Sunday, November 28, 2010

[Buku] Mimpi-mimpi Tokoh Tua

-- Mohamad Sobary

APA istimewanya ’mimpi-mimpi’ para tokoh yang saat ini berusia lebih dari 78 tahun? Bagaimana mimpi itu diletakkan di lintasan kehidupan tiga zaman pergolakan yang meresahkan?

Perancang, sekaligus editor buku ini, memiliki asumsi dasar mengapa pemikiran tokoh-tokoh tua perlu dibukukan. Pertama, orang-orang yang mengalami banyak hal di zaman-zaman yang meresahkan itu dengan sendirinya bisa berbicara tentang banyak hal yang patut diabadikan dalam bentuk buku.

Kedua, tiga zaman yang panjang itu memberi endapan pengalaman—pahit, getir, dan manisnya—yang dihayati sebagai makna hidup yang tetap melekat dalam kenangan anak-anak yang saat itu masih remaja, belum terampil menghubungkan satu fenomena dengan fenomena lain. Mereka pun belum terlampau menyadari perlunya menempatkan makna hidup tadi ke dalam konteks politik kebangsaan yang lebih luas.

Meskipun begitu, mungkin sekali mereka telah memiliki ’mimpi-mimpi’ buat masa depan: mimpi akan kemerdekaan bangsa, mimpi akan kehidupan lebih adil, atau mimpi meningkatkan dunia pendidikan, setara dengan bangsa asing. Semua ini kemudian menjadi bahan penulisan buku yang berharga.

Ketiga, sesamar apa pun ’mimpi-mimpi’ masa lalu itu, ketika mereka menginjak dewasa, niscaya mampu menjalinnya dalam kenangan sejarah sebagai wujud mimpi-mimpi orang dewasa. Dalam pemikiran kebudayaan, mimpi di tahap itu disebut aspirasi kultural yang menandai komitmen atau kepedulian mereka sebagai warga negara. Dan kita tahu aspirasi kultural macam itu harus direkam sebagai wujud ’cita-cita’ kolektif kita, maupun sebagai bagian ’bangunan’ tradisi politik kita. Di atas landasan asumsi-asumsi dasar seperti inilah, kira-kira, buku Guru-guru Keluhuran ini ditulis.

Judulnya merupakan penghormatan terhadap para penulis, yang memang layak memperolehnya. Ada sejumlah penulis yang merasa judul itu terlalu tinggi buat mereka. Tapi, perasaan itu malah membuktikan lebih jauh keluhuran budi mereka sebagai tokoh masyarakat, yang ”seranting ditinggikan, dan selangkah didahulukan” seperti citra keluhuran budi Minangkabau.

Latar belakang para tokoh yang diminta menuliskan mimpi-mimpi mereka sangat menarik. Ada wartawan terkemuka, ada tokoh dunia pendidikan, psikolog, filsuf, sosiolog, sejarawan, ekonom, tokoh dunia bisnis, dan birokrat. Ada pula sastrawan yang mengabdi bangsa lewat dongeng dan dunia anak-anak. Semuanya para ’empu’ dalam dunia ilmu.

Tokoh-tokoh ini diminta mengungkapkan—sebagaimana dapat dibaca di sampul depan buku—”ketulusan, kerendahan hati, dan penghayatan” atas pengalaman dan harapan tentang Indonesia merdeka. Beberapa dari tokoh ini menulis, bahwa di masa itu—ketika masih remaja—mereka belum memiliki gagasan politik keindonesiaan yang jelas sosoknya, seperti sudah diduga sebelumnya.

Tapi, kini, di usia di atas 78 tahun, para tokoh kita ini bermimpi mengenai Indonesia yang lebih baik, seperti impian kita semua. Karena mereka tahu, tata kelola pemerintahan kita berlangsung tidak berdasarkan suatu perencanaan yang ideal, dan berwawasan, melainkan hanya menyambung rutinitas yang telah ada. Dan kita tahu, rutinitas itu bagian yang kita kritik, kita keluhkan dan harus ditingkatkan, tapi kita tak melihat peningkatan itu.

Indonesia masa depan

Indonesia yang ’lebih baik’ itu merupakan aspirasi warga negara yang menaruh peduli, dengan kesungguh-sungguhan pribadi memikirkan nasib bangsa di masa depan. Di balik buku ini, ada gagasan besar yang memiliki perspektif masa depan yang jauh. Ini adalah buku antropologi politik yang menarik dan kaya detail pemikiran dan latar belakang daerah. Ditulis dari sudut pandang pribadi dan unik. Namun, karena latar belakang penulis semuanya kelas menengah perkotaan, terasa cita rasanya elite. Beberapa bahkan terlalu elitis: sibuk ’berkaca’ di dalam lapisan sosialnya, dan lupa akan lapisan sosial lain. Mereka lebih mewakili potret Indonesia, yang mewajibkan tiap anak—atau kita semua—bermimpi dan berharap–terwujudnya Indonesia yang lebih baik.

Tampaknya buku ini sedang berbicara mengenai tanda-tanda zaman—mungkin akhir zaman—yang membuat kita merasa risau, gundah, dan kecewa sehingga kita harus berbicara mengenai Indonesia yang ’lebih baik’ sebagai tema sentral.

Kapan lahir buku sejenis yang khusus memotret ’impian’ lapisan sosial bawah, yang masih tertindas, untuk ’bermimpi’ kebebasan—juga kebebasan ekonomi—yang membuat mereka merasa sebagai warga negara terhormat? Dan kapan kita selesai bermimpi?

Mohamad Sobary, Budayawan

Sumber: Kompas, Minggu, 28 November 2010