Sunday, January 24, 2010

Festival Drama Basa Sunda yang Terasing

SEPERTI perhatian pemerintah atas kondisi Gedung Kesenian Rumentang Siang yang jadi tempat penyelenggaraannya, begitu juga perhatian yang diterima Festival Drama Basa Sunda (FDBS) yang diadakan Teater Sunda Kiwari (TSK). Gedung kesenian dan festival ini sama nasibnya. Terasing di tengah berbagai pernyataan yang sangat bersemangat dari para petinggi Pemerintah Provinsi Jawa Barat dan Pemerintah Kota Bandung. Dari mulai perlunya meningkatkan kesadaran pada seni- budaya dan bahasa Sunda, kearifan lokal, hingga cita-cita "luhur" menjadikan Bandung sebagai kota seni-budaya.

”NYANYIAN Angsa” 90 x 160 Cm Arkrilik di Atas Kanvas 2009, Karya Hanafi.*

Dalam konteks FDBS, keterasingan itu menjadi ironis lagi bukan lantaran ia tercatat di Museum Rekor Indonesia (Muri), atau karena inilah satu-satunya festival drama modern di Indonesia yang menggunakan bahasa daerah (Sunda) dan telah berlangsung secara kontinu sejak 1990, melainkan pada bagaimana besarnya antusiasme anak-anak muda dari sejumlah daerah Jabar mengikuti festival ini.

Dari tahun ke tahun grup-grup teater yang mengikuti FDBS terus meningkat. FDBS ke-X tahun 2008 yang lalu tercatat diikuti oleh 74 grup teater. Meskipun FDBS ke-XI 2010 akan berlangsung Maret, tetapi jumlah patandang (peserta) sudah mencapai 69 grup teater, dan tampaknya akan terus bertambah. Para patandang itu datang dari Garut, Tasikmalaya, Ciamis, Kuningan, Subang, Cimahi, Bandung, bahkan Yogyakarta.

FDBS dengan kata lain adalah keterasingan yang ironis. Apalagi jika dibandingkan dengan sejumlah festival, seminar, atau semiloka yang dikucuri dana oleh pemerintah hingga ratusan juta rupiah. Padahal, festival ini sesungguhnya tak hanya berisi keramaian, seperti halnya sebuah event yang dengan mudah menyebut dirinya festival, seperti yang kini banyak ditemukan. Juga tak melulu hanya menjadi semacam peristiwa kesenian yang bernama teater, tetapi juga menjanjikan fungsinya sebagai media apresiasi bagi pendidikan budaya dan bahasa Sunda.

Berangkat dari kenyataan itulah, sebuah diskusi diadakan di Aula Redaksi ”PR” dengan tajuk ”FDBS Sebagai Media Pendidikan Budaya Sunda”. Tiga pembicara dihadirkan, dosen STSI Bandung Arthur S. Nalan, seniman yang selalu menjadi juri FDBS Godi Suwarna, dan penulis yang getol mengamati FDBS Dhipa Galuh Purba. Ketiganya mengantar perbincangan ihwal FBDS ke berbagai pandangan, termasuk pada akhirnya bagaimana festival yang bisa menjadi media yang tepat bagi pendidikan seni budaya dan bahasa Sunda ini terasing dari perhatian pemerintah.

Arthur S. Nalan mengatakan, kebudayaan Sunda bisa dipahami dalam pengertian yang sempit dan luas. Sayangnya, tak sedikit kalangan pejabat yang melulu melihat bahwa kebudayaan itu kesenian. Sebagai bentuk kesenian yang plastis dan dinamis, seni pertunjukan seperti teater sesungguhnya menawarkan berbagai cara pandang dalam konteks pendidikan budaya. Di sinilah, FDBS bisa dilihat sebagai pendidikan luar sekolah. Oleh karena itulah, ia menyarankan agar pemenang dalam festival ini dibawa keliling pentas di sekolah-sekolah.

Godi Suwarna lebih memaparkan sejumlah pengalamannya sebagai juri FDBS sejak 1990. Dari pengalamannya mengikuti perjalanan FDBS, ia menuturkan bagaimana semangat anak-anak muda di berbagai daerah untuk tampil di ajang festival ini. Meski ada semangat kompetisi di dalamnya, tetapi ikut dalam FDBS bukan melulu ingin menjadi juara, melainkan kegairahan untuk tampil dalam ajang FDBS.

