-- M Subhi Azhari*
WACANA penganugerahan gelar pahlawan nasional untuk Almaghfurlah KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang wafat pada 30 Desember 2009 lalu, terus bergulir. Bahkan, saat ini, wacana itu sudah menjadi arus kuat yang tidak bisa dibendung.
Berbagai kalangan mulai dari DPR, partai politik, pemerintah daerah, pegiat pluralisme, hak asasi manusia dan berbagai elemen masyarakat lainnya menyatakan, gelar pahlawan nasional untuk Gus Dur adalah sesuatu yang sangat layak dan tidak bisa dibantah.
Gelar pahlawan akan menegaskan penghargaan bangsa Indonesia terhadap karya dan pengabdian besar Gus Dur kepada bangsa, terutama dalam memperjuangkan demokrasi, pluralisme, hak asasi manusia, penegakan hukum, antidiskriminasi dan keberpihakannya kepada kaum tertindas. Apa yang dilakukan Gus Dur dengan segenap jiwa raga bagi perbaikan semua aspek tersebut, telah dapat dilihat hasilnya sekarang meskipun masih harus terus diperbaiki ke depan.
Namun, ada dua hal yang bisa kita peroleh jika Gus Dur dianugerahi gelar pahlawan. Pertama, semasa hidupnya Gus Dur selalu mengedepankan perjuangan tanpa kompromi terhadap sesuatu yang diyakininya benar. Hal ini bahkan menjadikan Gus Dur dinilai sering melawan arus dan tidak jarang "dikalahkan" oleh arus besar tersebut. Penganugerahan gelar pahlawan, akan menjadi pesan yang sangat kuat bagi bangsa Indonesia bahwa yang dibutuhkan bangsa saat ini adalah orang-orang yang memiliki karakter kuat, pejuang yang tidak pantang menyerah, dan orang yang berani tidak populer demi sebuah kebenaran.
Berbagai karakter tersebut, sangat dibutuhkan bangsa Indonesia untuk pulih dari berbagai krisis yang dihadapi saat ini. Wafatnya Gus Dur, boleh jadi adalah kehilangan besar karena kita tidak akan lagi punya seseorang yang selalu berada di garis terdepan menjaga gerbong reformasi tetap berada pada relnya.
Kedua, penganugerahan gelar pahlawan kepada Gus Dur, akan menjadi hadiah terbesar tidak hanya bagi warga NU, tetapi juga masyarakat yang selama ini terdiskriminasi dan terpinggirkan baik secara politik, ekonomi, sosial maupun agama. Ada kekhawatiran sebagian kalangan bahwa sepeninggal Gus Dur, kelompok-kelompok terdiskriminasi dan marjinal ini akan mengalami pelemahan, baik dari dalam secara psikologis maupun dari luar berupa hambatan yang lebih berat untuk memperoleh keadilan.
Hal ini wajar, karena selama ini Gus Dur menjadi "tameng" yang selalu memberi perlindungan dan pembelaan kepada mereka. Ketiadaan Gus Dur, berarti kehilangan tameng, sehingga ancaman dan tindakan diskriminasi akan semakin sering dialami.
Namun, penganugerahan gelar pahlawan kepada Gus Dur bisa menepis kekhawatiran tersebut. Bahkan, hal ini akan memulihkan kembali kepercayaan mereka dan keberanian untuk membela hak-hak mereka tanpa harus berlindung dibalik sosok besar Gus Dur. Gelar pahlawan seolah memberi pesan bahwa negara tidak hanya menghargai pengabdian Gus Dur, tetapi juga mengambil alih peran advokasinya menjadi peningkatan tanggung jawab negara terhadap penghapusan segala bentuk diskriminasi dan marginalisasi.
Bukan Hanya Simbol
Soal peningkatan tanggung jawab negara ini, tentu tidak boleh berhenti hanya sebatas pesan, tetapi secara konkret dilakukan. Karena fakta menunjukkan, bahwa tindakan diskriminasi baik dalam bidang politik, seperti para korban eks-tapol 65, secara ekonomi seperti masyarakat di Indonesia bagian Timur, secara sosial, seperti sebagian warga Tionghoa, dan agama seperti kelompok agama-agama yang belum diakui masih banyak terjadi. Mereka-merekalah yang selama ini menjadi objek advokasi Gus Dur.
Meski saat ini sudah ada sejumlah perbaikan dalam bidang perudang-undangan seperti lahirnya undang-undang otonomi daerah, undang-undang penghapusan diskriminasi ras dan etnis, namun hal ini belum memadai karena pada tingkat implementasi berbagai problem masih terus muncul.
Perbaikan di bidang perundang-undangan harus diikuti oleh kemauan politik, dan komitmen dari pemerintah sebagai pelaksana. Karena tanpa harmonisasi semacam itu, kecil sekali harapan perbaikan akan terjadi. Dan ini berarti, penganugerahan gelar pahlawan kepada Gus Dur hanya akan menjadi simbol tanpa makna seolah jasad tanpa ruh.
Sudah saatnya, secara bersama-sama, bangsa Indonesia mewujudkan apa yang dicita-citakan Gus Dur berupa Indonesia yang lebih adil, menghormati supremasi dan kesetaraan di muka hukum. Tanpa itu semua, Gus Dur pun akan menolak gelar pahlawan tersebut.
* M Subhi Azhari, staff peneliti The Wahid Institute
Sumber: Suara Pembaruan, Kamis, 7 Januari 2010
No comments:
Post a Comment