengacu terhadap perbaikan bangsa. Momentum regenerasi kepemimpinan. Demokratisasi ini berwujud terhadap pergantian kepemimpinan. Dan ini adalah hal yang mutlak, tidak boleh di tidak.

Beberapa poin penting yang perlu diambil. Pertama, penguatan dan pembangunan kembali industri nasional untuk meningkatkan nilai tambah. Hal ini tidak hanya berdampak terhadap pemasukan negara, tetapi juga mengurangi angka kemiskinan penduduk karena tersedianya lapangan kerja yang sangat besar.

Kedua, renegosiasi kontrak-kontrak karya perusahaan asing, khususnya pada sektor energi dan pertambangan. Dengan kekayaan sumber daya alam yang melimpah, kita justru tidak bisa menikmatinya di saat harga energi dan hasil tambang melambung tinggi.

Ketiga, pemerintah perlu meningkatkan stimulus terhadap usaha/industri kecil dan menengah (UKM/IKM), serta meningkatkan subsidi sektor pertanian. Dengan hal itu, pemerintah tidak saja melindungi industri lokal dan ekonomi rakyat, tetapi juga membuka lapangan kerja yang luas di perdesaan dan kota penyangga (hlm. 42).

Hal hal penting yang perlu dicatat, masyarakat mempunyai peran penting dalam proses kemajuan bangsa dan negara. Kesadaran masyarakat akan pentingnya ilmu pengetahuan akan membentuk masyarakat yang mempunyai nalar kritis. Kebijakan pemerintah yang tidak berorientasi kemajuan bangsa ke depan akan mendapatkan kritik tajam: pemerintah tidak lagi memihak rakyat.

Kebijakan seorang pemimpin akan menentukan moralitas pemimpin bangsa. Masalahnya, mayoritas yang tampil ke publik sekadar pencitraan politik. Artinya, mereka memakai topeng politik supaya dirinya diklaim baik oleh rakyat.

Romel Masykuri Nur Arifin, Pustakawan Rumah Baca Masyarakat Sinatrya Yogyakarta

Sumber: Lampung Post, Minggu, 31 Januari 2010

Saturday, January 30, 2010

Langkan: Peluncuran "Nagabumi Jurus Tanpa Bentuk"

BUKU Nagabumi Jurus Tanpa Bentuk, karya Seno Gumira Ajidarma, diluncurkan di Bentara Budaya Jakarta (BBJ), Jumat (29/1). Peluncuran buku terbitan Gramedia Pustaka Utama ini dilanjutkan dengan diskusi yang menghadirkan Donny Gahral Adian dan guru besar Arkeologi Universitas Indonesia, Edi Sedyawati, serta moderator Radhar Panca Dahana. Buku setebal 815 halaman ini bercerita tentang dunia persilatan dengan latar belakang kebudayaan pada abad VIII-IX. Disajikan dengan gaya penulisan yang ringan dan menarik, buku ini bercerita tentang drama di sekitar para pendekar, pertarungan jurus-jurus maut, diselingi kisah asmara serta diwarnai intrik politik kekuasaan. (THY)

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Januari 2010

[Teroka] Kota dan Adaptasi Manusia

-- Afthonul Afif

KOTA-KOTA besar di Indonesia sekarang ini sedang terancam oleh laju pertumbuhan penduduk yang semakin tak terkendali. Kita tidak bisa lagi menyebut pertumbuhan penduduk alami (faktor natalitas) sebagai satu-satunya penyebab karena faktor urbanisasi ternyata memberikan urunan yang jauh lebih signifikan.

Semakin vitalnya kedudukan kota sebagai pusat kegiatan ekonomi sejak dekade 1980-an membuat urbanisasi melaju tanpa kendali. Kota-kota besar di Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, seperti Jakarta, Surabaya, Bandung, Semarang, semakin kepayahan dalam memberikan jaminan kesejahteraan bagi warganya. Ruang perkotaan yang semakin sempit ditambah dengan pertumbuhan ekonomi yang tidak merata membuat kota-kota besar di Indonesia masih harus bergelut dengan kemiskinan.

Sebagai ruang aktivitas warganya, kota memiliki luas wilayah yang relatif tetap, bahkan berkurang. Artinya, tanah-tanah yang semula menjadi permukiman penduduk sekarang telah beralih fungsi menjadi pusat perkantoran dan perdagangan. Konsekuensinya, kota tidak mampu lagi menyediakan tempat hunian layak bagi penghuninya.

Hitungan di atas kertas menunjukkan bahwa Indonesia dalam waktu 25 tahun mendatang membutuhkan sekitar 1 juta hektar luas lahan guna menampung pertumbuhan penduduk kota yang semakin tak terkendali (Santoso, 2006:48). Hal ini mustahil jika dilihat dari kondisi ruang perkotaan yang semakin mengerut dan strategi pengembangan kota-kota sekarang ini yang semata-mata diserahkan pada mekanisme pasar.

Disparitas yang menganga antara ketersediaan ruang perkotaan dan pertumbuhan penghuninya yang melaju tanpa kendali secara sosial berdampak pada munculnya fenomena kepadatan (density) dan secara individual akan menimbulkan fenomena kesesakan (crowding).

Jika kesesakan berlangsung dalam waktu yang lama, kesejahteraan subyektif individu (subjective well-being) akan terancam yang dapat berujung pada gangguan-gangguan psikologis, seperti stres dan depresi.

Adaptasi

Untuk tetap mampu bertahan dalam ruang sosial yang sumpek, secara naluriah individu akan mengembangkan mekanisme adaptasi berbasis sumber daya yang dimilikinya.

Dalam kajian psikologi lingkungan (environmental psychology) dikenal dua model adaptasi terkait dengan kepadatan spasial ini. Pertama, pendekatan teritorialitas. Pendekatan ini berorientasi pada pembentukan kawasan geografis untuk mencapai tingkat privasi optimal. Usaha yang lazim digunakan adalah dengan merekayasa pengesetan (setting) lingkungan atau pindah ke lokasi lain. Keterbatasan pendekatan ini adalah bersifat statis—tidak ekspansif—karena berbasis pada struktur ruang yang definitif.

Kedua, pendekatan keterampilan diri. Pertama-tama individu mempersepsi kesesakan sebagai ketidaknyamanan yang muncul dari kehadiran orang lain dalam jumlah yang tidak dapat dikontrol sehingga membatasi kebebasan geraknya. Dengan begitu, yang paling penting dari pendekatan ini adalah pengesetan kembali struktur kognitif individu agar muncul persepsi baru yang lebih positif terhadap kehadiran orang lain di sekelilingnya.

Kota yang sehat

Parameter umum yang dapat dijadikan acuan, apakah sebuah kota itu nyaman dihuni atau tidak, terletak pada sejauh mana kota tersebut memiliki daya dukung bagi aktivitas warganya. Semakin kota memiliki daya dukung yang tinggi bagi aktivitas warganya, maka kota tersebut dapat dikatakan sebagai kota yang sehat. Sebaliknya, jika sebuah kota itu mengisolasi dan menghambat aktivitas warganya sehingga tidak nyaman untuk dihuni, kota tersebut adalah kota yang sakit.

Kota yang sehat adalah tempat bermukim yang nyaman bagi warganya. Sebuah kota yang sehat memiliki visi pembangunan yang bertumpu pada pencapaian-pencapaian yang jelas dan terukur (Santoso, 2006:103). Pertama, memiliki standar kenyamanan (standard of livability) yang tinggi.

Kedua, memiliki manajemen perkotaan yang mampu menjaga keutuhan kawasan per kawasan. Tujuannya adalah untuk menjaga keutuhan setiap kawasan sebagai langkah awal untuk menjaga keutuhan lingkungan perkotaan secara keseluruhan.

Dan akhirnya, ketiga, memiliki institusi khusus yang dapat memobilisasi sumber-sumber pendanaan pembangunan permukiman dan perkotaan yang berkelanjutan dan sampai batas tertentu terlepas dari mekanisme pasar. Nah kini, tinggal kita melihat, bagaimana dengan keadaan kota-kota yang kita miliki? Adakah kota-kota itu memiliki semua visi tersebut? Atau jauhlah panggang dari api? Jauhlah kota dari pemanusiaan yang sejati.