Ia mencontohkan "Teater Bolon" dari Tasikmalaya yang oleh panitia terpaksa tidak bisa dikategorikan patandang karena jumlah pemainnya yang rata-rata anak-anak. Akan tetapi, itu tidak membuat teater ini berkecil hati. Bagi mereka, penilaian bukan segala-galanya karena yang penting adalah tampil di pentas membawakan sebuah lakon. Di sini ia menceritakan sebuah kejadian tentang tingkat ”perhatian” pemerintah daerah terhadap peserta FDBS ketika panitia menerima surat yang dibawa oleh "Teater Bolon" dari Pemda Tasikmalaya yang menitipkan mereka pada panitia, termasuk menginap di G.K. Rumentang Siang.

"Saya tidak habis pikir, bagaimana mereka bisa sampai hati melepas dan membiarkan anak-anak kecil itu menginap di Rumentang Siang yang dingin dan hanya beralaskan tikar!" kata Godi.

Meski minimnya perhatian pemerintah pada FDBS sudah muncul sejak pemaparan Godi, Dhipa Galuh Purba lebih menegaskan lagi kenyataan ini. Ia mengilustrasikan bantuan biaya FDBS yang diberikan pemerintah dan rencana Pemprov Jabar membiayai pembuatan film "Perang Bubat" senilai Rp 6 miliar, yang bisa diandaikan seperti cicak dan dinosaurus.

**

SEJUMLAH pandangan mengemuka, dan memang akhirnya lebih banyak menyoroti rendahnya perhatian pemerintah. Budi Rahayu Tamsyah mengatakan, umumnya banyak orang yang tak merasa berutang budi pada seni budaya tradisi Sunda. Rendahnya perhatian pada FDBS, misalnya, sangatlah berbeda dengan dana ratusan juta yang digelontorkan bagi Festival Braga. Sementara Lin Samsuri mencoba melihat agar orang-orang yang terlibat dalam FDBS tidak lantas jadi humandeuar (kecewa dan menggerutu), sudah bekerja keras tetapi tidak diperhatikan pemerintah. Apalagi, menurut dia, ukuran keberhasilan suatu event tidak hanya bisa diukur dari hadir tidaknya pejabat.

Baik Yayat Hendayana, Dhipa, maupun Arthur S. Nalan menolak kesan humandeuar yang disebut Lin Samsuri. Mereka melihat, lebih dari sekadar mengangkut distribusi anggaran bagi FDBS, pemerintah juga harus diingatkan pada kewajibannya sebagai fasilitator bagi perkembangan seni budaya tradisional. Itu hanya bisa dilakukan dengan strategi skala prioritas yang jelas.

"Bukan humendeuar, tetapi nganaha-naha (bertanya mengapa) begitu rendahnya perhatian pemerintah pada FDBS. Padahal festival ini bukan sekadar festival drama, tetapi sudah menjadi kegiatan budaya," ujarnya.

Ia menambahkan, kegiatan-kegiatan seni budaya di Bandung seharusnya tak hanya terpola dan terprogram, tetapi juga teranggarkan. Jika tidak teranggarkan seperti yang terjadi dengan FDBS ini, kata dia, indikator apa yang dipakai untuk menyebut bahwa Bandung itu benar kota seni budaya?

Sementara Arthur S. Nalan tidak sependapat dengan pandangan Budi Rahayu Tamsyah yang membandingkan FDBS dengan Festival Braga karena orientasinya yang berbeda. Menurut dia, orientasi festival seperti Festival Braga memang selalu massif karena menyangkut beragam orang dan berlangsung di ruang yang terbuka. Berbeda dengan FDBS yang hanya bisa diapresiasi kalangan tertentu.

Di mata Tjetje Padmadinata, FDBS adalah suatu program yang tak punya anggaran. Ia menyebut, dari masa ke masa seni budaya tradisional memang selalu terdesak dan terpinggirkan. Apalagi uang dan kekuasaan ada di tangan pemerintah. "Kita memang tak bisa berharap terlalu banyak pada para pejabat apalagi anggota legistatif itu. Akan tetapi, kita perlu mengingatkan mereka pada kewajiban sebagai protektor dan fasilitator bagi pengembangan seni budaya tradisi," katanya.

Pandangan lain mengemuka dari Agam. Seraya mengingatkan kewajiban pemerintah, ada baiknya juga FDBS mulai mencoba melakukan manajemen jaringan bersama sejumlah komunitas industri kreatif yang ada di Bandung. Hal ini bisa menjadi kemungkinan yang menarik agar FDBS bisa terlibat ke dalam berbagai festival dalam jejaring tersebut. Jejaring industri kreatif inilah yang telah membawa Bandung tercatat sebagai kota paling kreatif. Dan tentu amat disayangkan jika FDBS juga terasing di dalamnya. (Ahda Imran)

Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 24 Januari 2010

No comments: