Monday, January 25, 2010

Lawatan: Memandang ke Depan

-- H Rosihan Anwar

DALAM rekaman video di Ridderzaal saya menyinggung perbedaan antara Perancis dan Belanda dalam menghadapi bekas negeri jajahan masing-masing. Saya mengunjungi negara-negara Afrika bekas jajahan Perancis, juga disebut negara-negara Francophone, pada tahun 1980-an.

Di Bandara Schiphol, Belanda. (Dari kiri ke kanan) Sirtjo Koolhof (Radio Hilversum), Rosihan Anwar, Duta Besar Junus Effendie Habibie, dan Naila Karim Anwar. (Rusjdi Hussein)

Saya terkesan oleh hubungan spesial antara penduduk lokal dan Perancis akibat sikap kultural dan politik ekonomi Perancis yang tetap memberikan dukungan.

Pengaruh bahasa Perancis masih kuat, elitenya berorientasi pada kebudayaan Perancis. Bantuan perkembangan ekonomi diberikan oleh Perancis.

Ini berbeda halnya dengan hubungan Belanda-Indonesia. Hubungan historis mereka sudah sirna. Untuk masa depan hubungan ini perlu diperbaiki. Secara historis Negeri Belanda merupakan jendela bagi Indonesia serta pintu gerbang bagi akses mengetahui dunia Barat dan peradabannya. Karena itu, perlu dilaksanakan kerja sama, baik di bidang politik, ekonomi, maupun kebudayaan antara Kerajaan Belanda dan Republik Indonesia.

Adegan penutup memperlihatkan saya dan Febriyanti di depan pintu Ridderzaal, berjalan keluar melalui lapangan licin akibat salju menuju mobil.

Final shot tampak dibalik jendela kaca mobil saya duduk memandang ke muka, seperti berefleksi mengenai perkembangan masa datang. Pada saat itu gambarnya freeze, gerak terhenti. Video yang durasinya sekitar 10 menit pun berakhir.

Supaya lebih kuat mengenang kembali disisipkan beberapa adegan dari sebuah film dokumenter tentang penyerahan kedaulatan.

Tampak para menteri berjalan di depan Paleis op de Dam hendak memasuki istana itu. Di dalam Wapres Hatta dan PM Belanda Willem Drees menandatangani perjanjian penyerahan kedaulatan dengan disaksikan oleh Ratu Juliana. Hatta memberikan pidato sambutan. Ratu Belanda juga demikian. Di luar orang-orang Indonesia yang berdiam di Negeri Belanda, antara lain yang berasal dari Maluku, menunggu untuk mengelu-elukan Wapres Hatta. Lagu ”Indonesia Raya” diperdengarkan oleh carillon, disusul oleh lagu kebangsaan Belanda, ”Wilhelmus”.

Sebagai wartawan Konferensi Meja Bundar (KMB) yang belum balik ke Tanah Air, saya hadir di Istana Amsterdam menyaksikan upacara penyerahan kedaulatan. Pikiran yang melintas di kepala ialah bangsa dan negara Indonesia kini siap menempatkan diri dalam pergaulan komunitas internasional, terbebas dari rasa rendah diri seorang anak jajahan.

Berbarengan dengan upacara di Istana De Dam, di Jakarta di Paleis Rijswijk yang segera berganti nama menjadi Istana Merdeka berlangsung upacara yang sama.

Sultan Hamengku Buwono IX mewakili bangsa Indonesia menerima penyerahan kedaulatan dari Wakil Agung Mahkota Lovink.

Setelah mereka menandatangani naskah perjanjian penyerahan kedaulatan, kedua pembesar itu pergi ke luar Istana menyaksikan upacara penurunan bendera.

Ketika bendera Belanda, Rood Wit Blauw, diturunkan, rakyat yang banyak berkumpul di depan pekarangan Istana bersuit-suit melecehkan Belanda, sedangkan tatkala Sang Merah Putih dikerek, rakyat menyambutnya dengan tempik sorak gembira.

Menurut protokol, maka naiklah de laatste Gouverneur Generaal, Gubernur Jenderal terakhir, ke pesawat KLM di Bandara Kemayoran hengkang ke negeri asalnya, Nederland. Sebuah kurun zaman telah berakhir.

Keesokan harinya Presiden Soekarno dan Ny Fatmawati turun dari pesawat Garuda Indonesia Airways di Bandara Kemayoran, dan setelah empat tahun di Yogya kembali ke Jakarta, disambut oleh rakyat dengan kegembiraan meluap-luap. Merdeka, merdeka!

Ditanya oleh penyiar, Yanti, Wakil Dubes Umar Hadi berbicara. Ia bilang mendengar lagu ”Indonesia Raya” dikumandangkan oleh carillon dalam film dokumenter tadi, dia lalu teringat sejarah diplomasi Indonesia pada 1945-1949 (dijalankan oleh PM Sjahrir, Wapres Hatta, dan Presiden Soekarno). Diplomasi Indonesia sama penting artinya dengan perjuangan fisik bersenjata. Dimensi kemanusiaan menyertai perjuangan tersebut. Hak segala bangsa untuk merdeka dijadikan pegangan. Dia sebut peranan Indonesia mengadakan Konferensi Asia-Afrika di Bandung pada 1955 yang bertujuan mengakhiri sisa-sisa penjajahan di benua Asia-Afrika. Dia merujuk pada Gerakan Nonblok dengan politik luar negeri bebas aktif, di mana Indonesia ikut memberikan sumbangan bagi perkembangan cita-citanya. Kini hubungan bilateral Belanda dan Indonesia makin erat sejak Menlu Belanda Bernard Bok hadir di Istana Merdeka di Jakarta pada perayaan 17 Agustus tahun 2005. Belanda dan Indonesia bisa bekerja sama dalam soal perubahan iklim, urusan persenjataan nuklir, untuk kepentingan umum.

Sejak Indonesia memasuki reformasi 10 tahun yang lalu, posisi Indonesia jauh lebih baik. Tidak ada lagi hambatan ideologi. Indonesia dilihat secara strategis dalam dialog Barat dengan Islam. Indonesia adalah negeri berpenduduk Muslim terbesar jumlahnya di dunia. Secara ekonomi, setelah krisis global yang terjadi, ada tiga negara yang kini positif pertumbuhan ekonominya, yakni China, India, dan Indonesia. G-20 yang merupakan kelompok negara paling berpengaruh dewasa ini, Indonesia termasuk di dalamnya, tetapi Negeri Belanda tidak. Melalui Indonesia Nederland bisa menyampaikan idenya mengenai perkembangan dunia ke G-20. Belanda mengatakan ada speciale relatie, hubungan istimewa antara Belanda dan Indonesia. Sejumlah 1,6 juta penduduk Nederland kini mempunyai sesuatu yang berkaitan dengan Indonesia. Di Den Haag dan tempat lain ada sekitar 300 restoran yang menghidangkan makanan masakan Indonesia.

Jika Indonesia bisa mengekspor bahan pangan dan ramuan Indonesia ke Negeri Belanda, dia menemukan sebuah pasar yang terjamin atau captive market.

Apakah soal penyerahan kedaulatan atau soal pengakuan kemerdekaan yang jadi titik perbedaan masih membayangi hubungan Indonesia-Belanda? ”Jangan terpenjara oleh sejarah masa lampau. Kita sepakat melihat ke depan,” kata Umar Hadi.

Dubes Nikolaos van Dam

Saya bertemu dengan Jan C Lepeltak, koresponden majalah Elsevier waktu dia berkunjung kepada Dubes Fanny Habibie.

Elsevier baru menerbitkan edisi spesial bertema ”Ons Indie-400 jaar Nederlandse sporen in Insulinde, de strijd om de onafhankelijkheid & 60 jaar Indonesia” (Hindia Kami-400 tahun jejak-jejak Belanda di Insulinde, perjuangan untuk kemerdekaan & 60 tahun Indonesia).

Saya bilang kepadanya untuk sebuah majalah yang konservatif isinya lumayan mengenai Indonesia. Akan tetapi, saya baca keterangan gambar dari enam presiden Indonesia, yaitu Ahmed Soekarno 1949-1967, Haji Muhammad Soeharto 1967-1998, Bacharuddin Jusuf Habibie 1998-1999, Abdurrahman Wahid 1999-2001, Megawati Soekarnoputri 2001-2004, Susilo Bambang Yudhoyono 2004-sekarang.

Rupanya Elsevier masih terus berpegang kepada legenda yang dipupuknya dalam benaknya bahwa Indonesia barulah merdeka sejak 27 Desember 1949 setelah penyerahan kedaulatan. Adapun fakta yang benar adalah Presiden Soekarno memerintah mulai tahun 1945. Bukan tahun 1949. Saya berpikir dalam bahasa Belanda tentang Elsevier: Ga je gang maar (Suka hati kamu).

Syo Wynia menulis artikel dalam Elsevier berjudul ”Frustratiea van een kleine mogendheid - Verlies van ons Indie was lange tijd traumatisch voor Nederlands zelfbeeld” (Frustrasi-frustrasi sebuah negara kecil-Kehilangan Hindia Kami adalah traumatis buat masa panjang bagi citra diri Belanda).