* Afthonul Afif, Alumnus Psikologi Klinis Program Pascasarjana UGM; Menekuni Kajian Psikologi Perkotaan

Sumber: Kompas, Sabtu, 30 Januari 2010

Sastra Kita, Antara Tragedi dan Ironi

-- Tjahjono Widijanto*

DARI awal tumbuh dan perkembangan sastra Indonesia modern tak lepas dari persoalan luka kemanusiaan dan luka bangsa.Dalam sastra kita, monumen-monumen luka manusia ini juga diikuti dengan hero-hero yang keheroikannya bisa jadi tidak sedahsyat cerita-cerita dalam sejarah ansich. Ambil contoh roman Surapati karya Abdoel Moeis, Pulang (Toha Mohtar), Surabaya, Corat-coret di Bawah Tanah (Idrus), Jalan Tak Ada Ujung (Mochtar Lubis), Keluarga Gerilya, Perburuan, Bumi Manusia (Pramoedya Ananta Toer) dan Burung-burung Manyar karya J.B Mangun Wijaya, semua menunjukan sisi paradoksal antara hero, heroisme dan tragik. Tokoh Untung Surapati dalam sejarah ditampilkan sebagai sosok yang memilki kompleksitas kejiwaan, mulai dari persoalan harga diri hingga affairnya dengan seorang noni Belanda bernama Suzana.

Demikian pula tokoh Tamin dalam Pulang, dan tokoh Gurui Isa dalam Jalan Tak Ada ujung, tidaklah tampil sebagai tokoh yang super sakti dan super hebat seperti pahlawan-pahlawan dalam sejarah tetapi justru menghayati tumbuhnya jiwa kepahlawanan dalam dirinya pada saat kondisi jiwanya terjepit dan tersia-sia. Tokoh Tamin bisa tampil sebagai hero setelah menyadari betapa ia telah tercerabut dan tidak berartinya bagi lingkungannya. Tokoh guru Isa bahkan harus menjadi seorang yang impoten dan penakut terlebih dahulu sebelum mendapatkan keberanian. Rasa heroismenya muncul justru pada saat ia berada pada puncak ketakutan ketika mengalami penyiksaan serdadau Belanda di tahanan.

Munculnya hero dan heroisme dibarengi dengan tragedi mulai tampak dengan kuat pada karya-karya masa 1940-an pada saat pendudukan Jepang. Pendudukan singkat Jepang telah membawa perubahan yang luar biasa dalam aspek linguistik dan wilayah imajinasi literer yang oleh Teeuw (1980) disebut sebagai cultural revolution. Pada masa sebelumnya (Poejangga Baroe dan Pra-Pujangga Baroe) karya sastra kita cenderung menampilkan hero dan heroisme dengan berteriak lantang, gegap gempita nyaris tanpa darah dan luka. Puisi-puisi M. Yamin "Bahasa Bangsa" dan Sanusi Pane, "Doa" misalnya tampil dengan gagah perkasa dan lantang menyuarakan pemujaan sekaligus kerinduannya terhadap kebesaran Indonesia masa lalu.

Sajak-sajak Yamin dan Pane sama-sama mengingatkan kita pada konsep kebudayaan kebangsaan yang dianut para pemuda di wilayah pergerakan seperti nasionalisme Jawa versi Soerjo Koesoemo atau nasionalisme Sumatra model Mohamad Amir dan Bahder Johan. Dalam perkembangan selanjutnya, novel-novel Sutan Takdir Alisyahbana (STA) seperti Layar Terkembang, Kalah dan Menang, serta Grota Azura mencoba membentangkan hero dan heroisme dalam uoaya mensosialisasikan orientasi kebudayaan dan kebangsaan. Justru karena hero dan heroisme tampil kelewat gagah perkasa novel-novel STA menjadi kelihatan "musykil" dan ajaib, yang oleh Keitch Foulcher (1991) malahan dikatakan tidak segemilang eseai-eseainya.

Semangat kepahlawanan kebangsaan dalam sastra kita mencapai puncaknya di tangan Chairil Anwar yang justru mencampuradukan hero, heroisme dengan pengorbanan bahkan ketragisan. Puisi-puisi Chairil meski sepentas kilas menggelegar namun menghadirkan antara yang heroik dan yang tragik. Tragik dan heroik saling berpaut, antara maut dan kekalahan senatiasa beriringan dengan sebuah "kebermaknaan" sekali berarti sesudah itu mat!.Pada karya-karya berikutnya tragedi luka-luka kemanusiaan beriringan dengan hero dan heroisme ini semakin tampil mencekam. Luka-luka kemanusiaan yang muncul bersamaan dengan hero dan heroisme itu masuk pada ruang-ruang tragedi pribadi, keluarga dan masyarakat. Karena itu dalam cerita-cerita Pramoedya dapat kita temukan sebuah kegetiran dan tragedi yang dahsyat ketika seorang bapak harus tega memenggal kepala bapaknya yang menjadi mata-mata musuh.

Dapat pula ditemukan sorang kakak yang menukar kehormatannya dengan nyawa adiknya yang tertangkap musuh. Pada titik ini pembaca dipaksa untuk menyaksikan tragic of execution, sebuah tragedi yang memperkuat hero dan heroisme, juga sebaliknya hero, heroisme yang memperjelas dan menegaskan ketragikan.

Ironi antara kepahlawanan dan ketragisan dalam karya sastra kita juga dihadirkan tidak saja dalam nada getir namun bisa juga sinis, satire bahkan menggelikan. Dalam Corat-coret di Bawah Tanah dan Surabaya, Idrus memandang dari sisi lain peritiwa pertempuran Surabaya. Pertempuran Surabaya yang menggetarkan itu di dalam teks sastra karya Idrus justru ditampilkan dengan parodi. Para pemuda yang bersenjata dilukiskan sebagai cowboy-cowboy pemula yang sedang memiliki kegemaran baru bermain-main dengan senjata.

Semangat kepahlawanan tidak lagi diletakan sebagai sesuatu yang keramat, sakral dan luar biasa namun diletakan pada sebuah situasi kejiwaan yang ganjil yang tumbuh dari situasi chaos yang bisa jadi tidak disadari dan tak dimengerti oleh 'sang hero' itu sendiri.

Cerpen-cerpen Idrus ini mengingatkan kita pada naskah Don Quixote de La Mancha karya Carvantes. Melalui tokoh 'hero'-nya, Don Quixote (Don Kisot), Carventes menyindir kaum bangsawan dan satriya pada zamanya yang gemar memposisikan diri sebagai hero. Bagi Carventes (juga Idrus) hero dan heroisme tidak lebih dari khayalan menggelikan dari segelintir orang yang merasa telah berbuat sesuatu yang besar yang sebenarnya hanyalah ilusi belaka dari ketakberdayaan. Heroisme adalah sebuah pelarian dari utopia yang tak kunjung mewujud.

Sudah lama pula, teks-teks sastra dianggap bisa juga mewadahi dan menghadirkan kerinduan akan "hero-hero imajinatif" dari masyarakat akibat krisis hero dalam realitas itu sendiri. Teks sastra dianggap mampu menawarkan suatu gambaran ideal seorang hero yang danggap dapat menawarkan sebuah dunia yang juga ideal justru pada saat realitas sosial masyarakat berada dalam puncak frustasi.

Contoh semacam ini dapat ditemukan dalam serat Sabda Pranawa dan Kalatida, karya pujangga Jawa terakhir, Ranggawarsita. Kalatida yang berarti zaman edan (disebut juga kalabendu) menggambarkan carut marutnya sosial, budaya dan ekonomi masyarakat akibat krisis pemimpin yang ideal. Penderitaan ini berakhir setelah munculnya pemimpin baru, hero baru bernama Ratu Adil yang membawa masyarakat pada zaman keemasan (kalasabu). ***

* Tjahjono Widijanto, penyair dan esais. Tinggal di Ngawi, Jawa Timur.

Sumber: Suara Karya, Sabtu, 30 Januari 2010

Menjadi Tuhan

-- Iwan Gunadi

KAMBING hitam itu kembali hidup. Banyak kasus sosial-politik yang tak mampu dituntaskan kembali ditimpakan padanya. Penyerahan kesalahan kepada pihak ketiga tersebut menciptakan imaji bahwa kita tak pernah bersalah. Kita tak bisa bersalah. Pada posisi seperti ini, harus diakui bahwa kita juga bukan bangsa yang pemberani alias pengecut. Sebab, kita tak berani mengakui bahwa kita pernah dan atau bisa bersalah.

Rezim Orde Barulah yang telah membuat kita menjadi seperti itu. Selama sekitar 32 tahun kita dibentuk oleh rezim Orde Baru menjadi seperti itu. Tak heran kalau kemudian kita tak mudah lepas dari pola pikir seperti itu. Apologi demikian akan begitu mudah keluar dari bibir kita sebagai justifikasi atau pemafhuman bahwa kita boleh atau bahkan dibenarkan menjadi seperti itu.

