JIKA kebudayaan dibaca sebagai kata kerja, pula demikian dengan K.H. Aburrahman Wahid (Gus Dur). Pergulatannya dalam jagat pemikiran kebudayaan bergerak dengan rambahan wacana yang demikian luas. Dan karena itulah, misalnya, Agus Maftuh Abegebriel dalam pengantar pada buku kumpulan tulisan Gus Dur Islam Kosmopolitan, menceritakan pengalamannya ketika ia meminta sejumlah orang untuk mendefinisikan Gus Dur. Dan ia terperanjat sekaligus setuju ketika seseorang menulis bahwa Gus Dur tidak terdefinisikan. Greg Barton, Greg Fealy, Robert W. Hefner, Andree Feillard, hanyalah sedikit dari pengkaji dan penelaah pemikiran Gus Dur. Akan tetapi tetap saja daya jelajah pemikiran mantan Ketua DKJ dan Presiden ke-4 RI ini sulit didefinisikan karena begitu banyaknya pintu untuk mendefinisikannya.
Gus Dur adalah sebuah fenomena. Tak hanya sebagai fenomena bahwa ia adalah seorang pemikir, penulis, tokoh Islam, politisi, bahkan juga sebagai seorang budayawan yang mampu mentransformasikan nilai-nilai tradisionalisme ke dalam peradaban modern. Tradisi, bagi Gus Dur, bukanlah tentang bagaimana merawat masa lalu, apalagi untuk mengubahnya menjadi ideologi kekuasaan. Dalam konteks pemikiran Islam dan kebudayaan, Gus Dur melihat masa lalu adalah ruang untuk menelaah sebuah spirit sehingga ia bisa memberi jawaban pada kekinian.
Dalam pandangan Gus Dur, Islam hadir di negeri ini berawal dari sebuah dialog budaya, bukan sebagai sebuah idelogi politik kekuasaan. Praktik-praktik keagamaan berinteraksi dengan praktik budaya, sehingga melahirkan warna serta corak keislaman yang beragam. Inilah pluralisme Islam dalam persinggungannya dengan budaya lokal. Nilai-nilai absolut dalam Islam direpresentasikan dalam keberagaman ekspresi kultural. Inilah yang kemudian disebutnya sebagai pribumisasi Islam.
Di sini Gus Dur sekaligus menolak identifikasi agama (Islam) dengan budaya tertentu, lengkap dengan segala ornamen dan aksesorinya. Bahkan, lebih ekstrem lagi ke dalam pemikiran Gus Dur semacam ini banyak orang dibuat melongo dengan gagasannya yang tak hanya dianggap nyeleneh, tetapi juga mengundang kontroversi. Dan ini juga yang kemudian dilakukannya dalam tataran politik ketika ia menjabat sebagai presiden. Sesuatu yang menjadi amunisi bagi lawan-lawan politiknya untuk menjungkalkan Gus Dur.
Sebagai presiden, Gus Dur memang telah melakukan desakralisasi terhadap watak negara yang elitis menjadi populis dan kerakyatan, seperti disebut Ahmad Tohari. Akan tetapi, bagaimanapun, logika politik formal menghendaki lain. Terlebih ketika itu bercampur dengan nafsu-nafsu kuasa.
**
PARTAI politik, bahkan juga sebuah kursi kepresidenan, tampaknya memang terlalu sempit untuk bisa menampung gagasan dan seluruh pemikiran Gus Dur. Dua tahun setelah dilengserkan, lelaki pembaca berat berbagai khazanah kebudayaan sekaligus penggemar berbagai jenis aliran musik ini tampil di Bandung sebagai pembicara dalam Pekan Budaya Rumah Nusantara, 14 Oktober 2002. Dengan fasih ia berbicara ihwal bagaimana manusia mengidentifikasi dirinya dalam rentangan sejarah kebudayaan, sejak masa Yunani klasik, Romawi, Aufklarung, Renaisans, hingga Revolusi Industri di abad XX, seraya mempertautkannya dengan sejarah kebudayaan di dunia Timur.
"Egosentrisme dalam persoalan kebudayaan tak hanya terjadi dalam wacana etnisitas ketika sebuah etnis memandang rendah etnis-etnis lainnya. Akan tetapi juga terjadi dalam praktik-praktik hidup beragama. Egosentrisme semacam ini terjadi karena agama senantiasa digiring menjadi suatu institusi yang mau tak mau menjadi semacam legalitas untuk menetapkan, sekaligus menjustifikasi segala sesuatu di luar institusi tersebut. Termasuk dengan meniadakan kelompok atau kepercayaan-kepercayaan lain di luar dirinya," ujarnya ketika itu (Pikiran Rakyat, 17 Oktober 2002).
Delapan tahun yang lalu, Gus Dur mengucapkan hal itu. Akan tetapi, aktualitas di balik ucapan tersebut masih bisa kita temukan hari ini, ketika perbedaan masih dipahami dalam kerangka definisi kebenaran yang meniadakan ruang bagi kebenaran dalam perspektif orang lain. Identitas, agama, dan etnis, tiba-tiba menjadi sebuah institusi kebenaran yang mendefinisikan perbedaan identitas orang lain sebagai lawan. Mayoritas seolah hendak menjadi panglima untuk melakukan berbagai klaim terhadap perbedaan.
Sikap kritis Gus Dur pada watak mayoritas yang cenderung mengklaim kebenaran dan sulit menerima perbedaan minoritas, sedikit banyaknya mengingatkan kita pada tokoh Dr. Thomas Stockman dalam drama "Musuh Masyarakat" karya Ibsen. Di situ mayoritas adalah jalan untuk melegitimasi kepentingan kekuasaan. Di situlah Stockman menggumam, "Mayoritas besar, golongan terbanyak, adalah musuh terbesar dari kebenaran dan kebebasan."
Dan inilah jejak penting yang ditinggalkan Gus Dur. Ruang kebebasan untuk menghargai keberagaman dan perbedaan. Ruang yang mestinya juga dimiliki bahkan menjadi hak minoritas. Dan sesungguhnya inilah yang menjadi inti dari etos budaya demokrasi yang amat penting dalam konteks Indonesia. Dan sesungguhnya pula, dari sinilah seluruh sejarah kebudayaan di Indonesia lahir dan hadir.
Tentu saja banyak orang telah mengetahuinya, tetapi mungkin hanya sedikit mereka yang mengerti dan memahaminya. Gus Dur sepanjang hidupnya telah mengajak bangsa ini untuk terus belajar pada dan memaknai apa sesungguhnya perbedaan serta berbeda itu. Dan uniknya, ia tak hanya mengajari kita dengan bahasa-bahasa tinggi milik kaum elitis, tetapi juga dengan kelakar-kelakarnya. Namun ironisnya, bangsa ini masih belum berhenti melihat perbedaan dan pluralisme melulu sebagai basa-basi, seperti disebut Prof. Dr. Bambang Sugiharto.
Oleh karena itulah, jangan-jangan ketidakmampuan kita mendefinisikan Gus Dur sesungguhnya lebih disebabkan ketidakmampuan kita mendefinsikan diri dan identitas kita sendiri. Akan tetapi, Gus Dur telah meninggalkan banyak jejak dalam pemikirannya. Jejaknya sebagai sebuah kata kerja dalam pemikiran dan praktik-praktik kebudayaan. (Ahda Imran
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 10 Januari 2010
No comments:
Post a Comment