-- Otto Gusti*
”Weh dem Land, das Helden noetig hat”—”Kasihan bangsa yang membutuhkan para pahlawan.” (Bertolt Brecht)
Peringatan sastrawan Jerman ini merupakan awasan kritis bagi bangsa Indonesia di tengah euforia diskursus seputar kriteria penetapan pahlawan nasional pascakematian mantan Presiden KH Abdurrahman Wahid atau Gus Dur. Pertanyaan yang perlu direfleksikan secara mendalam, siapa membutuhkan para pahlawan dan mengapa.
Setelah beberapa partai politik dan organisasi kemasyarakatan menganjurkan agar Gus Dur lekas dinobatkan menjadi pahlawan nasional, muncul wacana lanjutan supaya mantan Presiden Soeharto pun diberi gelar pahlawan nasional (Lukman Hakim Saifuddin, Kompas, 13/01/2010).
Rekonsiliasi
Saifuddin menyetujui usulan pengangkatan Soeharto menjadi pahlawan nasional atas pertimbangan yuridis formal dan rekon- siliasi terhadap persoalan masa lalu. Secara yuridis, Gus Dur memiliki cacat karena pernah diberhentikan dari jabatan presiden berdasarkan Ketetapan (TAP) MPR NO II/MPR/2001. Dalihnya, Gus Dur yang memiliki beban hukum masa lalu saja layak menjadi pahlawan nasional, tentu Soeharto dalam posisi bebas dari segala cacat hukum tak memiliki ganjalan apa pun untuk memperoleh gelar kehormatan tersebut.
Selain alasan yuridis formal, rekonsiliasi bangsa dipandang sebagai argumentasi fundamental penetapan Soeharto sebagai pahlawan nasional. Bangsa yang besar adalah bangsa yang tahu menghormati perjuangan para pahlawannya. Namun, karakter bangsa besar juga perlu dibangun atas dasar kejujuran dan nilai-nilai kemanusiaan universal. Karena itu, tidak kuat dalih Saifuddin, ”terhadap tokoh-tokoh yang sudah meninggal itu, kita cukup mengingat jasa-jasanya sebagai sumber inspirasi ke depan”, dan tidak mempersoalkan ”khilaf yang sempat mereka lakukan”.
Khilaf yang sempat dilakukan oleh Soeharto bukan sekadar dosa pribadi, tetapi sebuah kejahatan sistematis negara atas warganya. Untuk itu, pengungkapan kejahatan kemanusiaan masa lalu yang melibatkan orang nomor satu Orde Baru ini perlu dilakukan secara fair dan terbuka sebelum dinobatkan menjadi pahlawan nasional. Bangsa Indonesia secara moral juga bertanggung jawab menegakkan keadilan bagi para korban kekerasan terhadap kemanusiaan, seperti dalam peristiwa G30S/PKI, pendudukan Timor Timur, peristiwa Tanjung Priok, hingga pembantaian dan pemerkosaan warga Indonesia keturunan Tionghoa pada Oktober 1998.
Bangsa Indonesia dapat menjadi bangsa besar yang belajar dari kekhilafan masa silamnya jika berani membongkar kekelaman masa lalu itu dan menemukan kebenaran historis di dalamnya. Rekonsiliasi hanya mungkin kalau kebenaran sejarah terkuak dan keadilan bagi para korban kejahatan kemanusiaan ditegakkan.
Untuk mengetahui apakah mantan Presiden Soeharto memang secara yuridis formal sungguh tanpa cacat, itu perlu diuji pada produk hukum yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai kemanusiaan universal. Hukum dengan roh Orde Baru tidak dapat dijadikan patokan karena rezim Orba dibangun atas kekuasaan represif dan doktrin Hobbesian, yaitu auctoritas non veritas facit legem (kekuasaanlah, bukan kebenaran, menciptakan hukum).
Visi Brecht
Awasan Bertolt Brecht tersebut adalah catatan kritis bagi bangsa Indonesia dalam membaca konsep kepahlawanan dan segala bentuk heroisme. Brecht hidup ketika Jerman berada di bawah cengkeraman rezim totalitarian Nazi pimpinan Adolf Hitler. Brecht menyaksikan bagaimana setiap warga Jerman diwajibkan membela dan mempertahankan kebesaran negaranya. Banyak anak muda lantaran keluguan dan kepolosan dengan suka rela ikut berperang mempertahankan kebesaran negaranya.
Pada tataran etis terjadi apa yang oleh filsuf Friedrich Nietzsche disebutkan sebagai ”penjungkirbalikkan nilai-nilai” (Umwertung aller Werte). Bagi keba- nyakan orang, perbedaan antara kebaikan dan kejahatan menjadi kabur. Orang tidak sanggup merasa prihatin atau bahkan tidak merasa aneh sedikit pun jika tetangganya yang hanya karena keturunan Yahudi dikejar, ditahan, disiksa sebelum akhirnya dibinasakan di kamp konsentrasi. Dalam sistem politik totalitarian Nazi, seorang Eichman tidak dapat dikatakan penjahat perang, tetapi pahlawan bangsa.
Usulan menjadikan Soeharto sebagai pahlawan nasional tidak dapat diajukan hanya atas dasar pertimbangan nasionalisme dan heroisme sempit. Validitasnya perlu diuji di hadapan nilai-nilai kemanusiaan universal. Jika tidak, kasihan bangsa Indonesia yang membutuhkan para pahlawan yang selalu mengorbankan anak bangsanya sendiri!
* Otto Gusti, Doktor Filsafat Lulusan Hochschule fuer Philosophie Muenchen, Jerman; Dosen di STFK Ledalero, Maumere
Sumber: Kompas, Senin, 18 Januari 2010
No comments:
Post a Comment