Mungkin benar bahwa rezim Orde Baru mengajarkan kepada kita bahwa hal-hal yang baik saja yang pantas diklaim sebagai bagian dari kebudayaan bangsa Indonesia. Kita hanya boleh belajar dari hal-hal yang baik, meski akhirnya kita lebih banyak berbuat buruk. Kita seperti haram belajar dari hal-hal yang tidak baik atau buruk, meski memang akhirnya kita juga belum tentu menjadi baik.

Akan tetapi, minimal kita telah diberi lebih dari satu pilihan. Dengan dihadapkan kepada lebih dari satu pilihan itu, kita merasakan suatu ketegangan. Ketegangan dalam memilih inilah tampaknya yang lebih jarang lagi kita rasakan. Padahal, ketegangan semacam itu punya potensi untuk menciptakan kedewasaan.

Meski begitu, bukan tak ada andil kita dalam setiap kesalahan atau keburukan yang terjadi di sekitar kita. Bagaimanapun kondisinya dan siapa pun pemicunya, potensi kesalahan dan keburukan tetap ada pada diri kita. Apalagi, kita bukan lagi bayi. Kita bukan lagi kertas putih. Sejumlah warna telah membentuk diri kita.

Kita tetaplah manusia. Kita bukan nabi, malaikat, apalagi Tuhan. Dalam diri manusia tetap ada wajah malaikat dan juga wajah setan. Selain sebagai penyejuk, penenang, atau pembangun, kita tetap berpotensi sebagai pemanas, pengacau, atau perusak. Kita bisa menjadi perusuh atau provokator. Itu semua punya potensi bangkit kapan dan di mana pun. Kepentinganlah yang akan menentukan potensi itu akan bangkit seperti apa.

Masihkah ada kesadaran seperti itu pada para elite politik kita? Kalau kita perhatikan komentar-komentar mereka di media massa, rasanya, pesimistis bagi kita untuk memperoleh jawaban yang positif dari pertanyaan tersebut. Seperti diungkap di bagian awal tulisan ini, mereka cenderung segera mencari atau bahkan menyerahkan kesalahan sebagai tanggung jawab pihak ketiga bila terjadi suatu konflik. Betulkah saya tidak bersalah? Betulkah bukan kami yang memulai? Pertanyaan-pertanyaan semacam itu mungkin sudah mereka lupakan.

Kalau para pemimpin saja kurang memiliki kesadaran seperti itu, kita akan lebih sulit mengharapkan kesadaran yang sama melekat kuat pada masyarakat yang dipimpin mereka. Kalaupun kesadaran itu ada pada mereka, belum tentu mampu diturunkan ke bawah. Maklum, para pemimpim di negeri ini umumnya tak membumi. Mereka tidak betul-betul lahir dari bawah. Mungkin, ada yang lahir seolah-olah dari bawah. Tapi, kecurigaan akan muncul tatkala wacananya tak sampai alias tak populer di bawah.

Padahal, kesadaran akan adanya potensi negatif pada setiap manusia dapat dijadikan titik tolak awal untuk menamengi munculnya potensi negatif tersebut ke permukaan. Kesadaran yang diiringi dengan upaya pendalaman terhadap keberadaan potensi negatif itu dapat merangsang setiap manusia untuk selalu bersiap menghadapi mewujudnya potensi itu, baik dari dalam diri sendiri maupun dari manusia lain. Minimal, kita tidak terpengaruh, sehingga pewujudan itu tak berkembang alias terlokalisasi. Sebab, akhirnya, tak satu pihak pun di sini yang diuntungkan, walau awalnya tampak seperti ada yang diuntungkan.

Bagaimana kalau itu semua tak dapat diwujudkan? Mungkin, diam-diam kita sedang berusaha menjadi malaikat atau bahkan Tuhan? Ini hampir seperti Friedrich Wilhelm Nietzsche. Bedanya, Nietzsche lebih dulu membunuh Tuhan dalam dirinya. Sementara, kita dengan meyakinkan tetap mengaku sebagai makhluk beragama yang menjunjung tinggi Tuhan. Tapi, itu hanya di bibir. Di kepala dan dada, pada saat yang sama, Tuhan telah dibungkus rapat-rapat, lalu ditaruh di gudang, sementara singgasana-Nya kita rebut dengan cara yang tampak demokratis.

Hebat, bukan? Sepintas ya. Tapi, orang-orang arif nan bijak, yang mampu melihat tidak hanya dengan rasionalitas, tapi juga dengan mata hati yang bening, melihat kita sebagai manusia yang benar-benar butuh pertolongan. Sebab, kita sudah tak mampu mengurus diri sendiri. Kita sibuk dengan kepribadian ganda. Kita dengan kesadaran penuh telah menceburkan diri ke dalam dunia skizofrenia lantaran melihat banyak keuntungan--walau tentu bersifat sementara--di sana.

Boleh jadi, kita sudah lama berenang di sana. Lantaran sudah merasa lama dan keasyikan itu, boleh jadi pula, kita merasa tak akan pernah tenggelam. Kita tak akan pernah lelah. Kita tak akan pernah kram. Ya, kita diam-diam telah menjadi Tuhan. n

* Iwan Gunadi, Peminat masalah sosial-budaya

Sumber: Lampung Post, Sabtu, 30 Januari 2010

Friday, January 29, 2010

Langkan: ”Doorstoot Naar Djokja” Dibahas di Yogyakarta

DOSEN Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, G Budi Subanar SJ, akan membahas buku Doorstoot Naar Djokja tulisan Julius Pour, Minggu (31/1) di Gedung JEC, Jalan Janti, Yogyakarta, bersamaan dengan penyelenggaraan Kompas Gramedia Fair. Buku yang mengupas soal pertikaian pemimpin sipil-militer akhir tahun 1948 itu sebelumnya telah diluncurkan di Jakarta, akhir Desember 2009. Menurut Julius Pour, Doorstoot naar Djokja dimulai pada hari Minggu pukul 00.00, tanggal 19 Desember 1948. Sebuah serangan udara secara mendadak dilakukan pasukan Baret Merah KST (Korps Speciale Troepen) pimpinan Letnan Jenderal Simon Spoor untuk merebut landasan terbang Magoewo, Yogyakarta. Doorstoot Naar Djokja telah naik cetak dua kali. (POM)

Sumber: Kompas, Jumat, 29 Januari 2010

[Sosok] Dokumentasi Budaya Edy Kurnia

-- Runik Sri Astuti

SEJAK lahir ia tidak pernah bersinggungan dengan kebudayaan Jawa. Bahkan, di tubuhnya juga tidak mengalir darah keturunan orang Jawa. Namun, karya-karya seni yang dihasilkannya sangat njawani, kental dengan nuansa budaya Jawa kuno. Edy Kurnia, pria berdarah Sumatera itu, lahir di Kecamatan Prabumulih, Kota Palembang, 48 tahun silam. Dia cukup dikenal di kalangan seniman dan juga kolektor benda seni.

Edy Kurnia (KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI)

Ratusan karya seni bernilai tinggi telah dihasilkannya. Sebagian menghiasi ruang koleksi kolektor Tanah Air. Namun, tidak sedikit pula sentuhan kreativitasnya yang melanglang buana di mancanegara melalui broker di Bali.

Sebatang kayu nangka yang harganya hanya Rp 10.000, di tangan Edy bisa diubah menjadi berbagai benda seni pahat bernilai puluhan juta rupiah. Dari batang-batang kayu ia membuat berbagai topeng sosok tokoh cerita rakyat terkemuka, tokoh wayang krucil, atau wayang klithik, dan sepasang patung Loro Blonyo.

Sebuah topeng Panji Asmaradana biasanya dilepas ke pembeli dengan harga paling rendah Rp 1,5 juta. Namun, untuk sepasang patung Loro Blonyo, harga yang ditawarkan ke pasar bisa mencapai Rp 20 juta.

”Tergantung tingkat kesulitan pada pembuatan detail. Semakin banyak detailnya akan semakin mendekati bentuk asli, maka harganya juga semakin mahal,” ujarnya saat ditemui di bengkel sekaligus rumahnya di Kelurahan Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur.

Keunikan Edy, ia mampu memahat secara detail dalam media yang semakin kecil. Karya terkecilnya berukuran sebesar batang rokok. Itu dibuktikannya saat ia menerima pesanan topeng wajah raksasa berambut tebal.

