-- Marhalim Zaini
“Siang terlalu panas untuk sebuah kegembiraan…”
KALIMAT yang melantun dari salah seorang aktor di bagian awal pertunjukan itu, seperti sedang mengantarkan substansi tematik ke telinga penonton. Setelah sebelumnya, begitu layar terbuka, tubuh-tubuh para petani tampak sibuk melakukan aktivitas keseharian di bawah terik matahari; mengolah padi menjadi beras sambil bernyanyi, sebab, panen telah tiba dalam musim yang sedang berpihak. Dan, itulah ekspresi kegembiraan, meski “siang” demikian menyengat. Itulah juga ekspresi simbolik dari perayaan, meski harus berada di ambang, di antara tak kuasa menolak “terik” di tengah tuntutan untuk tetap terus menjalani hidup, untuk tetap terus menjadi bagian dari kehidupan.
Tema besar “strategi kebudayaan” sudah mulai bergemaung dari sana. Bahkan sejak dimulainya pertunjukan, ketika seorang MC (diperankan oleh Gunawan Maryanto) yang gemar mengulang-ulang kata “globalisasi” membuka pertunjukan berjudul Tubuh Ketiga oleh Teater Garasi ini. Sebagai penonton yang berkesempatan menyaksikan pertunjukan ini di Studio Banjarmili (milik penari Miroto), Sleman, Jogjakarta, beberapa hari sebelum dipentaskan di Salihara Jakarta pada tanggal 12-13 Oktober 2010 yang lalu, saya merasa bahwa wacana global village yang diyakini oleh banyak ahli sebagai perluasan tatanan masyarakat yang ditimbulkan dari mencairnya batas-batas kebudayaan (Irwan, 2007) sedang kembali didialogkan di sini.
Kali ini, studi kasusnya, para pelaku kesenian Tarling-Dangdut di Indramayu, Jawa Barat, diusung oleh Yudi Ahmad Tajudin (sutradara dan koreografer) dan kawan-kawan sebagai subyek observasi dalam kerja kreatif pertunjukan Tubuh Ketiga. Para pelaku kesenian Tarling ini adalah juga para petani yang sedang “merayakan” tarik-menarik identitas di dalam tubuhnya. Ihwal tarik-menarik “identitas” ini, hemat saya, setidaknya dapat kita urai dalam berbagai aspek. Pertama, ketika tubuh mereka harus “memerankan” banyak tuntutan karakter. Malam, menjadi pelaku kesenian Tarling, siang mereka bisa menjadi apa saja; petani, buruh, penjual bakso, penjual mainan, dan sebagainya. Kedua, tarik-menarik identitas itu juga dapat ditinjau dari aspek kesenian Tarling itu sendiri, yang menurut hasil penelitian Teater Garasi, berada di ruang “antara” atau ruang “ketiga”. Sebagian orang menganggap ia bukan lagi dapat disebut sebagai seni tradisional, akan tetapi juga belum bisa diterima sebagai kesenian modern.
Jika kemudian ditinjau dari aspek penonton kesenian Tarling sendiri, muncul tarik-menarik identitas yang ketiga, yakni sebagian penonton mengapresiasi secara baik, sebagian yang lain justru menolak dan merendahkannya dengan alasan tertentu. Aspek keempat, bisa dilihat dari sisi geografis di mana kesenian ini berada. Yudi Ahmad Tajuddin menyebutkan, bahwa posisi kota/kabupaten Indramayu sendiri berada, “di antara kebudayaan atau tradisi Jawa Tengah dan kebudayaan serta tradisi Jawa Barat. Antara pusat kebudayaan/tradisi Jawa (tengah: Jogja dan/atau Solo, barat: Bandung) serta pusat Indonesia modern (Jakarta).”
Maka, yang kemudian kita saksikan dalam pertunjukan Tubuh Ketiga adalah sebuah representasi dari tarik-menarik identitas dari berbagai aspek di atas. Aspek-aspek itu lalu disusun secara acak, saling berkelindan dalam plot yang tak linier, dengan suspense-suspense yang dinamis. Anda akan menyaksikan bagaimana tubuh-tubuh energik (dari 12 pemain) dengan penuh intensitas keluar-masuk “merayakan” identitas/karakter satu dengan identitas/karakter yang lain. Mereka adalah juga petani yang bekerja di bawah sengatan matahari yang punya mimpi-mimpi masa depan lebih baik. Adalah juga mereka yang menjadi buruh, menjadi pemain drama di panggung sandiwara, menjadi penyanyi Tarling-Dangdut yang sewaktu-waktu siap tubuhnya di-usilin orang mabuk, di-colekin pipi dan pantatnya.
Akan tetapi, satu hal yang patut dicatat adalah bahwa mereka tampak demikian enjoy. Tarik-menarik identitas itu tidak membuat mereka harus menangisi diri karena merasa tercerabut dari identitas asli mereka, merasa gamang berada “di antara” yang tradisi dan modern, desa dan kota, asli dan asing, sakral dan profan, dan seterusnya. Justru kemudian yang terjadi adalah—secara tidak sadar—mereka mulai membangun struktur identitas baru, yang oleh Teater Garasi dikumandangkan sebagai “tubuh ketiga” yang berada di “dunia antara” yang tentu akan melahirkan “kenyataan-kenyataan ketiga.” Mereka bilang, “selalu ada yang lain, liyan: terma ketiga yang memutus, mengacaukan dan mulai menyusun ulang penghadapan-penghadapan dualistik ke dalam posisi lain.” Dari sini, saya kira, identitas tidak lagi dianggap “tunggal” yang dikuatirkan oleh Amartya Sen dalam Identity and Violence (2006) bisa menyesatkan, yang membuat manusia terfragmentasi dalam frame yang sempit.
