-- Khaerudin
JIKA ingin melihat betapa bijaknya orang-orang yang tinggal di Nusantara ini memandang alam dan kehidupan, bacalah ribuan pantun dan peribahasa yang tersebar mulai dari semenanjung di Malaysia hingga perairan Laut Sulawesi yang menjadi rumah suku Bajo. Bagi ahli perbandingan sastra Indonesia-Malaysia, Muhammad Haji Salleh, pantun dan peribahasa merupakan khazanah sastra yang tak ada bandingannya di dunia.
Muhammad Haji Salleh (KOMPAS/KHAERUDIN)
Haiku dari Jepang boleh dibilang canggih, tetapi tak seindah dan sekaya pantun. Dalam pantun, ada ajaran agama, filosofi, lagu, ada juga mainannya. Pantun ada dalam banyak suku di Nusantara Raya,” ujar Muhammad. Dia mengabdikan hampir separuh hidupnya dalam pencarian berbagai jenis pantun dan peribahasa pada suku bangsa di Malaysia dan Indonesia.
Sesungguhnya, dasar pendidikan kesarjanaan Muhammad adalah Sastra Inggris. Ketika menempuh gelar master dan doktoralnya di University of Michigan, Amerika Serikat, selama kurun 1970-1973, Muhammad merasakan kerinduan kampung halaman setelah meresapi berbagai bentuk pantun dan peribahasa. ”Saya ini awalnya sarjana Sastra Inggris, tetapi ketika berada jauh dari kampung halaman, saya merasakan betul betapa eksotisnya sastra negeri sendiri,” ujarnya.
Dia sempat mengenyam pendidikan singkat kesusastraan Indonesia di Universitas Indonesia begitu tamat dari Universiti Malaya. Di AS pun Muhammad mengonsentrasikan studi doktoral dalam perbandingan puisi Indonesia-Malaysia. Kecintaan akan segala bentuk karya sastra Nusantara, khususnya puisi, pantun, dan peribahasa, membuat dia bersahabat dengan banyak sastrawan Indonesia. ”Saya pernah bertandang ke rumah Rendra saat masih di Solo. Rumahnya ketika itu hanya beralas tanah,” kenangnya.
Pemersatu serumpun
Sastra bagi Muhammad menjadi pemersatu Malaysia dan Indonesia sebagai bangsa serumpun di gugusan Nusantara. Meski Malaysia seolah berada terpisah karena terletak di semenanjung, bagian paling tenggara dari daratan Benua Asia, menurut Muhammad, tak ada sempadan atau batas dalam khazanah sastra kedua negara.
Dia mencontohkan, babad atau hikayat Melayu, Sulalat al-Salatin karangan Tun Seri Lanang. Tun sebenarnya adalah bendahara Kesultanan Pahang. Namun, saat Pahang diserang Kesultanan Samudra Pasai, hampir semua bangsawan Melayu Pahang—termasuk Tun—dibawa ke Aceh. Karena kecerdikan Tun, penguasa Aceh menjadikannya penasihat dan diberi wilayah kuasa di Samalanga. ”Separuh masa Tun Seri Lanang mengarang Sulalat al Salatin dilakukannya ketika di Samalanga. Jadi, karya itu tak bisa diklaim milik Malaysia semata. Itu karya besar dua bangsa serumpun ini,” katanya.
Itulah yang mendorong Muhammad selama 25 tahun lebih mengumpulkan sedikit demi sedikit pantun dan peribahasa yang terserak pada banyak suku bangsa di kepulauan Nusantara. Dia mau bersusah payah datang berkunjung ke Bali hingga Nusa Tenggara Timur. Muhammad rela menyusuri perairan Sulawesi Tenggara untuk mengoleksi pantun suku Bajo hingga mengumpulkan pantun yang ada pada suku Minahasa di Sulawesi Utara.
Koleksi pantun yang dikumpulkan Muhammad meretas dari Pulau Adang di Thailand hingga Bunaken di Sulawesi Utara. Hasil koleksinya sebagian telah dibukukan.
”Ada tiga buah buku yang telah terbit. Satu buku kira-kira berisi 1.000 pantun. Akan ada empat buku pantun lagi yang menyusul terbit,” ujarnya. Dia mengumpulkan semua jenis pantun, dari pantun peranakan hingga pantun orang asli (suku asli di Malaysia). Dia juga mengoleksi pantun dari Pulau Adang hingga Bunaken. Ada sekitar 30 ragam daerah Nusantara yang memiliki koleksi pantun.
Muhammad juga tekun mengumpulkan peribahasa, bentuk sastra Nusantara lain yang tak kalah elok dan kaya akan ilmu kehidupan. Muhammad memilah peribahasa dalam 21 kategori yang berhubungan dengan ilmu dan pekerjaan, sikap manusia terhadap ilmu, hingga fungsi ilmu dalam masyarakat. Satu kesimpulan Muhammad setelah mengoleksi tak kurang dari 8.000 peribahasa adalah orang Melayu, dan banyak suku bangsa lain di Nusantara, tidak hanya menjadikan ilmu dan pekerjaan sebagai pusat hidup, tetapi juga merenungkan bagaimana ilmu dan pekerjaan dibuat sebagai solusi menyelesaikan masalah.
Muhammad mencontohkan peribahasa dari Brunei yang mengajarkan betapa manusia harus cukup ilmu jika ingin berhasil, ”mun (jikalau) rotan panjang sejengkal, jangan mendaluh (menduga) lautan dalam”.
Peribahasa pula yang menurut Muhammad membuat orang di Nusantara sangat demokratis dalam belajar dan berani berargumentasi meski dengan gurunya sekalipun. Dia mencontohkan peribahasa dari Sumatera Barat, ”melawan guru dengan kajinya, melawan mamak dengan adatnya”.
Kepandaian suku bangsa di Nusantara ini dalam merangkai kata hingga menjadi karya sastra indah penuh ilmu, menurut Muhammad, karena alamlah yang dijadikan guru. Dia mencontohkan peribahasa Melayu, ”kais pagi, makan pagi”, yang menggunakan kata untuk binatang (ayam), tetapi dipakai untuk menggambarkan nasib manusia. ”Kata kais kan semestinya untuk ayam yang mencari makanan, tetapi itu yang orang lihat setiap hari sehingga dipakai juga untuk manusia,” ujarnya.
Pada intinya, lanjut Muhammad, kepandaian berbahasa adalah elemen penting bagi banyak suku bangsa di Nusantara. Pada kasus orang Melayu, kata dia, suasana kosmopolitan di hampir semua bandar Melayu sejak dulu menjadikan orang-orangnya pandai berbahasa.
Meski tak berhubungan secara langsung, ketekunan Muhammad mengoleksi pantun dan peribahasa di Nusantara, baik yang terserak di Malaysia maupun di kepulauan Indonesia, sedikit banyak dipengaruhi oleh keyakinannya bahwa adalah sastra yang mempersatukan dua jiran yang kadang suka ”berkelahi” ini. Dan tentu saja, meski berkewarganegaraan Malaysia, Muhammad pun tak lupa kampung sebenarnya nenek moyangnya di Bandar Khalipah, Kabupaten Serdang Bedagai, Sumatera Utara.
”Ayah saya merantau dari Bandar Khalipah ke Pulau Pinang tahun 1920-an. Pada banyak orang yang tinggal di Semenanjung (Malaysia) ataupun di Sumatera, ulang alik seperti yang dilakukan ayah saya lazim adanya,” kata Muhammad
Sumber: Kompas, Senin, 29 November 2010
No comments:
Post a Comment