Rata-rata topeng pahatan Edy memiliki ketebalan 2 milimeter. Ini yang membedakan kreativitasnya dengan pemahat lain, seperti pemahat topeng khas Cirebon dan topeng khas Madura, yang ketebalannya mencapai 5 milimeter.

”Semakin tipis pahatan, tingkat kesulitannya makin tinggi karena bahannya kian terbatas. Kalau tebal justru tidak masalah karena bahannya banyak sehingga lebih leluasa dibentuk apa pun,” katanya.

Ciri khas lainnya, beda seni pahat Edy terletak pada bentuknya yang hampir menyerupai benda asli. Patung Loro Blonyo, misalnya, bentuknya sangat mirip dengan sepasang manusia yang menjadi pengantin baru. Detail penggambaran wajah patung benar-benar mirip manusia.

”Pesanan kolektor memang aneh-aneh. Saya pernah diminta membuat pahatan Hamengku Buwono dan Ratu lengkap dengan sanggul yang dikenakannya. Pemesan menantang saya membuat sanggul yang menyerupai aslinya, dengan guratan rambut yang mencolok,” tuturnya.

Edy mengaku tidak pernah sepi pesanan. Bahkan, pesanan untuk dua tahun ke depan sudah penuh. Dalam tahun 2010 saja sedikitnya ia harus membuat 15 topeng, 10 patung berdiri setinggi 50 cm, dan patung Loro Blonyo.

Barang seni

Permasalahan biasanya muncul pada bahan baku. Pemahat seperti Edy kesulitan mendapatkan kayu yang bagus sebagai media pahat. ”Kalaupun kayunya ada, kualitasnya buruk. Misalnya cacat, retak,” ujarnya.

Demi mendapatkan hasil maksimal, Edy memulai dari memilih bahan baku yang benar-benar berkualitas. Jenis kayu yang biasa dipahatnya adalah mentaos, nangka, dan jati. ”Semua jenis kayu pada prinsipnya bisa dibuat barang seni, tetapi khusus seni pahat, utamanya untuk budaya Jawa, ada pakemnya (aturan tidak tertulis),” katanya.

Edy tidak pernah belajar khusus tentang seni memahat. Pria yang hobi menyanyi keroncong dan memainkan alat musik biola ini mulai belajar memahat dengan membuat sangkar burung di rumahnya.

Saat itu ia hanya iseng mengukir sangkar burung yang terbuat dari kayu polosan. Niatnya hanya mempercantik dengan menambahkan sedikit goresan pahat. Namun, tak disangka, banyak orang memuji buah tangannya itu.

Ketika pertama memahat, Edy tak mengenal alat pahat. Modalnya hanya dua buah pisau yang ujungnya runcing. Mata pisau sangat kecil, tetapi gagangnya dibuat panjang untuk memudahkan pegangan.

Baru setelah ia melihat pemahat dari Jepara dan Cirebon, ayah tiga anak ini mengetahui ada peralatan khusus pahat. Sejak itu ia pun berupaya memilikinya dan belajar mengaplikasikannya.

Namun, Edy baru tertarik pada seni pahat saat dia berada di Kediri tahun 1997. Ketika itu, ia bekerja di bagian teknik PT Gudang Garam. Sarjana Teknik Elektro Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) ini mengaku terpengaruh dengan aura Kota Kediri, yang menurut dia, kental dengan kultur Jawa. Bahkan, ia nekat keluar dari pekerjaannya yang telah membuatnya mapan hanya untuk menggeluti seni pahat.

Syukurlah, ia tidak perlu menunggu lama untuk menuai hasil dari ketekunannya. Karya seni pahatnya menempati ruang tersendiri di hati masyarakat, mulai dari mereka yang awam hingga pelaku seni.

Bahkan, ia mengklaim, sebagian besar konsumennya adalah seniman. Dan, dari para seniman itu pula Edy diperkenalkan dengan budaya Jawa, khususnya yang telah lama punah tergerus modernisasi.

Dokumentasi

Para seniman datang kepadanya untuk mendokumentasikan karya-karya asli tradisional, seperti wayang krucil, golek kencana, patung Raden Panji Gumirang, wajah Buto Locaya, dan tokoh-tokoh cerita rakyat lainnya. ”Saya sering diminta membuat duplikat dari benda aslinya yang saat ini berada di tangan kolektor. Dan, saya baru tahu kalau benda-benda warisan tradisi tersebut sebagian besar dimiliki kolektor di luar negeri,” katanya.

Sayangnya, Edy jarang mendokumentasikan karya-karya yang telah dia buat. Begitu pahatannya jadi, biasanya langsung diambil pembeli. Bahkan, ia tidak pernah membuat karya ganda dalam setiap model yang dipesan.

Edy tengah merintis pembuatan duplikat karya-karya seni tradisional kuno yang telah hilang itu. Niatnya sebatas mendokumentasikan lewat pahatan agar kelak anak cucu kita dapat menikmatinya.

Niat mendokumentasikan karya seninya itu muncul setelah gagal mengajarkan kemampuannya memahat kepada generasi muda di sekitarnya. Puluhan pemuda yang telah dilatihnya akhirnya banting setir karena tak mampu mengendalikan emosi jiwa yang tidak stabil.

Itu juga yang menyebabkan Edy harus bekerja sendiri. Hanya sesekali darah dagingnya, Dian Pramana Putra (25), membantu, yakni pada saat hatinya sedang tergerak. Selebihnya, waktu anak muda itu digunakan untuk bermain.

Edy berharap generasi muda mendatang tetap mengenal warisan budaya nenek moyangnya sendiri.

Sumber: Kompas, Jumat, 29 Januari 2010

Wednesday, January 27, 2010

Langkan: Kumpulan Cerpen Wartawan Olahraga

LIMA wartawan olahraga dari berbagai media massa menerbitkan buku berisi kumpulan cerita pendek dengan tajuk ”Kumpulan Cerpen Wartawan Olahraga”. Mereka adalah AR Loebis, Aba Mardjani, Djunaedi Tjunti Agus, Mahfudin Nigara, dan Hendry Ch Bangun. Dalam kata pengantar atas buku terbitan Pustaka Spirit itu, Bangun mengatakan bahwa buku ini berisi 30 cerita pendek karya wartawan olahraga. Ada karya yang dibuat di awal kewartawanan dan tidak sedikit pula yang dibuat di masa kini, ketika mereka lebih 25 tahun menggeluti profesi jurnalistik. ”Sebenarnya bisa lebih banyak teman wartawan yang ikut,” tutur Bangun, Wakil Pemimpin Redaksi Harian Warta Kota, Jakarta. Buku ini disunting Djahar Muzakir, penikmat sastra/Wakil Direktur Pustaka Spirit. Peluncuran buku diadakan Kamis (28/1) pukul 12.00 di VIP Barat Stadion Utama Gelora Bung Karno, Senayan, Jakarta. (POM)

Sumber: Kompas, Rabu, 27 Januari 2010

[Maestro] Goenawan Mohamad: Media Cetak Tetap Unggul

PERKEMBANGAN zaman dan teknologi memang tidak dapat dihindari. Semua harus dihadapi dengan bijaksana, begitu pula dengan media. Tetapi, yang terlihat selama ini sepertinya, media belum memanfaatkannya dengan tepat.

Dunia pers saat ini berbeda dengan dunia pers di tahun-tahun yang lalu. Unsur-unsur baru mulai ikut ambil bagian di dalamnya dan perlahan mengubahnya. Demikian diungkapkan oleh wartawan senior Goenawan Mohamad kepada SP, Senin (25/1). (SP/Alex Suban)

Goenawan mengklasifikasikan, unsur baru yang masuk dan mulai mengubahnya tersebut menjadi dua, yaitu televisi dan internet. Kalau dahulu, menurutnya, media yang paling merajai adalah media cetak, tetapi semakin majunya teknologi, membuat media-media baru juga berkibar, seperti televisi dan internet.

"Unsur baru, seperti televisi dan Internet, sangat berpengaruh karena mereka memiliki daya atau kekuatan melebihi media cetak," ungkap pria kelahiran Batang, Pekalongan Jawa Tengah 29 Juli 1941 ini.

Tetapi, lanjutnya, kedua unsur tersebut tetap memiliki kelemahan mendasar, sehingga membuatnya tidak secara penuh menguasai dunia informasi dan mengalahkan media cetak dalam hal pemberitaan. Media cetak tetap unggul.

