[JAKARTA] Presiden Susilo Bambang Yudhoyono meminta Menteri Pendidikan Nasional (Mendiknas) M Nuh untuk mengkaji kebijakan ujian nasional (UN). Diharapkan, UN bukanlah satu-satunya alat ukur dalam pendidikan.
"Saya berpendapat, sebaiknya UN tidak satu-satunya alat ukur yang bisa kita tentukan. Pilih dengan paduan aspek lain," kata Presiden saat membuka rapat terbatas masalah pendidikan dan kesehatan, di Jakarta, Kamis (7/1).
Selain Mendiknas, hadir dalam rapat tersebut, yakni Menteri Kesehatan (Menkes) Endang Rahayu Sedyaningsih, Menteri Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) Tifatul Sembiring, Menteri Agama (Menag) Suryadharma Ali, Menteri Sosial (Mensos) Salim Segaf Al Jufry, dan Menteri Negara Pemuda dan Olahraga (Mennegpora) Andi Mallarangeng.
Dia mengatakan, agenda rapat kali ini ada dua hal, yaitu pendidikan dan kesehatan. Untuk pendidikan, saya ingin mendengar presentasi Mendiknas, seperti apa konstruksi yang dapat kita bangun untuk kebijakan UN, dan untuk kesehatan, saya ingin mendengar apa yang menjadi dasar tentang jaminan kesehatan masyarakat dan bantuan operasional kesehatan," katanya.
Presiden menerangkan, ada dua opsi terkait kebijakan UN. Pertama UN sebagai ukuran yang pertama. Lalu bila tidak berhasil UN, masih ada peluang untuk melakukan ujian ulang.
Opsi kedua, kembali ke model evaluasi belajar tahap akhir nasional (ebtanas), namun hal ini perlu kajian mendalam.
"Yang penting harus lebih objektif mengukur prestasi siswa. Kalau tiga tahun, ukur tiga tahun. Tapi, saya kira kebijakan utuh menyangkut UN sangat penting kita tetapkan dengan tepat dan benar," katanya.
Harus Tegas
Sementara itu, Mendiknas mengatakan, UN tidak akan dijadikan syarat tunggal dalam menentukan kelulusan siswa SMP dan SMA. Terkait putusan Mahkamah Agung (MA) soal kasasi UN, Nuh menegaskan, tidak ada satu kata pun yang minta UN dihentikan atau dilarang. Dia mengatakan, pemerintah hanya diminta membayar uang perkara, meningkatkan kualitas guru, melengkapi sarana dan prasarana, serta aspek informasi.
Koordinator Education Forum (EF) Suparman mengapresiasi Presiden SBY yang cukup merespons keinginan masyarakat yang meminta UN tidak dijadikan satu-satunya standar penentu kelulusan siswa. Menurut dia, ada kesalahpahaman penafsiran dari Mendiknas terhadap keinginan Presiden terkait penyelesaian persoalan mengenai UN.
"Keinginan Presiden harus diterjemahkan dengan benar oleh Mendiknas. Jangan malah menafsirkan lain, dengan malah memperkuat pelaksanaan UN seperti sekarang ini," katanya kepada SP di Jakarta, Jumat (8/1).
Mengenai anggaran UN 2010 yang meningkat dibanding tahun lalu, Suparman mengatakan, sebenarnya efisiensi anggaran bisa dilakukan apabila pelaksanaan UN diserahkan kepada pihak sekolah. "Ini bisa jauh lebih hemat dibanding sekarang. Dana UN bisa dialihkan untuk memperbaiki kualitas guru, sarana dan prasarana pendidikan," pungkasnya.
Hal senada dikatakan anggota Koalisi Pendidikan Jimmy Paat. Menurut dia, Presiden SBY harus tegas soal UN. "Jangan memberikan pernyataan yang mengambang, tidak jelas, dan membingungkan masyarakat," katanya. Dia melihat, sebenarnya Presiden berkeinginan UN tidak dijadikan syarat kelulusan. Tapi, persoalannya pejabat bawahannya di kabinet memberi pendapat atau masukan yang sama, sehingga terjadi seperti sekarang ini.
Sikap Koalisi Pendidikan, tambahnya, sudah jelas bahwa UN harus dihapuskan. Evaluasi akhir dari proses pembelajaran, katanya harus dikembalikan ke sekolah. [W-12/M-17
Sumber: Suara Pembaruan, Jumat, 8 Januari 2010
No comments:
Post a Comment