Enam puluh tahun setelah kemerdekaan Indonesia perasaan bersalah pascakolonial, mulanya terutama terhadap Indonesia, telah menentukan tidak hanya politik luar negeri Belanda, tapi juga menjelaskan besaran bantuan pembangunan dari Negeri Belanda.

Hanya dengan demikian dapat diterangkan bahwa kedutaan besar Belanda di Jakarta menempati urutan kedua dari semua ambassade Belanda di dunia.

Nederland pada 2009 juga kembali memberikan sebanyak 135 juta euro kepada Indonesia untuk bantuan pembangunan kendati kenyataan bahwa Indonesia menurut norma Belanda sesungguhnya adalah terlalu makmur untuk memperoleh bantuan ekonomi.

Jan Lepeltak menulis artikel berjudul ”Indonesiers zijn meer bezig met de toekomst” (Orang-orang Indonesia lebih banyak sibuk dengan masa depan).

Duta Besar Belanda Nikolaos van Dam yang sudah bertugas empat tahun di Jakarta jatuh hati kepada Indonesia. Sebagai diplomat yang fasih berbahasa Arab dan mulai bertugas sebagai Kuasa Usaha di Libya, kemudian sebagai Duta Besar di Irak, Mesir, Turki, ia tidak percaya pada meningkatnya usaha pengislaman (Islamisering) Indonesia karena 90 persen penduduknya sudah beragama Islam. Dalam pemilu 2009 ternyata partai-partai politik Islam tidak berdaya meraih banyak suara.

Secara pribadi, Dubes Van Dam sangat terkesan oleh kemampuan orang-orang Indonesia untuk menahankan nyeri sakit malapetaka yang paling merusak. Dapat dinamakan suatu keajaiban bahwa Indonesia kendati masalah-masalah yang paling berat selalu mengembangkan dirinya lebih lanjut. So much for the future!

Cerita ”human interest”

Mari kita kembali ke siaran Radio Hilversum, 28 Desember 2009, dan memungut dari sana beberapa cerita human interest dan bersifat personal.

Penyiar Yanti bertanya apakah benar Bu Rosihan pernah menjadi penyiar radio?

Saya jawab itu betul. Zuraida karena keadaan tak aman di Jakarta, dia tinggal dekat markas Batalyon-10 Nica, mengungsi bersama keluarganya ke Yogya, Desember 1945.

Pada 1946 sambil bekerja di redaksi Kedaulatan Rakyat, dia menjadi penyiar siaran luar negeri RRI Yogya dalam bahasa Inggris. Siaran dimulai dengan pemberitahuan: This is the voice of free Indonesia.

Zuraida, gadis Betawi, punya hubungan keluarga dengan pemimpin nasional Mohammad Husni Thamrin. Dia juga penyiar dalam bahasa Belanda. Saya yang waktu itu tetap tinggal di Jakarta sebagai wartawan surat kabar Merdeka sering mendengar suara merdunya waktu siaran sore hari di Yogya.

Dari 24 SMS yang dikirim oleh pendengar sewaktu siaran Radio Hilversum banyak yang tidak dapat saya jawab akibat kekurangan waktu. Akan tetapi, tidak mengapalah karena banyak di antaranya mirip satu sama lain menyangkut soal KMB.

Mari saya kemukakan sebagai ilustrasi hal-hal yang bersifat pribadi yang ditanyakan pendengar.

Waktu zaman bapak dulu, radio yang bersiaran, radio apa ya Pak? bunyi SMS Denny di Aceh Barat Daya.

Saya bercerita tentang siaran Nederlands Indisch Radio Omroep Maatschappij (NIROM) pada zaman Hindia Belanda, Hosokyoku pada zaman Jepang, dan RRI pada zaman Republik.

Assalamualaikum. Ak Kevin Bengkulu: Kalau zaman dulu radio sudah berapa macam, terus musik dulu apa yang paling digemari?

Saya cuma bisa jawab keroncong dan lagu-lagu Amerika.

Asep Galing bertanya: Apakah ada pemalsuan sejarah dalam kurikulum sekolah di Indonesia? Apa saja peristiwa sejarah bangsa Indonesia yang menurut Bapak harus diluruskan?

Saya kekurangan waktu untuk menjawabnya.

Pak Rosi, apa judul tulisan Anda yang mengkritik tentang kolonial Belanda di Indonesia? Tolong ceritakan isi ringkasnya. Dg Agus di Desa Sikka, Kecamatan Lela, Kabupaten Sikka Maumere, Flores, Nusa Tenggara Timur.