Selanjutnya, pria yang dikenal sebagai sastrawan, esais, budayawan, dan wartawan ini, membagi kelebihan sifat televisi menjadi dua, yang membuatnya saat ini lebih diminati daripada media cetak dalam hal pemberitaan. Pertama, televisi langsung terlibat dalam suatu peristiwa. Dalam artian, televisi dapat membawa penonton seperti langsung melihat, bahkan mengalami suatu peristiwa.

"Berbeda dengan media cetak yang membutuhkan jeda bagi pembacanya untuk mengetahui suatu peristiwa dan juga memberikan waktu kepada pembacanya untuk berpikir," jelas mantan Pemimpin Redaksi majalah Tempo ini.

Kedua, dengan semakin majunya teknologi, membuat berita yang disajikan di televisi lebih cepat atau ditayangkan langsung, sehingga penonton dapat dengan cepat mendapat informasi.

Hanya saja, pria yang terkenal dengan Catatan Pinggir (Caping) ini mengkritik apa yang dilakukan oleh media elektronik tersebut. Menurutnya, berita yang ditayangkan langsung terkadang tidak melewati penyuntingan, dan itu sangat mengkhawatirkan baginya.

Selain itu, penerapan sistem langsung tersebut juga mengakibatkan penerima informasi tidak memiliki cukup waktu untuk mencerna informasi yang masuk. Hal ini sangat disesalkan oleh jurnalis yang memiliki banyak karya itu, karena baginya, tidak membangun daya kritis para penerima informasi.

"Kecepatan menuntut jurnalis untuk cepat. Tetapi, jurnalis tersebut tidak selamanya siap. Karena tidak mudah membaca berita tanpa teks tertulis, kalau tidak terlatih. Bagaimana pun cepatnya, berita yang ditayangkan harus jelas dan akurat," ungkapnya.

Kemajuan Teknologi

Sementara itu, unsur kedua yang masuk dalam dunia pers saat ini adalah Internet. Lahirnya media online yang selalu memperbaharui beritanya setiap waktu, menurut pria yang akrab dipanggil Goen ini adalah suatu hasil dari kemajuan teknologi.

"Hampir sama dengan televisi, media online juga sangat membutuhkan kecepatan karena berita mereka harus diperbarui, bahkan setiap menit. Kecepatan ini juga yang membuat banyak kelemahan," ungkap pria yang mulai suka menulis sejak usia 17 tahun itu.

Kecepatan yang tidak terarah, lanjutnya, hampir sama dengan televisi yang membuat pembacanya berpikir tidak akurat mengenai informasi yang didapatnya karena tidak sempat mengeceknya lagi atau berpikir sejenak, tetapi langsung menelannya bulat-bulat.

Selain itu, hal ini juga semakin diperparah dengan para jurnalisnya yang asal tabrak. Dalam artian, tidak menyeleksi narasumber yang akan dimintai pendapat, karena dikejar-kejar dengan kecepatan tadi. Hasilnya, banyak narasumber yang tidak kompeten mengomentari suatu masalah.

"Saya sangat menyayangkan mereka yang tidak berkompeten, tetapi mau saja berbicara ketika ditanya oleh wartawan. Seharusnya, mereka mengetahui kapasitas dirinya. Sebagai contoh, diri saya sendiri. Waktu itu, ada wartawan yang bertanya kepada saya mengenai pilkada. Tetapi, saya menolak berkomentar, karena saya tahu kalau saya tidak memiliki kompetensi berbicara mengenai hal itu," kata pria yang juga pendiri Aliansi Jurnalis Independen (AJI) ini.

Melihat kenyataan itu, pria lulusan Sarjana Psikologi Universitas Indonesia (UI) ini menganggap, media cetak harus mampu bersaing dengan kedua media tersebut. Jangan sampai terbawa arus kecepatan yang membuatnya tidak akurat.

"Media cetak berperan memberi alternatif, yaitu memberikan jarak yang bermaksud memberikan waktu kepada pembacanya untuk berpikir, mengenai apa yang tertulis di dalamnya, sehingga membangun daya kritis pembacanya," ungkapnya.

Tetapi lanjutnya, teknologi tidak bisa dipersalahkan. Mengenai dampak teknologi di dunia pers saat ini, menurutnya, yang patut dipersalahkan adalah manusianya yang tidak bisa memanfaatkan teknologi secara tepat.

Terkait kecepatan yang semakin menjadi tuntutan itu, pria yang belajar Ilmu Politik di Belgia ini menegaskan, kalau jurnalis sekarang harus memiliki keahlian, sehingga berita yang dibuatnya jelas dan akurat.

Oleh karena itu, dia melanjutkan jangan pernah berhenti berlatih untuk menjadi jurnalis yang hebat dan jangan lupa melakukan riset terlebih dahulu sebelum menulis sebuah berita. [NOV/N-5]

Sumber: Suara Pembaruan, Rabu, 27 Januari 2010

Tuesday, January 26, 2010

[Sosok] Basuki, Koran dan Pendidikan

-- Yurnaldi

ADA catatan menarik setelah Program Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Indonesia meluluskan doktor ke-42, Basuki Agus Suparno, Kamis (14/1) lalu. Promotor Prof M Alwi Dahlan, PhD mengatakan, yang membedakan Doktor Basuki dengan 41 doktor lain dari Ilmu Komunikasi UI adalah dia merupakan satu-satunya sosok yang memulai karier komunikasi dari bawah, sebagai loper koran.

Basuki Agus Suparno (KOMPAS/ YURNALDI)

Untuk mewujudkan mimpinya meraih jenjang pendidikan tertinggi, Basuki, anak kedelapan dari sembilan bersaudara keluarga buruh ini, pernah menjadi pengasong di gerbong kereta api dan distributor gula pasir dari rumah ke rumah,” kata Alwi Dahlan bangga, saat membacakan catatannya tentang Basuki.

Kebanggaan lain juga dikemukakan kopromotor Prof Sasa Djuarsa Sendjaja, PhD. Seusai Sidang Terbuka Senat Akademik UI, katanya, ”Kajian disertasi Basuki itu menarik dalam studi komunikasi politik karena memfokuskan pada bahasa politik terkait dengan berbagai pemaknaan dan clash of argument tentang reformasi di Indonesia.”

Basuki, lanjut Sasa, meneliti bagaimana kontestasi makna reformasi dalam drama politik pada 1997-1998 di Indonesia dan bagaimana para aktor politik berkomunikasi (political talks) tentang reformasi dalam drama politik itu. Hasil penelitian Basuki menunjukkan, selama 1997-1998 terdapat lima keadaan obyektif yang memperlihatkan panggung drama (scene) di mana reformasi dipikirkan dan saling bersaing. Alwi Dahlan menyarankan agar disertasi Basuki diolah menjadi buku.

Basuki melakukan penelitian dengan memanfaatkan surat kabar Kompas selama tahun 1997-1998. Ia mencermati pernyataan-pernyataan para aktor politik yang didukung data dari wawancara menjadi sesuatu yang menarik.

Menurut dia, ada lima keadaan obyektif yang memperlihatkan panggung drama, di mana reformasi dipikirkan dan saling bersaing. Pertama, situasi pencalonan presiden masa bakti 1998-2003 yang memperlihatkan kompetisi, saling bersaing antara mereka yang menginginkan Presiden Soeharto tak dicalonkan dan yang tetap menginginkannya.

Kedua, aksi dan demonstrasi mahasiswa. Di sini ada persaingan antara mereka yang menghentikan gerakan serta yang berkeinginan memperluas gerakan dan tingkat partisipasi guna menjatuhkan Soeharto.

Ketiga, kerusuhan massa yang memperlihatkan persaingan pemikiran antara yang melihat itu sebagai akibat kesenjangan sosial dan pembangkangan sipil. Keempat, krisis ekonomi, persaingan antara prinsip-prinsip ekonomi bebas dan ekonomi yang proteksionisme dan monopoli. Kelima, posisi ABRI dilematis, memberikan ruang kepada tuntutan reformasi atau mempertahankan kekuasaan dan pemerintahan.

”Hasilnya, Soeharto menyatakan berhenti, rezim Orde Baru diganti, dwifungsi ABRI dicabut, amandemen UUD 1945, berbagai kebijakan ekonomi dicabut, keterbukaan dan kebebasan pers, serta kekuasaan dikompetisikan secara terbuka,” ujarnya.

Penelitian Basuki berimplikasi teoretis dalam kajian komunikasi, juga berimplikasi terhadap kajian politik dan sejarah. Kata dia, telaah yang perlu dikembangkan lebih jauh sebagai implikasi teoretis bagi kajian sejarah adalah menguji otentisitas pernyataan-pernyataan yang terekam di Kompas hingga segi-segi ini dapat mencerminkan sejarah perubahan kekuasaan yang sebenarnya penuh ironi.

