Friday, January 29, 2010

[Sosok] Dokumentasi Budaya Edy Kurnia

-- Runik Sri Astuti

SEJAK lahir ia tidak pernah bersinggungan dengan kebudayaan Jawa. Bahkan, di tubuhnya juga tidak mengalir darah keturunan orang Jawa. Namun, karya-karya seni yang dihasilkannya sangat njawani, kental dengan nuansa budaya Jawa kuno. Edy Kurnia, pria berdarah Sumatera itu, lahir di Kecamatan Prabumulih, Kota Palembang, 48 tahun silam. Dia cukup dikenal di kalangan seniman dan juga kolektor benda seni.

Edy Kurnia (KOMPAS/RUNIK SRI ASTUTI)

Ratusan karya seni bernilai tinggi telah dihasilkannya. Sebagian menghiasi ruang koleksi kolektor Tanah Air. Namun, tidak sedikit pula sentuhan kreativitasnya yang melanglang buana di mancanegara melalui broker di Bali.

Sebatang kayu nangka yang harganya hanya Rp 10.000, di tangan Edy bisa diubah menjadi berbagai benda seni pahat bernilai puluhan juta rupiah. Dari batang-batang kayu ia membuat berbagai topeng sosok tokoh cerita rakyat terkemuka, tokoh wayang krucil, atau wayang klithik, dan sepasang patung Loro Blonyo.

Sebuah topeng Panji Asmaradana biasanya dilepas ke pembeli dengan harga paling rendah Rp 1,5 juta. Namun, untuk sepasang patung Loro Blonyo, harga yang ditawarkan ke pasar bisa mencapai Rp 20 juta.

”Tergantung tingkat kesulitan pada pembuatan detail. Semakin banyak detailnya akan semakin mendekati bentuk asli, maka harganya juga semakin mahal,” ujarnya saat ditemui di bengkel sekaligus rumahnya di Kelurahan Bandar Lor, Kecamatan Mojoroto, Kota Kediri, Jawa Timur.

Keunikan Edy, ia mampu memahat secara detail dalam media yang semakin kecil. Karya terkecilnya berukuran sebesar batang rokok. Itu dibuktikannya saat ia menerima pesanan topeng wajah raksasa berambut tebal.

Rata-rata topeng pahatan Edy memiliki ketebalan 2 milimeter. Ini yang membedakan kreativitasnya dengan pemahat lain, seperti pemahat topeng khas Cirebon dan topeng khas Madura, yang ketebalannya mencapai 5 milimeter.

”Semakin tipis pahatan, tingkat kesulitannya makin tinggi karena bahannya kian terbatas. Kalau tebal justru tidak masalah karena bahannya banyak sehingga lebih leluasa dibentuk apa pun,” katanya.

Ciri khas lainnya, beda seni pahat Edy terletak pada bentuknya yang hampir menyerupai benda asli. Patung Loro Blonyo, misalnya, bentuknya sangat mirip dengan sepasang manusia yang menjadi pengantin baru. Detail penggambaran wajah patung benar-benar mirip manusia.

”Pesanan kolektor memang aneh-aneh. Saya pernah diminta membuat pahatan Hamengku Buwono dan Ratu lengkap dengan sanggul yang dikenakannya. Pemesan menantang saya membuat sanggul yang menyerupai aslinya, dengan guratan rambut yang mencolok,” tuturnya.

Edy mengaku tidak pernah sepi pesanan. Bahkan, pesanan untuk dua tahun ke depan sudah penuh. Dalam tahun 2010 saja sedikitnya ia harus membuat 15 topeng, 10 patung berdiri setinggi 50 cm, dan patung Loro Blonyo.

Barang seni

Permasalahan biasanya muncul pada bahan baku. Pemahat seperti Edy kesulitan mendapatkan kayu yang bagus sebagai media pahat. ”Kalaupun kayunya ada, kualitasnya buruk. Misalnya cacat, retak,” ujarnya.

