-- Fathul A. Husein
KERAP terdengar bahwa Studiklub Teater Bandung (STB) merupakan kelompok teater modern paling tua di tanah air. Didirikan pada 13 Oktober 1958, diresmikan dengan Akta Notaris Lie Kwee Nio tertanggal 22 Mei 1959. Mencermati fakta dari titimangsa masa berdirinya itu, dan notabene belum pernah ada pihak yang merasa keberatan atau bahkan menegasi fakta tersebut, hal itu boleh jadi telah diterima sebagai kebenaran umum.
Kendati bukan satu-satunya contoh, kekhasan STB salah-satunya terletak pada azas pendirian kelompok tersebut yang menitikberatkan prinsip-prinsip studi dan organisasi. Makanya dinamai dengan "studiklub". Hal yang jarang terjadi dalam struktur komunal kelompok-kelompok teater di Indonesia, yang kebanyakan lebih memperlihatkan diri dalam bentuk sanggar murni yang melulu berorientasi kepada eksistensi dan kehendak seorang tokoh. Sejak awal sejarahnya, STB menggeliat dari kegelisahan anak-anak muda (waktu itu) yang dipenuhi gelora hasrat kuriositas yang massif, bak spirit zaman Barok, untuk mendalami dan mempraktikkan prinsip-prinsip seni peran sejati dan bagaimana mengejawantahkannya ke atas pentas teater.
Produk-produk artistik mereka yang menyejarah (setidaknya dalam memori zamannya), adalah bukti dari dahaga pengetahuan dan pembelajaran yang dikonkretisasi dengan semangat disiplin dan kecermatan tingkat tinggi untuk membuahkan suguhan seni peran dan teater yang bisa dicerap secara estetis. Akan tetapi, mereka senantiasa sadar jika semangat belajar pada hakikatnya eksplorasi tanpa titik, tanpa kepuasan-kepuasan semu yang sesaat dan stagnan. Parameter yang mereka gunakan untuk menggulirkan kontinuitas kegiatan artistiknya tidak lain adalah parameter "demokratis" sebagai ranah kearifan organisatoris untuk menggodok tema-tema terpilih, menebar muslihat-muslihat produksi, hingga kecermatan dalam membangun divisi kerja dan penentuan casting.
Demokrasi tentu bukan tanpa risiko. Di dalamnya berlangsung sengitnya diskusi, perdebatan, bahkan berseminya bibit-bibit perbedaan. Orang datang dan pergi. Namun, STB jalan terus. Roda organisasi yang menghasilkan banyak produksi nyata-nyata memegang fungsi pivotal (poros) yang berpretensi memediasi dan menengarai eksistensi kelompok. Hasilnya, setengah abad lebih pencapaian sejarah artistik mereka terbentang dalam senarai ratusan produksi teater seni peran (orang menyebutnya teater realisme) yang pada zamannya sangat diakui bahkan tidak sedikit yang dijadikan tolok ukur teater nasional.
Tantangan fraktalitas personal yang sejak dini muncul dalam sepak terjang kelompok teater yang kharismatik ini, dengan penanda besar bermigrasinya Jim Adhilimas (salah-satu kreator utama STB saat itu, selain Suyatna Anirun) ke Paris pada 1967 (hingga kini), tak jua menyurutkan STB sebagai kelompok studi dan organisasi untuk terus melangkah maju dan kreatif. Fraktalitas semacam itu terus terjadi dalam lapis-lapis generasi sesudahnya, tetapi, ya itulah, STB tetap survive. Alih-alih surut dan keropos, STB malah menjadi biang dari banyak kelahiran kelompok-kelompok teater penting di Kota Bandung hingga zaman kiwari.
STB adalah protoplasma, inti sel yang terus-menerus membelah diri demi dinamika kebudayaan teater, bahkan tatkala pecahan-pecahannya saling melepaskan ikatan satu sama lain dan segera membentuk entitas plasmatik yang baru. Protoplasma, dalam biologi, adalah prakondisi yang mutlak harus dimiliki sesuatu untuk mendapat predikat makhluk hidup.