”Jejak komunikasi itu dapat dikembangkan lebih jauh untuk menguji presentasi sosial para aktor politik, nilai-nilai yang diperjuangkan, segi perubahan itu sendiri, dan konstelasi kekuatan dan kekuasaan yang terbentuk dan berguna bagi perjalanan kehidupan berbangsa dan bernegara,” ujarnya.

Semangat loper

Basuki menyadari, ia bisa meraih gelar doktor dengan kelulusan cum laude karena tempaan kehidupan yang penuh liku-liku. Ketika ayahnya, Suwoyo Wirusumitro, diberhentikan jadi buruh pabrik gula di Sragen, ayahnya mengadu nasib ke Jakarta menjadi tukang batu.

Beban hidup dan pekerjaan yang berat membuat sang ayah meninggal pada 1983. Maka ibundanya, Sugiyanti, dan adiknya pulang ke Sragen. Basuki, yang saat itu kelas II SMP 50 Jakarta, juga pulang kampung.

”Di kampung ada modal hidup berupa 20 batang pohon kelapa. Untuk makan sehari-hari, saya mengupas kelapa, Ibu yang menjual. Hasil belajar saya jelek dan menjadi bahan tertawaan. Anak pindahan dari Jakarta hanya dapat nilai 3 untuk ulangan Fisika. Tertawaan teman membuat saya termotivasi belajar otodidak. Saya berhasil lulus dan diterima di SMA Negeri I Sragen,” katanya.

Basuki ingin masuk fakultas kedokteran atau jurusan kimia, tetapi ia tak lulus tes. Menyadari sang ibu tak mampu, ia memilih berjualan koran untuk hidup dan kuliah.

”Hari pertama saya jual koran, hanya laku tiga eksemplar dan dapat uang Rp 300. Esoknya saya beranikan diri masuk-keluar kantor dan dapat Rp 1.000. Hari-hari berikutnya saya bisa menabung Rp 6.000 dan dalam setahun tabungan saya jadi Rp 300.000,” ujarnya.

Seusai berjualan koran sekitar pukul 14.00, Basuki mengasong di gerbong kereta api jurusan Klaten-Bandung dan Klaten-Surabaya. Semua hasil jualan itu dia simpan.

Basuki lalu memilih kuliah di jurusan Ilmu Komunikasi Universitas Sebelas Maret (UNS). Ia tak lagi menjadi pengecer koran, tetapi loper koran. Kesibukan itu membuat dia sering terlambat kuliah.

Sekitar enam tahun menjadi loper koran, ia mengantongi penghasilan sekitar Rp 60.000 per bulan. Lulus S-1 dengan indeks prestasi kumulatif (IPK) 3,2, selain berjualan koran ia juga berjualan gula pasir dari rumah ke rumah. Modal awalnya satu karung gula pasir seharga Rp 100.000. Dari hari ke hari pelanggan Basuki bertambah, ia memerlukan 3 ton gula pasir per bulan untuk melayani sekitar 300 pelanggan.

Ketika ada peluang menjadi dosen pada 1997, temannya, Sigit Tripambudi, memotivasi, bahkan membuatkan lamaran untuk Basuki. Ketika dinyatakan lulus, ia berhenti menjadi loper koran dan distributor gula. Ia menjadi dosen tetap UPN Veteran Yogyakarta.

Studi S-2 di UNS dia selesaikan dengan IPK 3,8 dan predikat cum laude. Ia juga mendapat beasiswa S-3 di Universitas Indonesia, yang diselesaikannya selama 4,5 tahun.

”Kalau ada kemauan, Tuhan memberikan jalan. Sesuatu yang tak mungkin, bisa mungkin asal ada cita-cita dan keberanian untuk mewujudkannya. Suka-duka hidup itu menjadi energi positif mencapai keberhasilan,” katanya.

Sumber: Kompas, Selasa, 26 Januari 2010

Monday, January 25, 2010

Sebuah Tafereel Sejarah: Napak Tilas Wartawan KMB 1949

Pengantar

Dalam kaitan memperingati 60 tahun Konferensi Meja Bundar (KMB)—23 Agustus-2 November 1949—dan penyerahan kedaulatan—27 Desember 1949—Radio Nederland Wereldomroep (NRW) mengundang wartawan dari Indonesia yang meliput KMB 60 tahun lalu untuk berbagi pengalaman. Dari sekitar 12 wartawan yang kala itu meliput, tinggal tiga orang yang masih hidup, satu di antaranya Rosihan Anwar. Wartawan senior sekaligus pelaku sejarah itu menuliskan hasil perjalanannya selama sepekan di Nederland bulan Desember lalu di halaman ini dan halaman 35. Redaksi

Action....!


Saya mulai berjalan didampingi Febriyanti Sukmana di Ridderzaal Twede Kamer, parlemen Belanda, Binnenhof Den Haag, 23 Desember 2009 siang. Saya berucap, ”Di sini 60 tahun yang lalu berlangsung upacara pembukaan resmi Konferensi Meja Bundar, Ronde Tafel Conferentie, 23 Agustus 1949 untuk mewujudkan penyerahan kedaulatan (souvereiniteits overdracht) dari Kerajaan Belanda kepada negara federal Republik Indonesia Serikat.”

Konferensi Meja Bundar, 23 Agustus 1949, antara lain memutuskan, sebagai imbalan penyerahan kedaulatan kepada Indonesia, pihak Belanda mendapat bayaran sebesar 4,5 miliar gulden dari pihak Indonesia. Menurut sejarawan Lambert Giebels, sebelumnya Belanda menuntut imbalan sekitar 6,5 miliar gulden. (IPPHOS)

Seraya kami lewat di depan kursi tempat Ratu Beatrix mengucapkan Troonrede, pidato mahkota, juru kamera Junito Drias melakukan pengambilan gambar. Berkali-kali saya dimintanya mengulang gerak serupa guna memperoleh shots dari sudut jarak jauh hingga dekat, memfokus pada tongkat saya berkepala naga dan kepada jari-jari yang memegangnya.

Karena pengalaman sebagai aktor pemeran pembantu dalam film cerita, mulai dari Darah dan Doa (1950) arahan sutradara Usmar Ismail, Bapak Perfilman Nasional, hingga film Tjoet Nja Dien (1985), disutradarai Erros Djarot serta dibintangi Christine Hakim dan Slamet Raharjo—karena terbiasa mendengar perintah sutradara action dan cut—saya selesaikan apa yang harus di-acting-kan. Lama-lama kesal juga dan saya bergumam, ”Gue nih lagi dikerjain.”

Adegan berpindah. Saya duduk diwawancarai oleh Febriyanti dari Radio Hilversum, dalam dua bahasa, yakni Indonesia dan Belanda. Kemudian penyiar Yanti Mualim menyusul dengan wawancara berikut. Dalam ruangan Ridderzaal yang kosong itu, dengan lantai dihampari karpet berwarna jingga, hadir tiga orang yang turut bersama saya dari Jakarta, yaitu sejarawan Dr Rusjdi Hussein, putri bungsu saya, dr Naila Karim, SpM (Ela), dan suaminya, dr Roberth J Pattiselanno (Robby).

”Gawe” NRW

Apa pasal dengan kunjungan ke Negeri Belanda itu?

Radio Nederland Wereldomroep (NRW) punya gawe, yaitu memperingati tepat 60 tahun penyelenggaraan KMB (23 Agustus-2 November 1949) dan peristiwa penyerahan kedaulatan (27 Desember 1949). Maka, dicarinya wartawan-wartawan dari Indonesia yang meliput KMB untuk diundang ke Nederland, lalu bercerita mengenai pengalaman mereka. Ternyata wartawan KMB yang masih hidup adalah diri saya.

Saya coba mengenang dan mudah-mudahan memori ini masih kuat untuk tidak melakukan kesalahan fatal, maklum 60 tahun telah berlalu dan ambang pintu kepikunan sudah ada di depan.

Adapun wartawan yang meliput KMB adalah BM Diah dan istrinya, Herawati (harian Merdeka, Jakarta); Adinegoro dan istri (majalah Mimbar Indonesia, Jakarta); Wonohito (Kedaulatan Rakyat, Yogyakarta); Sukrisno (Antara, Yogyakarta); Mohammad Said (Waspada, Medan); Kwee Kek Beng (Sin Po, Jakarta); Ir Pohan (majalah Spektra, Jakarta); RM Sutarto (Berita Film, Indonesia); EU Pupella (Ambon); serta Rosihan Anwar dan istrinya, Zuraida (Pedoman, Jakarta).

