Judul Buku: Tionghoa Surabaya dalam Sepak Bola 1915-1942
Penulis: RN Bayu Aji
Penerbit: Ombak Jogjakarta
Cetakan: Pertama, 2010
Tebal: xx + 141 halaman
SEMENJAK kuliah, sahabat saya, R.N. Bayu Aji, kerap beride nyeleneh. Pernah menulis di harian ini tentang ''adu doro'' sebelum akhirnya dikembangkan dalam kumpulan artikel di buku Tempo Doeloe Selaloe Aktoeal (2007). Kini dia menulis buku tentang sejarah sepak bola Tionghoa di Surabaya tahun 1915-1942. Dilihat dari judul tampak sepele. Tapi, jika dibaca hubungannya dengan sepak terjang etnis Tionghoa di Indonesia, tak lengkap rasanya jika buku ini tidak disimak.
Sepak bola menjadi salah satu tren hiburan bagi kebanyakan masyarakat pada masa penjajahan. Olahraga ini dibawa masuk dari Eropa melalui Belanda ke Indonesia pada awal abad ke-20, yang saat itu masih di bawah pemerintahan Hindia Belanda. Tidak sekadar memberikan tontonan an sich melainkan menyimpan dinamika identitas kultural dan kepentingan ideologi.
Agen penyebar budaya mulanya tak sadar bahwa sepak bola mendapat perhatian dari masyarakat golongan timur asing (termasuk Tionghoa) dan pribumi. Kebiasaan masyarakat kelas atas Belanda yang memainkan sepak bola di lapangan dan tangsi berhasil mencuri ketertarikan dari kelas menengah dan bawah. Mulanya, sekadar dicoba, lalu ketagihan, dan pada gilirannya membentuk tim untuk pertandingan.
Pada awal abad ke-20 tumbuh perkumpulan sepak bola Tionghoa di Hindia Belanda. Seperti Donar (Tjie Ying Hwee), Asiatik, Eeviol (Peng Ho Sia), Tiong Un Tong. Union Semarang, Solosche Voetbal club, UMS Batavia, YMC Bandung, dan Tionghoa Surabaya. Kelompok Tionghoa paling siap mengadopsi olahraga orang Barat tersebut. Sebab, ketika politik etis tahun 1901 dilaksanakan, mereka memanfaatkan ranah pendidikan sebagai alat pelembagaan sepak bola. Pada 1915, saat tim sepak bola Tionghoa di Surabaya --Bond Tionghoa Surabaya-- dibentuk, dalam beberapa tahun memiliki pengelolaan manajemen, sarana, dan prasarana klub serta regenerasi pemain yang baik.
Pada 1927 Tionghoa Surabaya bergabung ke dalam Commite Kampionwedstrijden Tiong Hoa (CKTH), sebagai tandingan NIVB yang menjadi representasi sepak bola Belanda. Lalu pada 1930 CKTH diubah menjadi Hwa Nan Voetbal Bond (HNVB). Sejak itulah PSSI (Persatuan Sepak Raga Indonesia) sebagai representasi golongan pribumi dalam sepak bola, NIVB dan HNVB, bersaing.
Pemicu persaingan antartim tidak lepas dari identitas dan kultur kelompok masyarakat. Eksistensi mereka tersihir dengan keberadaan sepak bola. Trikotomi dalam sepak bola itu menjadikan Tionghoa Surabaya terus berbenah agar lebih hebat. Bond Tionghoa Surabaya menunjukkan perkembangan dengan memulai kompetisi antar-bond Tionghoa di Hindia Belanda dan masuk menjadi anggota SVB (Soerabajasche Voetbal Bond). Dalam kejuaraan SVB, Tionghoa bersaing dengan THOR (Tot Heil Onzer Ribben), HBS (Houd Braef Standt), Exelcior, Ajax, RKS, Zeemacht, Gie Hoo, Mena Moeria, dan Annasher.
Sejak awal Bond Tionghoa Surabaya berhasil duduk sebagai bond elite di Hindia Belanda. Sejumlah kejuaraan diraih seperti juara piala Hoo Bie (1921-1922), piala Tjoa Toan Hoen (1925), piala CKTH (1927-1929), piala HNVB (1930-1932), juara steden wedstrijden, dan kompetisi lokal di SVB. Puncaknya, pada 1939 saat Tionghoa Surabaya meraih juara kompetisi SVB, juara piala HNVB, dan juara Java Club Kampion. Sederet prestasi tersebut tidak mampu diungguli oleh bond mana pun, termasuk dari kalangan Belanda maupun Bumiputera.
Bond Tionghoa Surabaya berhasil merakit peran tidak hanya dalam olahraga. Sisi politik, sosial, ekonomi, dan budaya diramu, sehingga dapat dimanfaatkan sebagai alat perjuangan bangsa dan membangkitkan semangat nasionalisme, meski sekadar simbolik. Meski begitu, penggalangan dana untuk menyumbang kesengsaraan sesama bangsa Tionghoa kerap digelar. Pertandingan amal yang diselenggarakan dengan beberapa bond di Hindia Belanda dan dari luar Hindia Belanda, misalnya.
Nasionalisme Tionghoa Surabaya saat itu dekat dengan negara Tiongkok karena pengaruh Tiong Hoa Hwee Koan (THHK) dan perkumpulan Soe Poe Sia. Melalui semangat nasionalisme THHK, hasil dari pengumpulan dana pertandingan amal diberikan kepada sesama warga Tionghoa yang mengalami kesusahan di Tiongkok Utara akibat perang dan kesulitan ekonomi.
Saat terjadi pemboikotan pemberitaan pers Melayu Tionghoa, pada 1932, kalangan Tionghoa peranakan menggencarkan ide indonesierschaap. Perselisihan antara wartawan kulit berwarna dan pertandingan NIVB pada 1932 di Surabaya membuat Tionghoa Surabaya menjadi lebih hati-hati dalam menyikapi perselisihan antar- bond dan pers Melayu Tionghoa. Seiring memburuknya hubungan antara PSSI dan NIVB, sepak bola Tionghoa tetap memiliki hubungan baik. Hasilnya, Tionghoa Surabaya diberi kesempatan untuk menyumbangkan pemain dalam pentas Piala Dunia 1938 di Prancis atas nama Dutch East Indies.
Buku ini menarik dibaca saat banyak buku sejarah Tionghoa lebih fokus mengkaji perbedaan masyarakat Tiongkok dan masyarakat pribumi. Buku ini justru menekankan bagaimana sebenarnya masyarakat Tiongkok terintegrasi dalam denyut perkotaan Surabaya. Sejarah olahraga terkadang tidak tampak sebagai isu penting dibandingkan wacana kebangkitan nasional, perkembangan ekonomi masa kolonial, Perang Dunia II, dan tema-tema besar lain. Namun sepak bola adalah bagian penting dalam keseharian masyarakat, yang merepresentasikan kondisi yang lebih besar di masa kolonial. (*)
Arya W. Wirayuda, Mahasiswa pascasarjana program studi Sejarah Universitas Gadjah Mada
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 31 Januari 2010
No comments:
Post a Comment