-- Bre Redana
ALBERT Widjaja dari agensi bernama Megapro Communications boleh dikata seorang ”sound connoisseur”—seseorang yang berminat dan menaruh perhatian besar pada teknologi tata suara. Pertunjukan musik yang diselenggarakannya di berbagai kota menjadi semacam pembelajaran bagi publik mengenai teknologi panggung mutakhir.
Beberapa kali di kota-kota kecil ia menyelenggarakan pertunjukan dengan basis teknologi panggung menyangkut tata suara, tata cahaya, dan multimedia. Kali ini dengan antusias ia ingin menunjukkan ”lazerblaze”-nya dalam pertunjukan musik di sejumlah kota di Jawa Timur. ”Saya membikin mapping video 3D dan pertunjukan laser,” katanya menunjuk sisi teknis dari pertunjukan yang diselenggarakannya. ”Seperti Pink Floyd. Jadi harus nonton,” ia mendesak.
Jadilah kami menonton tour show ini, yang salah satunya diselenggarakan di Malang, 15 November lalu. Berlangsung di Dome Universitas Muhammadiyah di daerah Dinoyo, malam itu tampil ST 12 dengan band pembuka Zigaz. Keduanya dari Jakarta. Di antara 5.000-an penonton, tampak hadir Wakil Gubernur Jawa Timur Saifulah Yusuf dan Wali Kota Batu Eddy Rumpoko.
Hati-hati
Tiang-tiang seperti gambar dua dimensi di latar belakang panggung serentak menjadi tiga dimensi begitu pertunjukan dimulai. Efek multimedia menciptakan ruang pada back drop. Gambar animasi, baik berupa material-material yang runtuh maupun jendela-jendela kaca yang pecah, ditampilkan. Ruang panggung dan penonton disatukan dengan cahaya-cahaya laser berupa garis-garis lurus berwarna hijau. Seluruh penonton juga mengenakan cahaya laser di jari-jari—yang mereka dapatkan sewaktu membeli tiket tanda masuk.
Simulasi visual itu disertai efek-efek suara dari sistem tata suara. Dengan ruangan yang sebenarnya tak terlalu prima, sound bisa dibilang memadai.
Zigaz muncul dengan warna musik yang mengingatkan pada rock era 80-an. Ada warna-warna Aerosmith, Collective Soul, Bon Jovi, dan semacamnya. Cukup komunikatif untuk publik Malang, yang dikenal dekat dengan rock. Vokalis band ini, Zian, memiliki karakter kuat sebagai penyanyi rock. Mereka membawakan lagu-lagu yang beberapa di antaranya sudah diakrabi penontonnya, yakni ”Sahabat Jadi Cinta” dan ”Hidupmu Hidupku”.
ST 12 yang menjadi tontonan pokok musiknya jauh lebih kompleks di panggung dibanding pada rekaman mereka. Pepep, drummer kelompok ini, mengakui dalam pertunjukan live ia dan teman-temannya berkesadaran untuk mengolah semua aspek audio visual. ”Dalam rekaman kami memang lebih hati-hati. Tak boleh terlalu berat,” ucapnya.
Charlie van Houten, vokalis, memainkan vokalnya yang kadang mengambil cengkok Melayu—salah satu karakter band ini. Hanya di panggung ia juga menunjukkan kegarangannya bermain gitar, berduet dengan gitaris band itu, Pepeng. ST 12 tampaknya sadar benar mengelola respons publik.
Sepanjang pertunjukan inovasi-inovasi visual ditampilkan. Termasuk dengan permainan laser oleh Charlie sendiri—yang di belakang panggung seusai pertunjukan mengaku sangat mengasyikkan, tetapi sebetulnya sangat kompleks. Mereka mengawali dengan lagu ”P.U.S.P.A” dan mengakhiri pertunjukan dengan lagu yang pernah sangat populer di tahun 1980-an, ”Isabella”.
”Ini bentuk impian ST 12,” kata Charlie seusai pertunjukan.
Bill Graham
Albert Widjaja sempat bercerita mengenai antusiasmenya mengelola pertunjukan-pertunjukan semacam ini. Menghabiskan masa kecil di Malang, tahun 1970-an katanya ia bersekolah di San Francisco. Pada waktu itulah ia, katanya, menonton hampir semua band besar kala itu, seperti Queen, Led Zeppelin, Rolling Stones, dan Grateful Dead. Ia merasa terinspirasi oleh Bill Graham, promotor musik legendaris yang namanya tak bisa dilepaskan dengan pemusik-pemusik terkemuka kala itu.
Kalau Graham tak segan mengenalkan pemusik-pemusik kurang dikenal (termasuk Santana sebelum menjadi sangat besar), Albert membawa teknologi mutakhir ke daerah-daerah, ke kota-kota kecil. Band-band terfasilitasi dengan tata suara memadai berikut teknologi multimedia.
Tantangan berikut bagi semuanya adalah eksplorasi gagasan. Pink Floyd masih dikenang oleh generasi tahun 70-an dengan kekuatan visualnya—selain musiknya. Mengapa viusal itu begitu kuat dan mengesankan? Karena di baliknya terdapat konsep dan gagasan yang tak kalah kuatnya. The Dark Side of the Moon—salah satu album yang paling dikenal—mengandung gagasan untuk mengeksplorasi sisi manusia menyangkut kegilaan, kematian, dan alienasi.
Ini tantangan baru bagi band-band sekarang. Bahwa teknologi sebenarnya bukan sekadar perkakas untuk kenes-kenesan. Aspek berikut dari keterampilan yang bisa membesarkan sebuah band adalah gagasan.
Sumber: Kompas, Minggu, 21 November 2010
No comments:
Post a Comment