Teman-teman sejawat tadi telah meninggal dunia. Yang masih hidup tinggal Herawati Diah (92), Rosihan Anwar (87), dan Zuraida R Anwar (86).

Saya terima undangan Radio Hilversum siaran bahasa Indonesia yang disampaikan oleh wartawannya, Jean van de Kok, di kediaman saya, dengan catatan agar saya didampingi oleh Dr Rusjdi Hussein yang semula adalah dokter medicus lulusan Universitas Indonesia dan menjelang masa pensiun mengikuti kuliah sejarah, lalu berhasil meraih gelar S-3 dengan disertasi tentang Perundingan Linggarjati (November 1946).

Putri sulung saya, dr Aida Fathya Darwis (Nonny), bersitekan agar terlebih dahulu saya check-up kepada dr Handoko Gunawan, Sp PP dan DR Idrus Alwi, Sp JP di Rumah Sakit MMC.

Sudah dua tahun saya tidak memeriksakan kesehatan kepada dr Handoko, ahli paru-paru. Dia menyimpulkan, ”Kondisi lumayan, boleh berangkat.”

Lain halnya dengan DR Idrus. Waktu ditensi, ternyata tekanan darah saya 200 sistolik dan 100 diastolik. ”Ini gawat. Ganti obat yang dipakai dan kembali satu minggu lagi,” katanya.

Pada pemeriksaan berikut tekanan darah mencatat 140/70. Saya dibolehkan pergi ke Negeri Belanda.

Namun, anak saya, dr Ela dan dr Robby, ingin mengawal dan menjaga saya, maka mereka ikut dalam perjalanan napak tilas wartawan KMB 1949.

Tiba di Schiphol

Setibanya di Bandara Schiphol, Minggu (20/12) pagi, Duta Besar RI pada Kerajaan Belanda Junus Effendi (Fanny) Habibie beserta sejumlah staf menyambut kedatangan kami. Kepala Redaksi Indonesia NRW Sirtjo Koolhof juga ada.

Di Bandara Kuala Lumpur dan di Schiphol saya kesulitan mendapat kereta roda untuk pengangkutan. Jarak cukup jauh. Kesehatan saya tak terlalu prima untuk berjalan kaki. Untung lewat pengemudi sebuah kereta golf dan saya diangkutnya. Munir dari protokol KBRI menunggu kami.

Dubes Fanny Habibie (72), yang khusus pada pagi buta dan suhu 10 derajat di bawah nol karena begitu care terhadap saya, datang ke Bandara Schiphol. Stafnya membawa sebuah mantel tebal untuk saya. Musim dingin tahun 2009 memang luar biasa. Saya dibawa ke mobil Pak Dubes. Waduh, di luar terminal bukan main dinginnya. Tubuh diterpa oleh angin kencang, muka serasa disayat-sayat sembilu. Sejak 1984 Nederland tidak lagi mengalami turunnya salju terhampar indah. Ela dan Robby tampak senang melihat salju pertama kali dalam hidup mereka. Bagi saya ini adalah untuk kedua kali.

Sensasi pertama saya alami di kampus North Western Reserve University di Michigan, Februari 1950, pasca-KMB. Atas beasiswa dari Rockefeller Foundation saya belajar ilmu dramaturgi di Amerika dan menonton tonil di Broadway, New York.

Dengan sepatu dibalut oleh boots dari karet, saya merancah tumpukan salju tebal di lapangan olahraga menuju gedung universitas. Pada hari itu pula saya baca di harian The New York Times sebuah berita kecil bahwa Panglima Besar Djenderal Sudirman tutup usia di Magelang. Jenderal Sudirman (1916-1950) setelah pecah aksi militer Belanda kedua, 19 Desember 1948, dan para pemimpin RI, Soekarno, Hatta, dan Sjahrir, ditawan telah keluar dari Yogya memimpin perang gerilya melawan tentara Belanda.

Saya kenang lagi tanggal 8 Juli 1949 di Desa Krejo, Kecamatan Ponjong, daerah Gunung Kendeng, saya dan Letkol Soeharto (kelak jadi Presiden) bertemu dengan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta dan dengan demikian meratakan jalan ke arah dimulainya KMB di Den Haag.

Kami menginap di Wisma Duta di Wassenaar. Dalam perjalanan ke sana saya tanya kepada Fanny Habibie yang sudah tiga tahun bertugas di Negeri Belanda bagaimana hubungan politik antara Belanda dan Indonesia dewasa ini.

Acara NIOD batal

Acara pertama yang dijadwalkan adalah kunjungan ke Nederlands Instituut voor Oorlogsdocumentatie (Lembaga Belanda untuk Dokumen Peperangan/NIOD) di Amsterdam. Kunjungan ialah untuk melihat dokumentasi yang disimpan di sana. Ada kliping dari sebuah artikel saya yang dimuat dalam majalah Minggoean Merdeka pimpinan Herawati Diah, tanggal 17 Mei 1946, berjudul ”Ditempat koekoe handak mentjekam. Radio Indonesia di Djakarta. Tetap setia melakoekan kewadjiban masjarakat”.

Kunjungan itu juga untuk bertemu dengan penulis Marije Plomp yang bekerja di NIOD. Pada awal Januari 2009 dia datang ke rumah saya untuk mencari bahan keterangan mengenai Piet de Queljoe, pegawai Kementerian Penerangan/Kepala Percetakan Negara tahun 1955, dan mengenai Frans Goedhart dari surat kabar Het Parool yang sebagai wartawan Belanda pertama menghadiri perayaan HUT Proklamasi 17 Agustus 1945 di Yogya, 17 Agustus 1946 di Gedung Negara.

Akan tetapi, acara kunjungan ke NIOD di Amsterdam gagal. Sebab, badai salju, Senin, 21 Desember, telah menghalangi orang leluasa bepergian, pegawai tidak bisa masuk kantor, kereta api dan trem macet total.

Alih-alih kami berempat, saya, Rusjdi, Ela, dan Robby, pergi ke Scheveningen mengunjungi Hotel Kurhaus. Waktu KMB ini merupakan tempat delegasi Indonesia menginap dan bekerja.

Saya berangkat dari Jakarta dengan pesawat Skymaster dari KLM pada 15 Agustus 1949 dan tiba di Schiphol tanggal 17 Agustus. Langsung saya ke Kurhaus.

PM Hatta menyelenggarakan perayaan HUT keempat proklamasi. Di resepsi itu saya lihat Sultan Hamid dari Pontianak, Anak Agung Gde Agung, PM Negara Indonesia Timur. Mereka tokoh-tokoh BFO. Di antara tamu-tamu terdapat orang Belanda dari kalangan politisi dan pegawai pemerintah.

Mari saya bercerita sedikit tentang Hotel Kurhaus yang mengandung sepotong sejarah Eropa yang menarik. Asal mulanya ialah pada 1818 Jacob Pronk membangun sebuah tempat pemandian terbuat dari kayu. Orang masuk ke dalam tong-tong untuk mandi dalam air laut yang dipercaya punya daya menyembuhkan penyakit. Tahun 1885 tempat itu menjelma sebagai Kurhaus, artinya rumah pengobatan yang pertama, terdiri atas sebuah bangsal untuk konser musik, 120 kamar, 2 restoran.

Dari tahun 1927 hingga tahun 1960-an Kurhaus menjadi pusat musik internasional. Tokoh-tokoh selebriti memberikan pertunjukan. Tercatat nama-nama seperti Maurice Chavalier, Duke Ellington, Edith Piaf, Maria Callas, dan Marlene Dietrich. Terakhir The Rolling Stones tahun 1965 untuk pertama kali memberikan pertunjukan di Eropa.

Banyak kepala negara dan kalangan raja menginap di Kurhaus, seperti Carola, ratu dari Sachsen; Irene, putri dari Prussia; Presiden AS Harry Truman; PM Inggris Winston Churchil; Presiden Perancis Caty; dan Kaisar Jepang Hirohito.

Tahun 1969 Kurhaus ditutup dan setelah direnovasi dibuka kembali tahun 1979, lengkap dengan Casino Scheveningen. Banyak konferensi internasional telah berlangsung di Kurhaus. Namun, KMB tidak disebut sama sekali dalam buku tamu. Ketika mengunjungi Kurhaus, 60 tahun setelah KMB, saya dapatkan banyak perubahan dalam interiornya.