Teater Antropologi
Di sisi lain, menyaksikan pertunjukan Tubuh Ketiga, saya segera diingatkan pada tokoh teater dari Italia bernama Eugenio Barba, seorang sutradara yang pertama kali menggagas “Teater Antropologi”. Di Denmark ia kemudian mendirikan Odin Teater dan International School Theater Anthropology. Ingatan itu terkait tentang, pertama, kecenderungan untuk lebih melakukan upaya kajian empiris sebagai sumber penciptaan. Hemat saya, pola proses penciptaan berupa “obervasi, diskusi, improvisasi” yang diselenggarakan oleh Teater Garasi dalam menggarap Tubuh Ketiga ini, setidaknya merujuk pada metode kerja laboratorium yang bersifat eksperimental, yang juga dilakukan oleh Barba (juga sahabat dekatnya, Jerzy Grotowski). Selain bahwa, kajian empiris, dengan turun langsung observasi ke Indramayu, menelaah ihwal manusianya (para pelaku seni Tarling) sekaligus ruang sosio-kultural yang turut membentuk kehidupan mereka, bukankah juga dengan demikian adalah pola kerja antropologis.
Kedua, bagaimana kemudian kajian itu, oleh Barba, lebih difokuskan pada eksplorasi sikap panggung “pra-ungkap” pelaku (kata pelaku, oleh Barba dipakai untuk menggantikan kata aktor) yang didasarkan pada ragam tradisinya, baik secara individu maupun kolektif. Maka dari sana kemudian diharapkan dapat mengungkap “teknik dasar dari suatu teknik gerak tubuh para performer-nya” (Barba dalam The Paper Cance: 1995). Lalu, marilah kita saksikan tawaran-tawaran bentuk eksposisi tubuh pelaku di panggung Tubuh Ketiga (kecuali penari topeng Cirebon, Wangi Indriya, yang sengaja dihadirkan), maka segera dapat kita rujuk bagaimana kode-kode estetis tubuh pelaku lebih dicuatkan dengan cara tertentu yang kadang terasa berbeda dengan gerak tubuh keseharian yang dikendalikan oleh status sosial. Namun, kalau kemudian kita bertanya, bukankah sebenarnya gerak tubuh yang “berbeda” itu, yang kadang diulang-ulang dengan bentuk-bentuk yang aneh, secara tradisi pernah kita miliki, tapi lalu terlupakan karena dikodifikasi oleh status sosial itu?
Selain itu, ketiga, cara kerja teater semacam ini juga tidak lagi dilandasi oleh dikotomi antara berbagai konvensi dalam genre seni pertunjukan, tak lagi menyoal ihwal batas-batas teoritik. Maka akan sulit kita temukan dramaturgi ala Barat dalam Tubuh Ketiga. Juga dialog-dialog yang lebih sebagai kolase pernyataan-pernyataan juga sekaligus sebagai pertanyaan-pertanyaan, dan adegan-adegan yang melompat-lompat itu, pola bloking yang sengaja menabrak ruang-ruang imajiner konvensional, pergantian peran dengan pergantian kostum yang sengaja dihadirkan di atas panggung, dan seterusnya. Saya kira, kita tentu kemudian masih bisa merujuk juga pada pola-pola pertunjukan seni tradisional kita, yang sejak awal kelahirannya juga menganut model pergelaran serupa itu. Termasuk, penegasan itu lebih tampak ketika penonton Tubuh Ketiga sengaja “dilibatkan” untuk berpartisipasi dalam pementasan.
Saya kira, soal keterlibatan penonton ini, memang bisa dibicangkan dalam paradigma yang lebih luas. Misalnya bagaimana gagasan tentang teater multikulturalisme yang telah lama bergerak dalam ruang perdebatan para seniman avant garde, juga menyoal ihwal penghapusan ruang antara “pelaku dan penonton” ini. Dan Tubuh Ketiga nampaknya, telah masuk ke dalam wilayah perbicangan ini dengan langsung memberikan kontribusi konkret. Terlepas soal berhasil atau tidak penghapusan ruang itu dalam praksisnya —karena memang tradisi penonton “teater modern” kita selalu menempatkan dirinya sebagai orang di luar pertunjukan yang juga dapat segera membedakannya dengan “seni ritual”— setidaknya Tubuh Ketiga telah menjelajahi kemungkinan model pertunjukan teater dengan lebih mendekatkan dirinya pada kehidupan empiris, turut “menjawab” berbagai problematika sosial kita dengan perenungan-perenungan. Pun, turut membuka ruang-ruang dialog yang lebih produktif tentang batas-batas identitas dalam struktur sosial-budaya masyarakat kita hari ini, yang belakangan tampak kerap jadi biang kerok terjadinya konflik-konflik horizontal melalui tindakan anarkisme yang massif.
Marhalim Zaini, Sastrawan dan sutradara teater, sedang studi di Pascasarjana Antropologi Universitas Gadjah Mada Jogjakarta
Sumber: Riau Pos, Minggu, 14 November 2010
No comments:
Post a Comment