SEKOLAH Ekonomika Demokratik (SED) adalah suatu jaringan belajar tanpa batas ruang, yang mendorong pemulihan kerusakan sosial-ekologis serta menghambat perusakan sosial-ekologis di ruang hidup rombongan belajarnya.
”Rombongan itu berasal dari kampung-kampung atau komunitas, lembaga pendidikan tinggi dan riset, organisasi partikelir yang sejalan agenda belajarnya, lembaga-lembaga kepengurusan publik dan lembaga-lembaga internasional,” jelas Yoyok.
Jaringan itu melakukan riset intensif tiga tahun terakhir ini, terkait dengan seperangkat tujuan yang hendak direbut. Tujuan itu adalah keselamatan manusia dan keamanan sosial, produktivitas sosial untuk melawan perusakan sosial-ekologis, serta keberlangsungan fungsi-fungsi ekosfera.
”Ekosfera dalam penafsiran saya adalah ruang seluruh kehidupan di Bumi,” ujarnya, ”Lapisan-lapisan geologis dari zona ruang waktu yang lampau menuturkan cerita tentang ekosfera di zamannya masing-masing. Kita juga tengah merekam suatu cerita tentang akhir zaman tumbuh-tumbuhan dan hewan karena ketololan yang merusaknya.”
Prinsip keamanan
Pengalaman membuat Yoyok menyadari banyak hal tak sejalan dengan prinsip-prinsip keamanan hidup. Salah satu yang menggedor kesadarannya adalah latihan para nelayan melawan pukat harimau di Cilacap.
Tahun 1980 awal ia ingin keluar dari ITB karena tak cocok dengan kurikulumnya, padahal ia sudah berada di ujung akhir. Ketua jurusannya mengizinkan Yoyok ”main sampai puas” dan boleh kapan saja kembali untuk menyelesaikan tugasnya. ”Orangtua saya tidak intervensi sedikit pun keputusan saya,” lanjutnya.
Selama dua sampai tiga semester ia bertualang ke Pulau Yapen di Papua dan melakukan pekerjaan yang tak ada urusannya dengan arsitektur. ”Aku membantu masyarakat suku laut di sana, suku laut asli Melanesia,” ia mengenang.
Saat itu, suku laut itu hendak dirumahkan di darat karena ada proyek tata ruang dari pusat. Dalam kamus urban planning, tak ada perencanaan ruang kehidupan di laut. Perjuangan bersama membuat rencana itu bisa digagalkan.
Itulah bahan skripsinya; yang bukan kerja arsitektur murni karena berkelindan dengan antropologi dan politik kebudayaan. Karya itu dipilih dewan juri di Tokyo sebagai karya terbaik arsitek muda dalam kompetisi Tomorrow’s Habitat.
Namun, perjuangan di Yapen itu berakhir tragis. ”Serui akhirnya bertekuk lutut pada pembangunan pelabuhan yang menampung berbagai industri kegiatan ekstraktif di Teluk Cendrawasih,” ungkapnya. Ya, memang tragis…. (MH/ISW)
Sumber: Kompas, Minggu, 24 Januari 2010
No comments:
Post a Comment