Saya naik dengan lift ke tingkat atas untuk melihat hasil renovasi. Saya memandang ke Noordzee yang pada musim dingin bergolak ombaknya. Saya ingat pada musim panas 1949 pergi ke pantai sesudah matahari silam bersama penyair Ed Hoornik dan pengarang Mies Bouwhuis. Zuraida Rosihan rada kaget melihat Ed Hoornik, si bule berbadan tinggi besar, dengan kalem membuka pakaiannya di pinggir laut.

Tatkala meninggalkan Kurhaus saya ngomong dengan seorang karyawati masih muda. Saya bilang, waktu 60 tahun yang silam diselenggarakan KMB atau RTC sebagai wartawan saya sering berada di Kurhaus. Tahukah Anda apa RTC itu? Tampaknya dia tidak paham. Pengetahuan umum generasi muda Belanda mengenai apa yang terjadi di negerinya mungkin tidak banyak. So much for history!

Agenda yang dilaksanakan ialah perekaman audiovisual di Ridderzaal Den Haag, 23 Desember, serta siaran live dan interaktif dengan pendengar di Studio NRW di Hilversum, 28 Desember, di mana saya sendiri dalam jam pertama diwawancarai dan di jam kedua diikutsertakan narasumber Dr Rusjdi Hussein dan wakil Dubes Umar Hadi.

Berbagai topik dibicarakan dalam perekaman video dan dalam siaran radio live, dari cerita human interest hingga politik aktual. Marilah saya sebutkan beberapa contoh, disajikan dengan kiat journalism-in-capsule-form (meminjam istilah The New York Times).

Bagaimana jalannya KMB?

Tiga delegasi yang berunding, Belanda, Republik Indonesia, golongan Federal yang dihimpun dalam Bijzonder Federaal Overleg (BFO). Dalam praktik Republik dan BFO menyatu bila menghadapi Belanda. Beberapa Komisi dibentuk: Komisi Politik, di sana Hatta dominan; Ekonomi, di sana Dr Sumitro Djojohadikusumo menyangkal kebenaran angka-angka utang yang diajukan Belanda; Komisi Pertahanan, di mana Republik diwakili oleh Dr J Leimena dan Kolonel TB Simatupang; serta Komisi Kebudayaan, di mana Mr Ali Sastroamijoyo berperan.

Bagaimana hasilnya KMB?

Belanda tidak bersedia menyerahkan Irian Barat kepada Republik Indonesia Serikat (RIS). Penyelesaiannya ditangguhkan untuk masa satu tahun. Tidak memuaskan. RIS harus mengoper utang Belanda yang telah dibuatnya untuk memerangi RI sejumlah 4.100 juta gulden, sedangkan menurut hitungan Dr Sumitro justru Belanda yang berutang kepada Indonesia lebih dari 500 juta gulden. Tidak memuaskan.

Di bidang pertahanan, Belanda mau membikin tentara KNIL sebagai intisari tentara RIS. Ini ditolak tegas oleh Leimena dan Simatupang, dan Belanda setuju TNI sebagai kekuatan pokok tentara RIS. Ini memuaskan. Jadi dalam hasil KMB ada plusnya dan minusnya.

Poin perbedaan

Bagaimana dengan poin perbedaan, di satu pihak penyerahan kedaulatan (souvereiniteits overdracht), di lain pihak pengakuan kemerdekaan (vrijheids arkenning)?

Belanda tidak mau mengakui proklamasi 17 Agustus 1945 oleh Soekarno-Hatta. Belanda hanya mengakui penyerahan kedaulatan tanggal 27 Desember 1949 sebagai bermulanya negara merdeka berdaulat berbentuk federal, yaitu RIS.

Belanda mempunyai pola pikir legalistik. Dia menganggap secara hukum internasional masih heer en meester (tuan dan penguasa) atas Hindia Belanda. Tapi, sikap Indonesia ialah Soekarno-Hatta sudah memproklamasikan atas nama bangsa Indonesia kemerdekaan Indonesia pada 17 Agustus 1945. Maka soalnya telah selesai. Saya tegaskan dalam bahasa Perancis: Soit. Fini. Dat is het (Demikian adanya. Selesai. Itulah adanya).

Dalam siaran radio live, 28 Desember, yang dipandu oleh Yanti Mualim dan Jean van de Kok masuk 24 SMS dari pendengar dengan pertanyaan dan komentar dari berbagai kota dan daerah di Indonesia. Ada satu setengah juta pendengar Radio Hilversum di Indonesia.

Kebanggaan Bung Hatta

Mengapa Bung Hatta yang menerima penyerahan kedaulatan dalam upacara di Istana di Amsterdam tanggal 17 Desember 1949?

Karena secara formal Bung Hatta selaku Wapres dan PM yang memimpin delegasi Indonesia dalam KMB. Bung Karno menganggap kita sudah merdeka, buat apa itu penyerahan kedaulatan? Untuk tambahan informasi bagi para pendengar, saya bercerita pernah bertanya kepada Hatta apakah yang penting dalam hidupnya, apa highlights kariernya? Bung Hatta menjawab dua hal.

”Pertama, saya ko-proklamator kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kedua, saya yang menerima penyerahan kedaulatan”. Hatta dalam pidato sambutannya pada upacara penyerahan kedaulatan dengan nada bangga dan suara nyaring menegaskan, ”Rakyat Indonesia sudah merasa lega dengan lenyapnya kolonialisme di Indonesia dan dengan susunan hukum baru berdasarkan Pancasila.”

Mengapa Pemerintah Belanda tidak mengakui proklamasi 17 Agustus 1945?

Saya belum sempat memasuki otak orang-orang Belanda itu. Berspekulasi di sini tidak baik. Cukuplah jawaban ini.

Dalam pada itu tidak tersedia waktu bagi saya untuk menyampaikan fakta bahwa PM Belanda JP Balkenende telah mengakui Proklamasi Kemerdekaan kita, 17 Agustus 1945, dan Menteri Luar Negeri Belanda Bernard Bot menghadiri perayaan 17 Agustus di Istana Merdeka pada 2005.

Bot, yang lahir di Jakarta masuk kamp interniran pada zaman Jepang, berani datang ke Jakarta dan dengan melawan sikap kaum veteran Belanda yang berperang di Indonesia telah memberitahukan kepada Indonesia bahwa Negeri Belanda pada saat aksi polisionil telah berdiri aan de verkeerdekant van de geschiedenis (di tempat yang keliru dari sejarah).

Sebagaimana dimaklumi akibat tekanan kaum veteran Belanda, Ratu Beatrix pada 1995 tidaklah menghadiri perayaan HUT ke-50 proklamasi kemerdekaan, tapi tiba di Jakarta beberapa hari kemudian. Tot ergenis van de Indonesiers (menyebalkan orang-orang Indonesia), demikian tulis sebuah majalah Belanda.

Mengapa Indonesia yang sudah merdeka ikut dalam KMB? Realitasnya ialah kita masih berhadapan dengan Belanda.

Rusjdi Hussein menambahkan dengan uraian sejarah sebelum KMB, tentang Perundingan Hoge Valuwe awal 1946, tentang Perundingan Linggarjati pada November 1946.

Saya utarakan pula sikap realistis PM Sutan Sjahrir. Dia menilai, tentara Indonesia tidak setara dengan tentara Belanda yang modern persenjataannya. Dia tidak setuju dengan usul Ho Chi Minh agar Indonesia dan Vietnam bersama-sama melawan kolonialisme-imperialisme sebagaimana termaktub dalam surat Ho Chi Minh kepada Wakil Presiden Mohammad Hatta.

Surat itu dibawa oleh wartawan Newsweek Amerika, Harold Isaacs, ke Jakarta awal 1946. Bagi Sjahrir, menerima usul Ho Chi Minh itu berarti menambah musuh. Cukuplah satu saja, yaitu Belanda. Berlarut-larutnya perang di Vietnam melawan Perancis dan kemudian Amerika telah meminta korban jutaan orang Vietnam.

Sjahrir yang realistis mau mencegah keadaan itu di Indonesia. Strateginya ialah politik diplomasi berbareng dengan perjuangan bersenjata.

Bagaimana pendapat Anda tentang petisi sejumlah intelektual Belanda yang kini mendesak pemerintahnya untuk mengakui kemerdekaan Indonesia yang dimulai 17 Agustus 1945?

Silakan saja. Yang penting kita bekerja sama ke masa datang.

H Rosihan Anwar
, Wartawan Senior

Sumber: Kompas, Senin, 25 Januari 2010