Selepas kendali generasi pelopor semakin surut, bahkan sebagian telah berpulang dengan penanda besar mangkatnya Suyatna Anirun, 4 Januari 2002, STB sesungguhnya tidak lagi terlalu dihadapkan pada tantangan fraktalitas. Ihwal sesungguhnya dari persoalan STB masa kini adalah pupusnya komitmen mendasar tentang hakikat studi dan organisasi yang menjadi dasar filosofis kelompok. STB kini laiknya gurun pasir tak bertuan, aktivisnya seolah harus bertempur dengan semangat ronin (samurai tak bertuan). Sebab tuan sesungguhnya, organisasi, sedang limpung lantaran didera krisis akut akibat dua arus iktikad yang bertabrakan dengan hebat.
Atau paling banter (meminjam istilah seloroh seorang kawan), STB kini tengah bertengger pada sengkarut dikotomistik "STB struktural versus STB kultural". Yang pertama merupakan representasi dari formalitas organisasi dengan segenap kewenangannya, dan yang kedua mewujud dari tradisi infinitas hasrat kreatif yang juga sama-sama tak hendak menyaksikan pengembaraan estetik STB tiba-tiba mogok dan berakhir di persimpangan zaman. Keduanya boleh jadi bertolak dari rasionalitas yang sesungguhnya tak beda: pengabdian estetik STB mesti diteruskan dan disempurnakan!
Adagium "tak ada yang tetap di dunia ini, kecuali perubahan itu sendiri", tampaknya mesti dicermati secara khusus dalam kaitan untuk meneropong persoalan STB masa kini. STB adalah warisan besar, pusaka agung yang melahirkan sejarah teater modern Bandung dengan anak-pinak multigenerasi plasmatiknya yang terus memecah dan membelah diri, dan eksis.
Beban amat berat terutama mengemuka tatkala generasi pemikulnya seolah diserahi tanggung jawab untuk sanggup menggapai keserupaan yang setara dengan capaian primordialitas estetik generasi pelopor. Padahal zaman berubah. Ilmu dan teknologi berubah. Kecenderungan-kecenderungan manusia pun berubah, hingga mengubah tradisi dan sikap-sikap budaya. Manusia pada zamannya berhak mencipta sejarahnya sendiri. Apa salahnya jika generasi pemikul STB leluasa mencipta sejarahnya sendiri, mungkin dengan kejayaannya yang berbeda atau bahkan kejatuhan sama sekali. Biarkan saja, alam akan menuntun dan menyeleksi. Bukankah kebudayaan senantiasa bersifat plasmatik, sedangkan STB adalah protoplasma dalam kebudayaan teater Bandung? Bukankah spirit STB tetap tumbuh dan berkembang dalam jiwa-jiwa kreatif di banyak tubuh personal dan kelompok-kelompok teater?
Tanggung jawab kepeloporan pada akhirnya adalah ketulusan dan kearifan yang sadrah untuk menggelindingkan proses alih generasi semulus dan setuntas mungkin. Tentu, dengan pemberian kepercayaan penuh dan kewajiban untuk menyampaikan pengingatan yang selalu harus dijaga oleh generasi pemikul tentang arti pentingnya menjaga "khittah" dari azas mendasar dan filosofi kelompok, yakni "studiklub" (studi dan organisasi), bukan fasisme pribadi.
Mudah-mudahan, acara "Temu Kangen Warga STB" nanti (Sabtu, 11 Desember 2010 di Selasar Sunaryo Art Space, pukul 16.00 WIB s.d. 21.00 WIB) yang digagas dua figur generasi pelopor, Prof. Dr. Sutardjo A. Wiramihardja dan Mohamad Sunjaya, tidak terjebak ke dalam banalitas untuk sekadar kangen-kangenan. Sebaliknya, justru akan sanggup membuahkan solusi konkret untuk menjawab tantangan dan persoalan STB masa kini. Jika tidak, akan sia-sia belaka upaya anggun yang dirintis sungguh-sungguh oleh dua "fosil" ini (kelakar kang Yoyon untuk menyebut generasi tua STB). Akan hampa makna pula, hospitality dan bahkan "kemartiran" perupa Sunaryo dan institusinya, yang bukan kali pertama ia suguhkan dengan tulus untuk STB dan bahkan jagat teater. Semoga!***
Fathul A. Husein, sutradara teater
Sumber: Khazanah, Pikiran Rakyat, Minggu, 28 November 2010
No comments:
Post a Comment