Demi mendapatkan hasil maksimal, Edy memulai dari memilih bahan baku yang benar-benar berkualitas. Jenis kayu yang biasa dipahatnya adalah mentaos, nangka, dan jati. ”Semua jenis kayu pada prinsipnya bisa dibuat barang seni, tetapi khusus seni pahat, utamanya untuk budaya Jawa, ada pakemnya (aturan tidak tertulis),” katanya.

Edy tidak pernah belajar khusus tentang seni memahat. Pria yang hobi menyanyi keroncong dan memainkan alat musik biola ini mulai belajar memahat dengan membuat sangkar burung di rumahnya.

Saat itu ia hanya iseng mengukir sangkar burung yang terbuat dari kayu polosan. Niatnya hanya mempercantik dengan menambahkan sedikit goresan pahat. Namun, tak disangka, banyak orang memuji buah tangannya itu.

Ketika pertama memahat, Edy tak mengenal alat pahat. Modalnya hanya dua buah pisau yang ujungnya runcing. Mata pisau sangat kecil, tetapi gagangnya dibuat panjang untuk memudahkan pegangan.

Baru setelah ia melihat pemahat dari Jepara dan Cirebon, ayah tiga anak ini mengetahui ada peralatan khusus pahat. Sejak itu ia pun berupaya memilikinya dan belajar mengaplikasikannya.

Namun, Edy baru tertarik pada seni pahat saat dia berada di Kediri tahun 1997. Ketika itu, ia bekerja di bagian teknik PT Gudang Garam. Sarjana Teknik Elektro Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) ini mengaku terpengaruh dengan aura Kota Kediri, yang menurut dia, kental dengan kultur Jawa. Bahkan, ia nekat keluar dari pekerjaannya yang telah membuatnya mapan hanya untuk menggeluti seni pahat.

Syukurlah, ia tidak perlu menunggu lama untuk menuai hasil dari ketekunannya. Karya seni pahatnya menempati ruang tersendiri di hati masyarakat, mulai dari mereka yang awam hingga pelaku seni.

Bahkan, ia mengklaim, sebagian besar konsumennya adalah seniman. Dan, dari para seniman itu pula Edy diperkenalkan dengan budaya Jawa, khususnya yang telah lama punah tergerus modernisasi.

Dokumentasi

Para seniman datang kepadanya untuk mendokumentasikan karya-karya asli tradisional, seperti wayang krucil, golek kencana, patung Raden Panji Gumirang, wajah Buto Locaya, dan tokoh-tokoh cerita rakyat lainnya. ”Saya sering diminta membuat duplikat dari benda aslinya yang saat ini berada di tangan kolektor. Dan, saya baru tahu kalau benda-benda warisan tradisi tersebut sebagian besar dimiliki kolektor di luar negeri,” katanya.

Sayangnya, Edy jarang mendokumentasikan karya-karya yang telah dia buat. Begitu pahatannya jadi, biasanya langsung diambil pembeli. Bahkan, ia tidak pernah membuat karya ganda dalam setiap model yang dipesan.

Edy tengah merintis pembuatan duplikat karya-karya seni tradisional kuno yang telah hilang itu. Niatnya sebatas mendokumentasikan lewat pahatan agar kelak anak cucu kita dapat menikmatinya.

Niat mendokumentasikan karya seninya itu muncul setelah gagal mengajarkan kemampuannya memahat kepada generasi muda di sekitarnya. Puluhan pemuda yang telah dilatihnya akhirnya banting setir karena tak mampu mengendalikan emosi jiwa yang tidak stabil.

Itu juga yang menyebabkan Edy harus bekerja sendiri. Hanya sesekali darah dagingnya, Dian Pramana Putra (25), membantu, yakni pada saat hatinya sedang tergerak. Selebihnya, waktu anak muda itu digunakan untuk bermain.

Edy berharap generasi muda mendatang tetap mengenal warisan budaya nenek moyangnya sendiri.

Sumber: Kompas, Jumat, 29 Januari 2010

1 comment:

Labu Laris said...

salut atas kreativitasnya Pak. Tetep semangat untuk menggali lagi potensi alam Indonesia agar bisa tampil di kancah perdagangan dunia.