-- Eko Endarmoko
PADA 5-6 Oktober lalu Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Atma Jaya menyelenggarakan acara pertemuan linguistik bertemakan ”Bahasa dan Kekuasaan”. Pada akhir acara di hari kedua dilangsungkan diskusi panel tentang tesaurus Indonesia.
Dalam acara kebahasaan tahunan berskala nasional itu tak terlihat seorang pun pegawai Pusat Bahasa. Padahal dalam acara itu, Rahayu Surtiati Hidayat dari UI menyimpulkan, secara yuridis cukup bukti memerkarakan kasus plagiarisme Tesaurus secara akademik. Kata Rahayu: cukup bukti mengajukan kasus ini kepada Dewan etika yang mengawasi perilaku peneliti Indonesia, termasuk peneliti Pusat Bahasa.
Yang menarik, di tengah cukup gencarnya—jika diperhitungkan pula pelbagai komentar keras di dunia maya Twitter dan Facebook—serangan dan tudingan telah melakukan penjiplakan, kantor bahasa yang menerbitkan Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia nyaris tak pernah memberi tanggapan.
Sampai hari ini barangkali baru sekelumit pandangan yang terlontar dari dua pegawai kantor itu. Pada 18 Oktober 2010 pukul 12.20 dalam acara ”Metro Siang” segmen ”Hukum dan Kriminal” di Metro TV, saya menyatakan, ”... curiga bahwa Pusat Bahasa telah menjiplak tesaurus saya.” Menanggapi tudingan itu, Kepala Bidang Pengembangan Bahasa dan Sastra Sugiyono, yang dalam redaksi Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia duduk sebagai wakil pemimpin redaksi, mengatakan, ”... mempersilakan masyarakat mempelajari lebih lanjut teori dan tradisi leksikografi.”
Menanggapi tudingan saya pada sebuah media, 19 Oktober lalu, Sugiyono mengatakan, ”Soal plagiarisme dalam dunia bahasa, kata itu tidak ada trademark-nya. Kamus Tesaurus Bahasa Indonesia sudah masuk kok ke bibliografi Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia.” Meity Taqdir, ketua redaksi pelaksana Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia, juga mengutarakan, ”Dalam leksikografi, sah-sah saja mengutip dari kamus sebelumnya karena memang selalu mengambil dari sumber yang telah ada.”
Itu ganjil sebab, pertama, yang jadi soal bukan ”kata tidak ada trademark-nya”, tetapi bagaimana kata-kata dari Tesaurus Bahasa Indonesia banyak yang dipindahkan ke Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia dengan kemiripan seleksi dan susunan yang sempurna. Kedua, pembelaan Sugiyono menyertakan implikasi: khalayak perlu memahami teori dan tradisi leksikografi untuk mengerti bahwa fenomena Tesaurus Bahasa Indonesia-Tesaurus Alfabetis Bahasa Indonesia bukanlah sebuah tindak penjiplakan. Sebagai sebuah disiplin keilmuan, menurut Meity, leksikografi membolehkan penjiplakan. Ternyatalah kini tradisi yang berlaku di sana: comot-mencomot dalam penyusunan kamus adalah hal jamak belaka. Ketiga, penyebutan sumber dalam bibliografi saya kira tidak serta-merta berarti boleh menjarah sebanyak-banyaknya materi dari suatu sumber.
Pernyataan ”Dalam leksikografi, sah-sah saja mengutip dari kamus sebelumnya” bagi saya bukan saja membuka tabir dan memperlihatkan tradisi jiplak-menjiplak yang telah jadi jamak di kantor Pusat Bahasa. Konsensus seperti itulah saya kira yang telak ditembak Julien Benda dalam La trahison des clercs sebagai pengkhianatan kaum intelektual.
Eko Endarmoko, Penyusun Tesaurus Bahasa Indonesia
Sumber: Kompas, Jumat, 26 November 2010
No comments:
Post a Comment