-- Munawir Aziz*
SEJARAH peradaban diwarnai oleh berbagai pembantaian buku di berbagai ruang. Pembantaian buku dilakukan rezim penguasa dengan dalih stabilisasi dan penjernihan pikir manusia di ruang publik. Buku-buku yang mengancam kemapanan penguasa dilarang terbit, dibakar, maupun dibumihanguskan. Sejarah kusam atas nasib panjang perjalanan buku ini menghiasi berbagai catatan sejarah lintas zaman. Rezim penguasa dengan mudah membantai buku dengan instruksi dan dalil hukum yang dilakukan untuk memberangus peredaran buku. Kitab-kitab penting yang membantu pencerahan pikir manusia di berbagai fase zaman menjadi korban karena menyuarakan kebenaran yang pahit: penulis dan karya yang dihasilkan jadi minoritas yang terpinggirkan.
Namun, tak semua pembantaian buku menghadirkan ajal bagi teks dan penulisnya. Buku yang disensor adalah buku yang mendapatkan penghargaan iklan gratis secara masif. Dalam catatan sejarah, sensor dan pelarangan karya intelektual adalah bumerang bagi kemapanan penguasa.
Sensor buku menjadi ironi di tengah era kebebasan informasi. Indonesia dewasa ini juga dipayungi mendung hitam pelarangan buku. Kejagung melarang lima buku melalui Keputusan Jaksa Agung Nomor Kep-139-143/A/JA/12/2009 tanggal 22 Desember 2009 dan Instruksi Jaksa Agung RI Nomor: INS-(002-006)/A/JA/2009 tanggal 22 Desember 2009. Lima buku itu adalah Pembunuhan Massal Gerakan 30 September dan Kudeta Soeharto (John Roosa, diterbitkan Institut Sejarah Sosial Indonesia dan Hasta Mitra), Suara Gereja bagi Umat Penderitaan Tetesan Darah dan Cucuran Air Mata Umat Tuhan di Papua Barat Harus Diakhiri (Socratez Sofyan Yoman, diterbitkan Reza Enterprise), Lekra Tak Membakar Buku Suara Senyap Lembar Kebudayaan Harian Rakyat 1950-1965 (Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan, diterbitkan Merakesumba Lukamu Sakitku), Enam Jalan Menuju Tuhan (Darmawan, diterbitkan Hikayat Dunia), dan Mengungkap Misteri Keragaman Agama (Syahruddin Ahmad, diterbitkan Yayasan Kajian Alquran Siranindi).
Berdasar catatan lembar sejarah, kejaksaan sudah beberapa kali melarang peredaran buku. Pada 2006, kejaksaan memeriksa dan mengawasi buku Menembus Gelap Menuju Terang 2, Atlas Lengkap Indonesia (33 Provinsi) dan Dunia, serta Aku Melawan Teroris. Pada 2007, kejaksaan melarang peredaran sejumlah buku pelajaran sejarah untuk sekolah. Alasannya, antara lain, tidak menyebutkan pemberontakan Partai Komunis Indonesia (PKI) di Madiun pada 1948 dan hanya memuat keterlibatan G 30 S tanpa menyebut PKI pada 1965. Pelarangan buku merupakan mimpi buruk yang terus berulang bagi pembaca dan manusia Indonesia.
Buku-buku yang mengungkap catatan terpendam pada masa awal kemerdekaan dan era Soeharto susah untuk menemukan gelanggang. Buku-buku bernada PKI, guncangan kuasa, dan konflik kuasa masa awal kemerdekaan masih dianggap membahayakan stabilitas kuasa masa kini. Imajinasi manusia Indonesia sedang diuji oleh catatan-catatan masa silam.
Buku-buku tentang PKI-Lekra menjadi memoar untuk mengungkap kesaksian dan fakta sejarah. Buku yang dianggit Rhoma Dwi Aria Yuliantri dan Muhidin M. Dahlan hasil riset atas lembar kebudayaan Harian Rakjat, membuka celah kesaksian atas perjalanan Lekra dalam panggung politik dan kebudayaan negeri ini. Buku itu merupakan kajian atas 15 ribu artikel di Harian Rakjat pada kurun April 1950-Oktober 1965. Namun, pemegang kuasa masih sensitif atas buku-buku bertema PKI-Lekra. Sensitivitas dan prasangka ini seolah menutup pintu bagi hadirnya fakta baru yang menyusun historiografi Indonesia modern.
Sejarawan Dr M. Syafi'i Ma'arif pada endorsment buku itu menulis, ''Di era Demokrasi Terpimpin (1959-1965), langit kebudayaan Indonesia dikuasai oleh Lekra dengan mengusung panji-panji agar semuanya diabdikan untuk mencapai tujuan revolusi yang belum rampung. Buku ini telah mencoba mengungkap kembali apa sebenarnya yang terjadi di era yang sarat gesekan itu.''
Sensitivitas memori masa silam atas sejarah Indonesia menutup pintu terhadap pembacaan dan tafsir ulang. Imajinasi manusia Indonesia masih diselimuti kabut tebal dengan informasi miskin atas catatan sejarah yang dipanggungkan di ruang publik. Pelarangan buku dengan fondasi hukum Kejaksaan Agung menjadi ironi bagi proyek pencerdasan manusia Indonesia.
Relasi buku dan penguasa menghasilkan ketegangan serta kompromi sekaligus. Ketegangan hadir ketika penguasa tak memberikan ruang kepada penulis dan buku untuk menafsirkan ulang fakta sejarah. Buku dilarang terbit, dibakar, dan diberangus dari ruang publik. Pramoedya Ananta Toer adalah saksi egoisme rezim penguasa yang mengancam kebebasan intelektual dan keterbukaan informasi. Sastrawan ini merasakan sakit hati dan tragedi ketika buku-bukunya diberangus, disita, dan dilarang terbit.
Buku Membongkar Gurita Cikeas: Di Balik Skandal Bank Century (2009) hadir untuk memberi pertanyaan bagi manusia Indonesia yang suntuk dengan kasus korupsi tiada akhir. Skandal hukum, konflik politik, dan ancaman korupsi tiada ujung masih menyelimuti imajinasi manusia Indonesia. Buku karya George Junus Aditjondro ini hadir di tengah rumitnya skandal Century yang melibatkan tokoh-tokoh penting. Korupsi jadi musuh besar, namun susah dimusnahkan dari panggung kehidupan manusia Indonesia. George Junus, doktor sosiologi korupsi ini, dikenal rajin menulis penyimpangan ekonomi-penguasa pada masa Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, hingga SBY.
Buku Membongkar Gurita Cikeas menjadi fenomena dan isu politik yang seksi. Buku ini menjadi referensi untuk mengungkap aliran dana di sekeliling dan halaman istana SBY. Relasi penguasa dan buku masih belum selesai menuliskan riwayatnya. Bagaimana nasib buku di ruang reformasi dan rezim penguasa saat ini? Politik pelarangan buku merupakan tragedi bagi kreativitas berpikir dan kebebasan informasi. (*)
Munawir Aziz, esais, peneliti, dan penikmat buku, tinggal di Pati
Sumber: Jawa Pos, Minggu, 10 Januari 2010
No comments:
Post a Comment