Pak Rosihan, saya sungguh bangga dengan perjuangan orang-orang Indonesia di zamannya bapak. Tidak seperti orang Indonesia sekarang, hanya pandai bicara dan korupsi. Pertanyaan saya: apa pendapat Bapak tentang kualitas orang Indonesia di zamannya Bapak dibanding dengan orang Indonesia sekarang? Gde Putra, Malang.

Bp Rosihan, Bapak termasuk pejuang lewat karya-karya Bapak, tapi waktu pemilu tahun ini Bapak memilih capres siapa? Mega/SBY? Trims dari Bu Nurul.

Pak Rosihan sudah berumur 88 tahun, tapi dari suaranya masih terdengar jelas dan bertenaga seperti orang muda, pasti juga sehat. Apa resepnya? Antonius J di Batu Jatim.

Goede middag Pak Rosihan Anwar & Kakak-kakak. Sisi dari Bandung senang sekali dapat mendengar suara Pak Rosihan di Renesi (Radio Nederland Siaran Indonesia) & lagu Belanda yang diputar tadi sangat indah, dank u wel.

Halo Ranesi. Apakah Pak Anwar sebagai saksi hidup KMB pernah menulis buku history mengenai KMB? Trims, Santoso Kalteng.

Saya jawab belum pernah, tetapi jika kesehatan mengizinkan ada maksud dalam waktu singkat menulis buku tentang peringatan 60 tahun KMB meskipun tidak secara akademis, tapi secara jurnalistik dan sedikit nge-pop agar dibaca juga oleh generasi muda untuk mengenal sejarah Indonesia-Belanda pada masa silam dan hubungan Indonesia-Belanda pada masa sekarang.

Ada SMS lain yang masuk, tetapi karena habis waktu tidak sempat dijawab.

Beberapa contoh, P Haerun, Banyuwangi: kenapa kok konferensi itu dinamakan Konferensi Meja Bundar (KMB). Apa ndak ada nama lain atau atas kesepakatan bersama yang berunding?

Pertanyaan untuk Bapak Rosihan Anwar. apakah saat itu anda merasa KMB adalah keinginan Belanda untuk merebut Indonesia kembali? Apa yang Anda pikirkan saat itu? Rudy Hartono, Jalan Penjajap Timur 3 A, Pemangkat, Kalimantan Barat.

Apakah benar Belanda menjajah Indonesia selama 350 tahun? Apakah ada pernyataan resmi Kerajaan Belanda tentang kemerdekaan Indonesia? Haposan di Kalimantan Barat.

Pak Ros, harapan apa yang ada dalam diri orang Belanda atas KMB yang tertangkap oleh pikiran Pak Ros? Dari Munthalib, Lawang, Malang.

Satu-satunya SMS dari seorang pendengar di Negeri Belanda berbunyi sebagai berikut: Selamat siang Ibu Yanti, Pak Jean, dan Pak Rosihan. Menurut Pak Rosihan, apa yang harus dilakukan supaya Belanda mau mengakui tanggal 17 Agustus 1945 sebagai kemerdekaan RI secara de jure? Dan pertanyaan yang kedua, apakah menurut Pak Rosihan harus ”mengakui” (atau lebih tepat) menerima tanggal 27 Desember 1949 secara de facto? Trims, Eric, Negeri Kincir Angin.

Time is up. Maka setelah siaran selama dua jam dari studio NRW Hilversum, penyiar Yanti dan Jean van de Kok mengucapkan terima kasih kepada kami sebagai narasumber wawancara.

Dalam siaran itu Nederland Wereld Omroep Siaran Indonesia entah untuk menyampaikan pesan muhibah (goodwill), entah hendak menandakan peristiwa itu sebagai simbolik dan harapan bagi hubungan Belanda-Indonesia pada masa datang memperdengarkan sebuah lagu Amerika terkenal dari tahun 1940-an, dimainkan oleh band Glenn Miller dan dinyanyikan oleh penyanyi-aktor masyhur, Frank Sintra.

Lirik lagu itu adalah sebagai berikut:

I give to you and you give to me,
True love, true love.
So on and on it will always be,
True love, true love.
For you and I have a guardian angel
On high with nothing to do,
But to give to you and to give to me,
Love forever true.

For you and I have a guardian angel
On high with nothing to do
But to give to you and to give to me
Love forever true
Love forever true.

Ya benar, itu adalah lagu ”True Love”. Cinta nan sejati.

Sumber: Kompas, Senin, 25 Januari 2010

No comments: